Klausul Non Kompetisi Dalam Perniagaan Pertahanan

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada 30 Desember 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyaksikan penandatanganan kontrak kinerja oleh beberapa BUMN penerima Penanaman Modal Negara (PMN) tahun anggaran 2021 sebagai syarat pemberian PMN. PT PAL Indonesia menerima Rp 1,2 triliun untuk meningkatkan penguasaan teknologi pembangunan kapal selam. Dengan suntikan modal negara, perusahaan pelat merah itu diharapkan mampu membangun kapal selam secara mandiri. Pertanyaannya adalah apakah ambisi itu realistis dan dapat dicapai?
Industri kapal selam merupakan sebuah industri yang harus dibangun berdasarkan pada pertimbangan ekonomis dan tidak boleh dibangun berdasarkan pada semangat nasionalisme sempit dengan mengabaikan aspek ekonomi. Untuk dapat menjadi industri yang berkelanjutan, industri itu harus menghasilkan keuntungan finansial dan faktor nasionalisme sempit tidak akan dapat pernah mendatangkan pendapatan dan keuntungan. Hal tersebut perlu diperhatikan karena terdapat kecenderungan upaya membangun industri kapal selam di Indonesia lebih didorong faktor nasionalisme sempit dan mengabaikan faktor keekonomian. Mengacu pada Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, BUMN sebagai entitas bisnis dituntut untuk mengejar keuntungan finansial sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip keekonomian dalam menjalankan bisnis mereka.
Industri kapal selam selalu menjadi lini bisnis dari sebuah galangan kapal, sebagaimana dipraktekkan oleh Naval Group asal Prancis dan ThyssenKrupp Marine Systems (TKMS) asal Jerman. Siklus kegiatan industri kapal selam adalah konstruksi dan maintenance, repair and overhaul (MRO) dan dari kedua aktivitas itu galangan kapal mendapatkan penghasilan berkelanjutan. Bagi produsen kapal selam kelas dunia seperti Naval Group, mereka memiliki pendapatan lain di luar kegiatan konstruksi dan MRO, yaitu menjual lisensi kapal selam ke negara-negara berkembang. India dan Brasil adalah dua negara yang membeli lisensi kapal selam dari Prancis sebagai strategi untuk membangun kemampuan penguasaan teknologi kapal selam.
Membangun industri kapal selam di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan sepanjang didasarkan pada pertimbangan teknologi dan ekonomis. Skala keekonomian industri dapat dicapai dalam jangka waktu minimal 20 tahun, di mana hal tersebut ditentukan oleh kapasitas fiskal pemerintah untuk memesan kapal selam baru. Peran pemerintah dalam mendukung kelangsungan industri kapal selam sangat vital karena kapal selam memiliki ceruk pasar terbatas. Konstruksi satu kapal selam memerlukan waktu lima tahun dan satu tahun tambahan untuk sea trial sebelum diserahkan kepada konsumen, sedangkan MRO satu kapal selam setidaknya akan terjadi setiap lima tahun.
Agar lini bisnis kapal selam dapat terus berproduksi tanpa jeda, syarat utama yang harus dipenuhi adalah pesanan dalam jumlah yang besar dari pemerintah untuk konstruksi kapal selam baru. Setidaknya lini kapal selam mendapatkan pesanan minimal enam atau tujuh kapal selam dalam satu kali kontrak dengan jangka waktu 10 tahun. Produksi kapal selam secara berkelanjutan selama 10 tahun akan berkontribusi pula pada upaya menjaga skill workforce di bidang ini. Apabila hal demikian terjadi, maka faktor ekonomis produksi kapal selam dapat dicapai sekaligus berkontribusi pada upaya menjaga agar tidak terjadi brain drain.
Beberapa tahun lalu, TNI Angkatan Laut pernah menetapkan kebutuhan minimal kapal selam Indonesia adalah 12 buah. Berdasarkan siklus operasi dan pemeliharaan TNI AL, dengan mempunyai 12 unit kapal selam maka pada setiap saat terdapat empat buah yang beroperasi dan siap tempur, sementara sisanya berada di pangkalan untuk menjalani pemeliharaan ringan dan MRO. Dengan asumsi setiap lima tahun satu kapal selam harus menjalani MRO dengan jangka waktu dua tahun, maka dapat dipastikan aktivitas MRO di lini bisnis kapal selam akan terus terjadi. Sehingga tercipta faktor ekonomis eksistensi lini bisnis kapal selam dari kegiatan MRO.
Agar suntikan PMN kepada galangan BUMN tidak sia-sia, Indonesia harus memilih mitra yang tepat untuk mendukung pembangunan industri kapal selam nasional. Saat ini, Kementerian Pertahanan di bawah kepemimpinan Menteri Pertahanan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto sedang melakukan tender akuisisi kapal selam dan mengundang setidaknya tiga galangan kapal selam dari Eropa untuk berpartisipasi. Naval Group pada Desember 2021 telah melakukan pertemuan dengan Kemhanuntuk mendiskusikan tawaran kapal selam kelas Scorpene, sedangkan TKMS sudah melakukan pertemuan serupa pada pekan kedua Januari 2022 dan akan disusul oleh galangan lainnya segera. Kemitraan industri kapal selam yang dikejar oleh Indonesia memiliki implikasi, yaitu Jakarta hendaknya mengakuisisi kapal selam dalam jumlah yang banyak agar tercapai skala keekonomian.
Pertanyaannya adalah dapatkah skala keekonomian demikian dapat dicapai di Indonesia? Menyangkut pesanan minimal kapal selam agar lini produksi tetap terjaga, jumlah kapal selam yang dipesan akan ditentukan oleh bagaimana perencanaan strategis pertahanan jangka panjang yang ditetapkan oleh Kemhan dan bagaimana Kementerian Keuangan dapat memberikan dukungan fiskal untuk akuisisi kapal selam. Apakah perencanaan strategis pertahanan dan dukungan fiskal pemerintah bisa selaras dengan kebutuhan lini bisnis kapal selam agar lini produksinya terus berjalan? Tentang MRO kapal selam setiap lima tahun, akan ditentukan juga oleh kapasitas fiskal pemerintah untuk kebutuhan pertahanan dan penjadwalan pelaksanaan MRO oleh TNI AL sebagai operator kapal selam.