Insentif PPh Bunga Obligasi & Pendalaman Pasar Keuangan

Muhammad Aulia, CNBC Indonesia
06 September 2021 12:35
Muhammad Aulia
Muhammad Aulia
Muhammad Aulia merupakan analis di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Titel Sarjana Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (2008). Sementara itu, gelar strata dua dalam wujud Master.. Selengkapnya
Close-shot of a tablet computer displaying financial data, three businessmen standing in the background
Foto: Freepik

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dalam beberapa episode volatilitas pasar keuangan dunia, sebut saja Global Financial Crisis 2008, Taper Tantrum 2013, atau awal pandemi Covid-19, kita telah melihat arus keluar portofolio asing yang seketika dalam jumlah besar telah menciptakan goncangan pada stabilitas nilai tukar maupun nilai aset di pasar modal Indonesia. Berkaca dari hal tersebut, pemerintah terus mendorong pendalaman pasar keuangan domestik dengan berbagai inisiatif, termasuk di pasar obligasi. Hal itu tak lepas dari premis yang menyatakan pasar keuangan domestik yang dalam dan likuid diharapkan dapat berperan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan menyediakan sumber pembiayaan pembangunan jangka panjang.

Sebagai suatu upaya dalam mewujudkan pasar obligasi yang lebih dalam, otoritas baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 91/2021 yang mengatur tarif baru Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga obligasi bagi investor domestik. Lewat PP tersebut, pemerintah memangkas tarif PPh atas pendapatan dari obligasi (bunga, imbalan, dan diskonto) yang diterima pemodal lokal dari 15% ke 10%. Kebijakan ini menjadi satu rangkaian dengan penurunan tarif dari 20% (atau sesuai treaty) ke level 10% bagi investor asing yang telah lebih dulu berlaku sejak awal Agustus. Tarif baru bagi investor asing ini diatur dalam PP Nomor 9/2021 terkait kemudahan berusaha yang merupakan turunan UU Cipta Kerja.

Sebenarnya, apa efek yang diharapkan dari kebijakan insentif perpajakan obligasi ini? Dalam beberapa kesempatan, otoritas fiskal menegaskan pemberian insentif ini ditujukan untuk menciptakan pasar surat utang, baik Surat Berharga Negara (SBN) maupun obligasi korporasi, yang dalam dan likuid dengan mendorong kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) bagi para investor. Secara ukuran, pasar obligasi domestik Indonesia sendiri memang masih dangkal jika dibandingkan peers di kawasan. Menurut data Bank Pembangunan Asia (ADB), rasio outstanding obligasi domestik (SBN dan korporasi) Indonesia terhadap PDB tercatat sebesar 31% (per Maret 2021). Bandingkan dengan besaran pasar surat utang Thailand (70% PDB) atau jiran kita Malaysia yang sebesar 123% PDB di periode yang sama.

Ada beberapa manfaat bagi pengembangan pasar obligasi yang dapat diberikan oleh kebijakan insentif ini. Pertama, penurunan dan penyetaraan tarif diharapkan dapat menekan belanja bunga pemerintah dan swasta. Riset Eijffinger, dkk (1998) memaparkan kecenderungan investor untuk membebankan pajak yang dikenakan atas pendapatan bunga pada penerbit. Hal tersebut berakibat pada naiknya imbal hasil sebelum pajak (pretax interest rate) yang harus ditanggung penerbit. Sementara itu, kelompok investor yang telah menikmati fasilitas tarif justru diuntungkan dengan mendapatkan tingkat bunga yang lebih tinggi yang terbentuk di pasar. Distorsi harga tersebut dapat berdampak negatif, khususnya bagi pemerintah sebagai penerbit SBN, yang harus menanggung biaya bunga yang lebih tinggi namun tidak diikuti dengan penerimaan pajak yang optimal.

