Pandemi (Energi) Ekonomi

Adhitya Nugraha CNBC Indonesia
Rabu, 20/10/2021 09:54 WIB
Adhitya Nugraha
Adhitya Nugraha
Senior Economist, Pertamina Energy Institute at PT.Pertamina (Persero).... Selengkapnya
Foto: Dok Pertamina

Kita telah lewati tahun 2020 berikut resesi global yang terdalam sejak 80 tahun yang lalu. James Rickards dalam bukunya, The New Great Depression: Winners and Losers in a Post-Pandemic World, menyebutkan bahwa sejak tanggal 24 Februari 2020 telah dimulai The New Great Depression. Ketika itu pasar mulai turun tajam hingga 36 % di Dow Jones Industrial Average. Bahkan pada bulan April 2020, terjadi peristiwa penurunan harga minyak yang belum terbayangkan sebelumnya yaitu harga minyak mentah West Texas Intermediate turun di bawah nol, yang berarti pemasok harus membayar konsumen untuk mengambil minyak dari tangan mereka. Hal tersebut akibat dari penghentian kegiatan secara drastis yang menurunkan aktivitas ekonomi, diikuti penurunan konsumsi dan energi global. Di saat yang sama, terjadi surplus minyak di darat dan di kapal tanker.

Thomas Sadler dalam buku terbarunya yaitu Pandemic Economics mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi pemerintah perlu merespons fenomena pandemi dengan suatu pendekatan sistemik yang menyeluruh. Pandemi ini telah memaksa banyak negara untuk menerapkan pembatasan sosial dan menutup bentuk kegiatan ekonomi. Kebijakan yang berdampak resesi.Di sisi lain, perubahan kualitas lingkungan dan iklim mendorong percepatan transisi energi, terutama di sektor industri, transportasi, dan pembangkit listrik. Masyarakat mengemudi kendaraan lebih sedikit dan bekerja dari rumah di saat pandemi, mengakibatkan permintaan energi menurun yang diikuti oleh pengurangan produksi. Pada akhirnya berdampak pada pengurangan polusi dan peningkatan kualitas lingkungan.

Ketika aktivitas ekonomi menurun, polusi yang mengalir ke udara, air, dan tanah lebih sedikit. Daerah perkotaan mengalami langit yang lebih bersih. Penurunan permintaan energi pun mengurangi konsumsi bahan bakar fosil yang kemudian menurunkan gas rumah kaca (GRK). Di beberapa negara, penurunan emisi polusi lebih disebabkan oleh perubahan di sektor transportasi daripada pembangkit listrik atau bangunan.


Sebagai contoh, pencemaran dari arus lalu lintas menjadi sumber utama emisi NO2. Selama pandemi, konsentrasi NO2 di permukaan tanah menurun di banyak negara ketika mereka menerapkan tindakan penghentian ekonomi (Venter et al., 2020). Pada sisi lain, pembuangan personal protective equipment (PPE), termasuk masker wajah, sarung tangan, dan limbah rumah sakit menyebabkan dampak lingkungan yang negatif. Dengan demikian, pandemi ini berdampak secara positif dan juga negatif.

Momentum pemulihan ekonomi global telah terlihat pada Triwulan ke-3 tahun 2021 yang diproyeksikan sebagai puncak pemulihan. Pemulihan ini dipimpin oleh Eropa dan Amerika Serikat, walaupun masih banyak tantangan di China, Australia dan beberapa negara Asia seperti Malaysia, Filipina, Indonesia dan Thailand. Pemulihan ekonomi dunia sangat tergantung dari paket stimulus, proses vaksinasi dan pembukaan kembali aktifitas ekonomi. Stimulus fiskal masih di dominasi oleh negara maju. Pada umumnya, terdapat perubahan pengeluaran yang sebelumnya untuk biaya pandemi, kemudian mulai fokus pada infrastruktur dan green transition dengan menggantikan pengeluaran darurat untuk perawatan kesehatan ketika pandemi mulai mereda.

Seiring dengan membaiknya ekonomi global, polusi pun berpotensi meningkat kembali. Sejauh mana negara mempertahankan tingkat polusi yang lebih rendah tergantung pada kebijakan lingkungan dan energi, perilaku kolektif, dan restrukturisasi ekonomi. Di tahun-tahun mendatang, krisis iklim dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi global ke depan. Dalam analisisnya, Stern (2008) berpendapat bahwa tanpa tindakan, biaya perubahan iklim akan setara dengan kehilangan 5 % dari PDB global setiap tahun.

Oleh karena itu, perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi saling terkait. Krisis ekonomi akibat perubahan iklim yang lebih dalam dapat melanda negara-negara berkembang. Pertanyaannya adalah bagaimana negara di dunia melakukan integrasi dalam mengurangi emisi untuk mengurangi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim.

Pertama, aspek energi, lingkungan, dan iklim menunjukkan perlunya keberlanjutan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan mempertahankan sumber daya untuk generasi mendatang. Dampak energi, lingkungan, dan perubahan iklim dari pandemi bersifat jangka pendek. Namun, perubahan dalam konsumsi energi, polusi, dan hasil iklim memerlukan perencanaan jangka panjang. Dalam konteks ini, optimalisasi kombinasi energi dan mitigasi perubahan iklim akan membantu menentukan kekuatan ekonomi masa depan.

Kedua, transisi energi yang mengalami percepatan saat pandemi memerlukan kekuatan finansial dari pelaku energi dan dukungan untuk industri bahan bakar fosil. Pandemi dapat mempercepat tren peningkatan efisiensi biaya dan penggunaan teknologi terbarukan, seperti surya, angin, dan panas bumi. Hal ini mendukung investasi dalam teknologi bersih dan potensi divestasi dari bahan bakar fosil.

Dengan demikian, pandemi ini juga membutuhkan gerakan kebersamaan interkoneksi finansial global dalam tata kelola energi global secara terkoordinasi. Tanpa adanya interkoneksi, sistem kerja sama global saat ini justru dapat berdampak dalam memperkuat desentralisasi tata kelola energi dari skala multilateral menjadi nasional, serta dari skala transnasional menjadi lokal sehingga Pemerintah perlu meningkatkan partisipasi di level internasional. Selain itu, respons Pemerintah dan perusahaan energi terhadap pandemi memerlukan prioritas optimalisasi kombinasi antara dekarbonisasi, teknologi energi bersih dan ketahanan energi nasional.


(rah/rah)