Kemenangan Donald Trump & Makna Cuitan Elon Musk 'Novus Ordo Seclorum'

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Beberapa waktu lalu, pengusaha eksentrik Amerika Serikat (AS) yang beberapa tahun terakhir ini selalu masuk ke jajaran orang terkaya di dunia, membeli Twitter. Tidak tanggung-tanggung, CEO Tesla Inc. Elon Musk menggelontorkan US$ 44 miliar untuk membeli 100% kepemilikan Twitter. Sebelumnya, sempat terjadi drama tarik menarik dengan jajaran direksi perseroan terkait penawaran Musk. Walau begitu, pembelian itu akhirnya terjadi, dan sudah barang tentu, pembelian salah satu media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat dunia itu sontak menjadi perbincangan hangat.
Mengapa Musk begitu berkeinginan membeli Twitter? Dari berita yang beredar, dia melihat potensi besar yang dimiliki oleh Twitter saat ini belum optimal. Dia juga merasa Twitter tidak mampu menjamin kebebasan berekspresi. Pengenyahan akun mantan Presiden AS Donald Trump, menjadi salah satu indikatornya. Beberapa saat setelah pembelian itu dikonfirmasi, Musk mencuit sebuah meme yang menyindir kelompok "kiri jauh" yang menurutnya tidak demokratis.
Berbagai langkah Musk ini membuat kita bertanya-tanya, bagaimana seharusnya kita mengelola ruang digital? Apakah pembatasan dalam ruang digital diperlukan? Jika memang diperlukan, siapa yang berhak melakukannya dan atas standar yang seperti apa? Mari kita tinjau dalam cakrawala yang lebih luas, terkait pengelolaan dan kuasa atas ruang digital.
Mengelola Ruang Bersama
Twitter, sebagaimana media sosial lainnya, merupakan ruang digital yang disajikan oleh pihak swasta. Berbeda dengan dunia nyata yang disediakan Tuhan Yang Maha Kuasa tanpa perlu disengaja oleh manusia, keberadaan dunia digital memerlukan upaya khusus dari para penemu. Hingga akhir 2021 kemarin, pengguna aktif Twitter diperkirakan mencapai lebih dari 200 juta orang.
Dengan jumlah pengguna yang sedemikian besar dengan kemampuan interaksi lintas batas geografis, dapat dikatakan media sosial semacam Twitter merupakan ruang publik. Siapa pun dapat membuat akun, bercuit mengutarakan pikirannya, mengikuti akun lain yang diinginkan, maupun berdebat dengan orang dari mana pun. Ditambah lagi, kekuatan algoritma dalam media sosial dapat memperuncing polarisasi publik, mulai dari isu politik hingga kesehatan, seperti yang disebut oleh Sinan Arai dalam bukunya The Hype Machine. Dengan kemampuan ini, media sosial dapat menjadi wahana untuk mempengaruhi masyarakat luas, bahkan melampaui batas negara. Sudah banyak studi yang menyebut pengaruh Twitter ini dalam berbagai peristiwa politik, mulai dari pemilihan umum hingga Revolusi Musim Semi di negara-negara Arab.
Di sinilah masalah itu muncul. Twitter menjadi ruang publik yang dimiliki oleh entitas privat. Selama ini, dalam ruang publik fisik, otoritas tertinggi dimiliki oleh negara. Sementara itu, siapakah yang berhak memegang otoritas pengelolaan ruang publik digital seperti Twitter ini? Dapatkah kita memperlakukan ruang digital di media sosial ini sebagai public goods layaknya ruang bersama yang ada di dunia nyata?
Dalam mengelola ruang publik berwujud fisik, negara mendapat otoritas politik untuk mengelolanya berdasarkan pada mandat yang didapat dari rakyat. Mandat rakyat inilah yang menjadi fitur kunci dalam kedaulatan negara. Perusahaan privat tidak memiliki fitur ini. Walau begitu, kemampuan finansial dan luasnya jangkauan pengguna Twitter di seluruh dunia membuatnya memiliki pengaruh yang acap kali melebihi negara. Berbagai literatur akademis akan menyebut Twitter sebagai perusahaan transnasional, yang beroperasi, mendapat keuntungan, dan memberi pengaruh lintas batas negara.
Posisi perusahaan transnasional semacam Twitter di hadapan negara memang sudah lama diperdebatkan para ahli. Sejauh mana negara dapat mengatur perusahaan transnasional tersebut dan seberapa luas perusahaan transnasional itu dapat mempengaruhi negara? Negara memang memiliki otoritas dari mandat rakyat yang tidak dimiliki oleh perusahaan mana pun. Akan tetapi, jangan dilupakan juga, kemampuan finansial dan jangkauan pengaruh yang dimiliki oleh perusahaan transnasional bisa juga melampaui kemampuan yang dimiliki oleh sebagian negara.
Mengacu pada pemikir Inggris, Susan Strange, struktur kekuasaan dalam ekonomi politik internasional tidak hanya berada pada struktur militernya, melainkan juga pada struktur produksi, finansial, dan pengetahuan. Struktur militer memang eksklusif hanya dimiliki oleh negara, tetapi negara harus berbagi dengan pihak swasta dalam hal lainnya. Sebagai sebuah jaringan media sosial, Twitter perlu dilihat sebagai bagian penting dalam struktur pengetahuan di ruang digital secara global. Mereka tidak hanya menyediakan ruang interaksi digital, melainkan juga memoderasi pengetahuan apa saja yang berhak dibagikan. Dengan begitu, sebuah perusahaan swasta transnasional akan memiliki kuasa struktural pengetahuan di dunia digital kita.