Di samping efisiensi biaya penerbitan, pemberian insentif tarif PPh bunga obligasi diharapkan juga dapat meningkatkan partisipasi investor di pasar obligasi domestik. Insentif tarif bagi WP luar negeri diharapkan dapat mendorong minat berinvestasi bagi pemodal dari negara yang belum memiliki perjanjian pajak dengan Indonesia atau masih dikenakan tarif treaty di atas 10%. Sejalan dengan semangat memberikan kemudahan berusaha, kebijakan ini juga bertujuan untuk menyederhanakan prosedur yang selama ini harus dijalankan investor asing agar dapat menikmati fasilitas tarif sesuai perjanjian pajak.



Mengutip buku Strategi Nasional Pengembangan dan Pendalaman Pasar Keuangan (SN-PPPK) 2018-2024, salah satu tantangan penyediaan pembiayaan pembangunan jangka panjang adalah relatif tingginya dominasi sektor perbankan sebagai penyedia dana. Fenomena ini dapat dilihat dari kepemilikan bank atas SBN domestik (tradable) sebesar Rp 1.461,5 triliun atau 33,4% dari total outstanding (per 31 Agustus 2021, data Kemenkeu). Porsi kepemilikan ini jauh melampaui kepemilikan investor institusi lain seperti asuransi dan dana Pensiun (14,5%) atau reksa dana (3,2%). Pemangkasan tarif PPh bunga obligasi diharapkan dapat menggenjot partisipasi investor domestik di pasar surat utang, khususnya dari institusi nonbank seperti asuransi dan investor ritel yang sebelumnya dikenakan tarif final 15%.

Di pasar SBN, pertumbuhan jumlah investor sebenarnya cukup menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu tak lepas dari inisiatif digitalisasi penawaran SBN ritel secara daring yang dilaksanakan sejak akhir tahun 2018 yang relatif berhasil menarik minat investor usia muda. Data KSEI menunjukkan pada bulan Juni lalu, jumlah investor SBN berdasarkan Single Investor Identification (SID) tercatat sebanyak 531.467, tumbuh 2,7 kali lipat dibandingkan posisi akhir tahun 2018. Namun, jumlah tersebut sebenarnya masih relatif kecil secara rasio (1%) apabila dibandingkan potensi pasar kelas menengah Indonesia yang menurut estimasi Bank Dunia (2019) berjumlah 52 juta jiwa.

Dilihat dari porsi kepemilikan, investor individu tercatat berkontribusi atas 4,5% outstanding SBN domestik (per Agustus, data Kemenkeu). Pemberian insentif tarif ini tentu sejalan dengan upaya pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada dana asing dengan memperbesar porsi kepemilikan ritel domestik. Secara gradual, porsi ritel diharapkan dapat menyamai atau bahkan melampaui porsi investor rumah tangga di pasar obligasi negara emerging markets seperti Thailand (6,1%) dan Hungaria (26,5%) (per Juni, data CEIC). Selain efek positif bagi pengembangan pasar, pemberian insentif perpajakan obligasi di sisi lain memberikan tantangan tersendiri bagi otoritas. Di sisi fiskal, kebijakan ini dapat berdampak pada penerimaan perpajakan dari investor obligasi. Namun, potensi penurunan belanja bunga yang lebih besar dibandingkan dengan hilangnya penerimaan diharapkan dapat berdampak positif pada APBN secara umum.

Terakhir, penulis berpendapat bahwa kebijakan insentif perpajakan obligasi ini merupakan suatu "kepingan puzzle" dari strategi besar pengembangan pasar keuangan domestik. Oleh sebab itu, otoritas dan pemangku kepentingan di masing-masing industri yang ada di pasar keuangan domestik hendaknya terus bersinergi dalam melengkapi "puzzle" tersebut melalui program pendalaman di tiap sektor pasar keuangan. Dengan demikian, gambar besar yang diinginkan, yakni pasar keuangan yang dalam, likuid, inklusif, serta mampu menyediakan sumber pembiayaan pembangunan secara efisien dapat terwujud.


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation