Awan Mendung Pembiayaan Belanja Alutsista Tahun 2022

Alman Helvas Ali, CNBC Indonesia
06 September 2021 06:10
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali
Alman Helvas Ali adalah konsultan pada Marapi Consulting and Advisory dengan spesialisasi pada defense industry and market. Pernah menjadi Country Representative Indonesia untuk Jane’s Aerospace, Defense & Security pada tahun 2012-2017. Sebagai konsultan.. Selengkapnya
Pesawat terbang CN235-220. (Dok. PT DI)
Foto: Pesawat terbang CN235-220. (Dokumentasi PT DI)

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Awan mendung nampaknya akan menggelayuti kemampuan pemerintah Indonesia untuk membiayai kegiatan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada tahun anggaran 2022. Setelah pemerintah mengajukan alokasi anggaran pertahanan pada RAPBN 2022 kepada DPR RI senilai Rp 133,9 triliun, kini terungkap kemampuan fiskal pemerintah untuk membiayai kegiatan-kegiatan dalam RAPBN 2022 untuk Kemenhan pun cukup terbatas. Mengutip istilah yang seringkali dipakai oleh para pejabat senior Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ruang fiskal pemerintah saat ini sempit. Meskipun alokasi pasti anggaran pertahanan masih harus menunggu hasil pembahasan eksekutif dan legislatif, kemungkinan berkurangnya alokasi anggaran pertahanan adalah keniscayaan karena ruang fiskal pemerintah kini faktanya memang sempit.

Salah satu kegiatan yang akan terdampak dengan sangat sempitnya ruang fiskal adalah belanja modal, termasuk belanja alutsista di dalamnya. Belanja alutsista pada APBN dapat bersumber dari Rupiah Murni, Pinjaman Dalam Negeri (PDN) dan Pinjaman Luar Negeri (PLN). Terkait dengan PLN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada akhir April 2021 telah menerbitkan Penetapan Sumber Pembiayaan (PSP) senilai US$ 5,8 miliar yang berlaku hingga 30 April 2022. Alokasi PSP tersebut mencakup 31 kegiatan yang disetujui oleh Sri Mulyani dan akan dibiayai oleh Kreditor Swasta Asing dan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, pemerintah harus menyediakan Rupiah Murni Pendamping (RMP) untuk mendampingi pinjaman atau hibah luar negeri. Besaran RMP rata-rata 15% dari total nilai kegiatan, sedangkan 85% sisanya ditanggung oleh lender. RMP harus disiapkan oleh pemerintah dalam APBN agar suatu kegiatan dapat dieksekusi setelah kontraknya ditandatangani. Isu RMP kini adalah salah satu tantangan dalam mewujudkan ambisi Kemenhan untuk belanja senjata sesuai dengan alokasi PSP.



Dengan alokasi PSP senilai US$ 5,8 miliar, kebutuhan RMP untuk Kemenhan pada tahun anggaran 2022 adalah US$ 870 juta atau sekitar Rp 12 triliun. Namun menurut informasi dari seorang pejabat senior di pemerintahan yang familiar dengan urusan anggaran, Kemenkeu hanya mampu menyediakan Rp 3 triliun sebagai RMP belanja senjata pada tahun depan. Dengan kata lain, kapasitas fiskal pemerintah pada tahun anggaran 2022 hanya seperempat dari kebutuhan riil RMP. Sehingga dari 31 kegiatan yang mendapatkan PSP, sebagian besar tidak akan dapat dieksekusi menjadi kontrak efektif karena kapasitas fiskal yang sempit untuk penyediaan RMP.

Sejak beberapa waktu silam Kemenhan memiliki wacana untuk diperbolehkannya PLN tanpa RMP atau semua pembiayaan ditanggung oleh lender dalam pembelian alutsista. Namun, wacana itu tidak mendapatkan persetujuan Kemenkeu untuk dilaksanakan karena bertentangan dengan aturan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. RMP tetap harus tersedia untuk PLN, namun besaran persentase RMP dari total nilai kegiatan akan sangat tergantung kesepakatan antara Kementerian Keuangan dengan lender. Boleh jadi besaran persentase RMP kurang dari 15% apabila lender menyetujuinya.

Dari 31 kegiatan yang mendapatkan PSP, sampai sekarang baru satu kegiatan yang kontraknya telah ditandatangani, yaitu akusisi pesawat Lead-In Fighter Training (LIFT) senilai US$ 240 juta. Sementara kegiatan lainnya masih dalam tahap tender atau pembicaraan penjajakan dengan calon pemasok. Masih tersedia ruang fiskal sekitar Rp 2,5 triliun untuk RMP yang harus diperebutkan oleh 30 kegiatan tersisa. Dihadapkan pada kondisi demikian, Kemenhan perlu melakukan penyaringan kembali 30 kegiatan tersebut sehingga hanya kegiatan yang sangat prioritas yang akan mendapatkan RMP sesuai kapasitas fiskal pemerintah.

Berikutnya adalah apakah Kemenkeu masih mempunyai ruang fiskal untuk menerbitkan PSP pada 2022? Pertanyaan ini sangat relevan karena Kemenhan telah menandatangani kontrak akuisisi 36 pesawat tempur Rafale, enam fregat FREMM dan dua fregat Maestrale dengan nilai total diperkirakan sekitar US$ 12 miliar. Masih adakah ruang fiskal untuk membiayai dua belanja besar itu di tengah upaya pemerintah untuk kembali ke defisit anggaran 3% dari GDP pada tahun fiskal 2023? Seperti telah disebutkan sebelumnya, Kemenkeu telah menutup pintu rapat-rapat untuk kemungkinan pembiayaan PLN dengan tanpa RMP seperti keinginan Kemenhan.

Sampai sekarang rencana akusisi senjata buatan Prancis dan Italia itu belum masuk dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman Luar Negeri (DRPPLN) yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Tercantum dalam DRPPLN merupakan pintu masuk untuk mendapatkan PSP. Sebab, kontrak tanpa mendapatkan PSP tidak ada gunanya. Apabila Kemenkeu menerbitkan PSP pada 2022 untuk mendukung kedua program tersebut, lalu bagaimana kapasitas fiskal untuk penyediaan RMP pada tahun anggaran 2023?


(miq/miq)

Tags

Related Opinion
Recommendation