Kuasa Ruang Digital
Dengan semakin membaurnya batas antara ruang fisik dan digital bagi manusia di zaman ini, kemampuan media sosial sebagai penyedia ruang digital menjadi amat krusial. Satu kemampuan yang patut dicermati oleh perusahaan media sosial seperti Twitter ialah otoritas mereka dalam melakukan sensor dan moderasi substansi konten.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa moderasi konten yang dilakukan oleh media sosial seperti Twitter tidak selamanya berimbang. Mereka berulang kali melakukan penyensoran terhadap cuitan yang dianggap melanggar kode etik, seperti saat beredarnya berbagai hoaks terkait vaksin.
Pembatasan misinformasi di tengah gawat darurat global mungkin masih dapat diterima. Akan tetapi, di lain kesempatan, mereka juga menyensor isu-isu politis, seperti perang Rusia kontra Ukraina. Akun media pemerintah ataupun pejabat asal Rusia diberi label khusus, tetapi label yang sama tidak diberikan pada akun media pemerintah maupun pejabat dari AS dan negara sekutunya.
Di media sosial lain, unggahan terbuka yang mendukung Palestina dan mengecam Israel juga dibungkam, seperti yang pernah terjadi pada supermodel Gigi Hadid. Ini menunjukkan, ada peluang bagi media sosial seperti Twitter untuk memengaruhi opini publik sesuai dengan kepentingan pemiliknya, melalui pembatasan konten yang dapat diunggah.
Musk, dalam beberapa rilisnya mengeklaim dirinya merupakan pendukung kebebasan berpendapat yang sejati. Pembungkaman terhadap sekelompok orang tidak seharusnya dilakukan oleh media sosial seperti Twitter. Setiap orang seharusnya diberi kebebasan untuk mengungkapkan isi pikirannya, apa pun itu.
Sayangnya, klaim Musk ini tidak dapat dikatakan sepenuhnya valid. Beberapa laporan menyebut Musk membungkam opini dan kritik karyawan Tesla di berbagai kesempatan. Setelah pembelian Twitter pun, Musk mencuit sebuah klarifikasi terkait apa yang dia maksud sebagai "kebebasan berpendapat". Dia menegaskan, kebebasan berpendapat tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum. Dengan pembatasan "sesuai hukum" ini kita patut kembali bertanya, lantas apa bedanya dengan yang selama ini Twitter lakukan? Jika dengan kepemilikan saham Twitter oleh berbagai pihak saja sulit untuk menyepakati sejauh mana kebebasan berpendapat itu boleh dilakukan, apalah lagi dengan kepemilikan tunggal? Bukankah akan semakin memperbesar peluang penyalahgunaan pengaruh di ruang digital?
Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada dua hal. Pertama, sebagai apakah kita memosisikan media sosial ini? Jika kita menganggap media sosial ini sebagai ruang publik yang dimiliki oleh sektor privat, isu tadi terdengar tidak begitu bermasalah. Mereka yang merasa tidak sesuai dapat meninggalkannya secara sukarela. Jika kita menganggapnya sebagai ruang publik yang dimiliki bersama, itu tentu menjadi masalah.
Pada prinsipnya, media sosial seperti Twitter memang ruang yang dimiliki dan disediakan oleh perusahaan privat. Akan tetapi, skala ekonomis dan jangkauan sosiologisnya membuat kita sulit menyebutnya sebagai ruang privat secara sepenuhnya. Terlebih, interaksi digital kita banyak bergantung dengan keberadaan mereka. Dengan kondisi seperti ini, penguasaan tunggal atas media sosial sebagai ruang publik berpotensi membentuk sistem yang otoritarian. Dengan struktur kuasa pengetahuan yang dimiliki media sosial semacam Twitter, maka otoritarian itu tidak dijalankan melalui kekuatan militer, melainkan melalui pengendalian atas pengetahuan.
Kedua, bagaimana kita memandang peran negara dalam mengatur perusahaan privat, khususnya yang berjejaring transnasional seperti Twitter? Jika kita memiliki kepercayaan tinggi pada mekanisme pasar untuk membentuk kesetimbangannya tersendiri, termasuk dalam perdebatan opini di media sosial, tentu kita merasa pengaturan negara tidak perlu terlalu besar. Akan tetapi, melihat betapa liarnya debat di media sosial dan pengaruhnya pada kehidupan di dunia nyata, sulit bagi kita untuk percaya sepenuhnya pada kemampuan masyarakat mencari kesetimbangannya sendiri. Apalagi, polarisasi politik yang turut dilestarikan di dunia digital sudah semakin parah. Dengan kondisi seperti ini, menurut hemat saya, negara dalam batas tertentu perlu untuk turut hadir memoderasi konten di media sosial.
Usul ini memang bisa menjadi problematis ketika terlalu besar campur tangan negara dalam mengatur ruang digital. Apalagi jika digunakan untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah dan membungkam kritik oposisi. Untuk itu, kehadiran negara bukan untuk menjadi pengontrol penuh percakapan di media sosial, melainkan mereka hadir sebagai pembawa legitimasi untuk kontrol atas ruang digital. Moderasi konten bisa dilakukan oleh pihak otoritatif, seperti dalam informasi terkait pandemi dan vaksin Covid-19 kemarin. Kondisi seperti itu memang tidak begitu ideal, tetapi memberikan sepenuhnya kontrol media sosial kepada satu orang saja akan jauh lebih bermasalah.