
Jurnalis pencinta sastra, yang baru meraih Master of Science bidang Energi Terbarukan dari Universitas Darma Persada. Mengawali proses jurnalistik di Hayamwuruk, Penulis berkarir di Bisnis Indonesia, Bloomberg TV Indonesia, The Jakarta Post dan kini bersama CNBC Indonesia sebagai Lead Researcher.
Profil SelengkapnyaProgram Vokasi: Mutiara Tersembunyi di Era New Normal

Jakarta, CNBCÂ Indonesia - "The Great Lockdown is expected to play out in three phases, first as countries enter the lockdown, then as they exit, and finally as they escape the lockdown when there is a medical solution to the pandemic."
Pernyataan itu dikemukakan Kepala Ekonom Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Gita Gopinath pada Selasa (16/6/2020), dalam paparannya jelang rilis laporan "Update Outlook Ekonomi Dunia."
Ekonom asal Kalkutta, India ini memakai istilah Great Lockdown (Pengurungan Akbar), untuk menyebut risiko resesi, yang dipicu pandemi Covid-19. Maraknya karantina wilayah (lockdown) baik parsial maupun total di mayoritas negara dunia memang mempersendat ekonomi.
Menurut Gita, Pengurungan Akbar kali ini berbeda dari krisis-krisis sebelumnya, di mana sektor manufaktur terpukul paling parah. Kini, yang lebih banyak terpukul justru sektor jasa. Ini tentu persoalan gawat, karena sama artinya negara maju tak lagi kebal resesi.
Di negara maju, peran sektor tersier (jasa) memang besar dalam perekonomian mereka. Ambil contoh Amerika Serikat (AS) yang saat ini 77,4% Produk Domestik Bruto-nya (PDB) berasal dari sektor jasa. Demikian juga Hong Kong di mana sektor jasa menyumbang 95% dari PDB-nya.
Apakah negara berkembang yang bergantung pada sektor primer (tambang-pertanian) dan sekunder (manufaktur) jadi lebih kebal. Menurut Gita, tidak: "Untuk pertama kali sejak Great Depression (Depresi Akbar), negara maju dan emerging market sama-sama dalam resesi di 2020."
Di Indonesia, efek Pengurungan Akbar kali ini berbeda dari krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Indonesia pada tahun 1998. Jika pada krisis 1998 sektor UMKM tak gulung tikar, karena mereka yang bergerak di industri pengolahan jumlahnya di bawah 5%, kali ini banyak UMKM yang jatuh.
Pasalnya, sekitar separuh dari 56,5 juta UMKM kita bergerak di sektor jasa (menurut data Kementerian Koperasi dan UKM per 2014). IMF menemukan bahwa pukulan Covid-19 terhadap sektor jasa justru lebih besar dari sektor manufaktur.
Data Kementerian menyebutkan bahwa sebanyak 1.785 koperasi dan 163.713 pelaku UMKM terdampak pandemi virus corona (Covid-19). Guncangan terbesar menimpa UMKM yang bergerak di sektor industri kreatif, makanan-minuman, dan pertanian.
Namun, karakter demikian juga membedakan situasi sekarang dengan krisis sebelumnya dalam hal pemulihan. Jika Pengurungan Akbar memasuki fase ketiga dengan temuan solusi medis untuk mengatasi pandemi, ekonomi akan bangkit lebih cepat karena sektor jasa memang lebih sensitif dengan pemulihan daya beli masyarakat.
Vokasi, Kewirausahaan, & New Normal
Di situasi krisis yang demikian, menurut hemat penulis, peran vokasi justru menjadi kian penting dalam kaitannya dengan mencegah penurunan aktivitas kewirausahaan ketika situasi normal baru (new normal) telah berjalan.
Dalam studi terbarunya berjudul "Looking Beyond the Covid-19 Crisis" yang dirilis pada April lalu, Rabobank memperkirakan virus corona juga bakal menyerang aspek kewirausahaan dalam perekonomian, karena turunnya aktivitas riset perusahaan besar.
Sebagaimana diketahui, riset perusahaan berujung pada produk destruktif nan kreatif, untuk membuat proses produksi dan operasi perusahaan menjadi lebih efisien berkat temuan-temuan baru. Pemangkasan dana divisi Riset dan Pengembangan akibat pandemi bakal memukul sisi ini.
"Karena pengalihan risiko tersebut memiliki andil dalam kewirausahaan, dampak jangka panjang krisis seperti yang telah kami sebutkan adalah bisa mengurangi jiwa kewirausahaan," tulis bank UMKM-nya Belanda tersebut.
Program vokasi bisa menjadi celah, mengingat posisinya sebagai pendidikan formal yang tak hanya melatih tenaga kerja terampil, melainkan juga berjiwa wirausaha. Dari kolam vokasi berpeluang muncul produk creative destruction, tatkala korporasi pilih mengejar efisiensi.
Dalam buku Enterprise Education in Vocational Education (2015), Daniele Morselli menyebutkan bahwa UMKM memainkan peran penting dalam mendorong inovasi dan pembukaan lapangan kerja di tengah masyarakat global yang kini menjadi 'masyarakat wirausahawan' dan bukan 'masyarakat karyawan'.
Mengacu pada riset Audretsch berjudul "Innovation and Technological Change" (2003), dia menunjukkan bahwa inovasi lebih mungkin terjadi di kalangan UKM, ketimbang di fasilitas R&D perusahaan besar. Pasalnya, UKM dituntut untuk berinovasi agar bertahan di pasar.
Hal demikian hanya bisa muncul dari jiwa wirausaha, yang utamanya bergerak di sektor teknologi sebagai sektor yang banyak menyerap pekerja dari sekolah vokasi. "Sekolah vokasi memiliki posisi yang utama untuk mendukung inovasi UKM," ujar Daniele.
Artinya, ketika aktivitas riset korporasi menurun akibat pandemi, program vokasi bisa menjadi mutiara yang bersinar dengan produk inovasi dari para lulusannya, terutama yang terserap di UMKM sektor teknologi atau perusahaan rintisan digital (startup) sebagaimana disinggung di atas.
Di era new normal, posisi digital ini menjadi kunci karena membentuk pola interaksi konsumsi dan produksi dengan berbasis teknologi digital, setelah pelaku usaha dan konsumen "dipaksa" migrasi ke ranah digital sebagai konsekuensi penjarakan sosial (social distancing) saat ini.
(Arif Gunawan/hoi)