
Siswanto Rusdi adalah pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), lembaga pengkajian yang fokus di bidang pelayaran, pelabuhan, MET (Maritime Education and Training (MET), dan keamanan maritim. Ia berlatar belakang pendidikan pascasarjana dari FIKOM UPI YAI, Jakarta dan RSIS-NTU, Singapura, setelah gelar sarjana ditempuh di Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Dia pernah bekerja sebagai wartawan dengan posisi terakhir sebelum banting setir adalah koresponden untuk koran Lloyd's List, Inggris. Pada masanya, terbitan ini merupakan rujukan pelaku usaha pelayaran global. Kini, selain mengelola Namarin, dia juga mengajar di beberapa universitas di Jakarta.
Profil SelengkapnyaCirebon Atau Patimban, Mana yang Cocok Gantikan Tanjung Mas?
Ketika tulisan ini diselesaikan, banjir rob di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah, mulai surut. Hanya di beberapa titik saja air masih menggenang walaupun tidak terlalu tinggi. Aktivitas bisnis sedikit demi sedikit mulai menggeliat kembali setelah sempat lumpuh dihajar banjir. PT Pelabuhan Indonesia sebagai pengelola pelabuhan tersebut mulai membangun kembali tanggul pelabuhan (polder) yang jebol akibat musibah itu. BUMN tersebut juga memberikan relaksasi kepada pelaku usaha yang bisnisnya sempat terganggu. Dalam beberapa waktu ke depan, detak kehidupan di Tanjung Emas bisa be back as usual.
Namun, bila musim angin monsun menyapa kembali, dan ini juga usual, pelabuhan Tanjung Emas kembali akan digenangi air laut. Lalu, rutinitas akibat genangan banjir rob yang disebabkan oleh siklus cuaca tersebut - jalan sekitar pelabuhan penuh air laut yang tingginya lebih dari 50 cm, bisnis yang terhenti dan lain sebagainya - diulang kembali. Begini terus entah sampai kapan. Menurut berbagai kajian para ahli hidrologi, banjir rob yang melanda Tanjung Emas juga melanda wilayah lainnya di sepanjang pantai utara Jawa (Pantura). Hanya saja pelabuhan ini terdampak paling parah.
Diungkapkan lebih jauh oleh para ahli itu, kondisi tersebut dikarenakan adanya penurunan permukaan tanah pelabuhan. Singkat cerita, pelabuhan Tanjung Emas sepertinya sudah tidak bisa diselamatkan dari serangan banjir rob. Dan, sudah saatnya para pemangku kepentingan pelabuhan tersebut, pada khususnya dan masyarakat maritim nasional pada umumnya, mulai memikirkan untuk memindahkan aktivitas bisnis di Tanjung Emas ke pelabuhan lainnya yang sedikit lebih aman dari serbuan rob.
Perlukah gagasan itu dimunculkan? Soalnya, sejauh ini, sejak banjir rob mulai menyatroni Tanjung Emas beberapa tahun lalu, pemerintah - dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai lurahnya urusan kepelabuhanan nasional dan BUMN pelabuhan - tidak terdengar pemikirannya, bahkan bersuara saja tidak, untuk memindahkan aktivitas kepelabuhanan dari pelabuhan itu ke pelabuhan lain dalam mengantisipasi rob yang rutin datang. Menjawab pertanyaan perlu atau tidaknya dipindah, penulis bertanya kepada seorang kolega yang puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis pelayaran. Kini dia sudah purnatugas.
Menurutnya, kegiatan bisnis di pelabuhan Tanjung Emas perlu sesegera mungkin dipindah agar pengusaha yang berbisnis dari dan ke pelabuhan ini tidak menderita kerugian manakala banjir rob kembali melanda Tanjung Emas. Baginya, kerugian finansial yang diderita pengusaha itu satu soal. Namun, kerugian yang lebih besar adalah masalah kepastian (certainty) dan keselamatan/keamanan (safety and security). Dua aspek ini berujung pada sustainability usaha. Tetap berbisnis di pelabuhan Tanjung Emas dengan risiko - certainty dan safety and security - yang labil akibat ancaman rob yang terus menggelayuti jelas akan memengaruhi sustainability usaha mereka. Kondisi seperti inilah yang harus diantisipasi oleh regulator dan operator pelabuhan.
Lantas, ke mana aktivitas bisnis kepelabuhan yang di ada di Tanjung Emas harus dipindah? Kata sang teman tadi, pelabuhan Cirebon cocok untuk menerima aktivitas bisnis dari Tanjung Emas. Jaraknya hanya sekitar satu jam perjalanan menggunakan truk. Pelabuhan Cirebon juga sama-sama di bawah manajemen BUMN pelabuhan sehingga perpindahan itu akan lebih mudah dari sisi administrasi korporasi. Kalau pun ada kendala, hal itu paling sebatas aspek teknis kepelabuhanan. Apa yang ada di pelabuhan Tanjung Emas (alat bongkar-muat) juga tersedia di pelabuhan Cirebon.
![]() |
Menurut teman saya lainnya, seorang pensiunan Kemenhub yang ketika masih berdinas banyak berkecimpung di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, kendala teknis yang mendera pelabuhan Cirebon adalah alur pelayarannya. Alurnya dangkal dan diperlukan pengerukan atau dredging rutin bila ingin menerima pindahan aktivitas bisnis dari Tanjung Emas. Masalahnya, pengerukan itu mahal sekali! miliaran rupiah per paketnya. Bagi perusahaan jelas ini cukup memberatkan. Dulu, ketika pengerukan menjadi tanggung jawab pemerintah - karena merupakan bagian dari aspek keselamatan pelayaran - perusahaan rada enakan. Pelimpahan kewajiban pengerukan alur kepada pelaku usaha kepelabuhanan dilakukan sejak 1997.
Dia sepakat dengan ide memindahkan aktivitas bisnis kepelabuhanan keluar dari Tanjung Emas. Hanya saja dia mengusulkan pelabuhan lain, yaitu pelabuhan Patimban di Subang, Jawa Barat. Ia mengutip sebuah hasil studi, tak dijelaskannya studi yang mana, yang menyebutkan dalam 10 tahun ke depan pelabuhan Tanjung Emas harus ditutup dan dipindah ke Patimban. Sekadar catatan, pelabuhan ini sudah beroperasi hampir setahun yang lalu. Ia merupakan pelabuhan besar yang dipersiapkan untuk menyaingi pelabuhan Tanjung Priok. Pelabuhan Patimban dilengkapi dengan terminal kendaraan dan peti kemas masing-masing berkapasitas 200.000 lebih kendaraan dan sekitar 3,75 juta twenty foot equivalent unit (TEU) peti kemas.
Lebih dalam diungkapkan oleh kawan itu, nantinya peti kemas yang ada di pelabuhan Tanjung Emas akan ditarik ke pelabuhan Patimban menggunakan kereta api. Usulannya jelas berdasar fakta keras. Bila dilihat jaringan kereta logistik milik PT KAI, menarik peti kemas dari Semarang/Tanjung Emas jelas amat sangat memungkinkan. Operator kereta api pelat merah itu sudah membangun sejumlah infrastruktur seperti terminal kereta api barang di Jakarta, Karawang, Semarang dan Surabaya.
Tinggal masalah ongkos saja. Jika memakai kereta api ongkosnya lebih murah dibanding truk, jelas pengusaha akan dengan senang hati memindahkan peti kemas atau kargo lainnya ke Patimban. Jika lebih mahal dibanding truk, pilihan yang paling logis adalah pindah lapak usaha ke pelabuhan Cirabon.
Banjir rob perlahan menyurut di pelabuhan Tanjung Emas. Nafas lega pun bisa dihela. Namun, pada saatnya nanti akan tersengal kembali sejurus datangnya "tamu" reguler itu. Nampaknya tidak ada pilihan lain selain pindah. Tetapi, pindah ke mana?