Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar keuangan dunia dibuat pusing bukan kepalang pada hari ini, terutama mereka yang melakukan transaksi di pasar valuta asing atau
foreign exchange (
forex). Bagaimana tidak, dalam hitungan beberapa menit saja, mata uang Australia yakni dolar Australia kehilangan nilainya secara signifikan melawan mata uang utama dunia lainnya. Melawan yen, dolar Australia anjlok hingga 6,1%.
Fenomena seperti ini biasa disebut
flash crash. Perlu diketahui, fenomena
flash crash tak baru kali ini saja terjadi. Masih teringat jelas di benak penulis kala poundsterling terjun bebas melawan yen pada awal Oktober 2016. Pada saat itu, penulis memasang posisi
short atas
pairĀ GBP/JPY. Target harga dipasang cukup jauh di bawah, karena merupakan target harga untuk 1 minggu ke depan.
Hebatnya, target harga ini tersentuh dalam 1 hari saja lantaran poundsterling terkena
flash crash. Dalam waktu 1 hari, penulis membukukan keuntungan antara 20-30% dari satu transaksi tersebut.
Pelaku pasar lantas coba menjelaskan alasan di balik
flash crash yang terjadi pada pagi hari ini. Ada yang mengatakan bahwa
flash crash terjadi karena investor ritel di Jepang dipaksa melepas posisi long dalam pasangan AUD/JPY, seiring dengan penguatan yen yang nyaris mencapai 1% melawan dolar AS pada perdagangan kemarin (2/1/2018).
Kemudian, ada pula yang menyebut bahwa Apple menjadi biang kerok di balik hancurnya dolar Australia. Dalam surat yang ditulis oleh CEO Apple, Tim Cook, kepada para investor, Apple merivisi ke bawah target pendapatan kuartal I tahun fiskal 2019 yang berakhir pada 29 Desember.
Perusahaan pembesut iPhone ini menurunkan proyeksi pendapatannya menjadi US$ 84 miliar (Rp 1.210 triliun), dari yang sebelumnya US$ 89 miliar hingga US$ 93 miliar. Apple terpaksa memangkas proyeksi pendapatannya, salah satunya karena perlambatan ekonomi di China yang begitu signifikan. Lantas,
safe haven seperti yen disebut menjadi pilihan investor dan di sisi lain, dolar Australia dilepas.
Penulis memiliki masalah terkait pandangan tersebut.
Memang, aksi jual dolar Australia yang dilakukan oleh investor ritel di Jepang dan revisi ke bawah dari pendapatan Apple bisa membuat mata uang Negeri Kanguru melemah. Tapi, apakah masuk akal jika pelemahannya mencapai 6,1%?
Ingat, kita di sini berbicara mengenai nilai tukar dan bukan saham yang pergerakannya bisa begitu liar. Di Indonesia, setiap hari kita melihat saham naik atau turun dengan besaran 25% atau bahkan lebih. Tapi jika berbicara mengenai nilai tukar, pelemahan sebesar 6,1% terbilang luar biasa besar.
Semua Karena RobotDi zaman modern seperti saat ini, perlu diketahui bahwa transaksi jual-beli di pasar keuangan tak sepenuhnya dilakukan oleh manusia. Malahan, menurut Guy De Blonay yang merupakan manajer investasi di Jupiter Asset Management, 80% transaksi di pasar saham AS dilakukan oleh mesin atau yang lazim disebut dengan robot oleh kalangan
trader forex di Indonesia.
Jangan dipikir bahwa robot ini memiliki wujud. Robot di sini merujuk kepada kumpulan algoritma yang bisa secara otomatis mengeksekusi order beli dan jual di pasar keuangan.
Pada perdagangan tanggal 4 Desember 2018, salah satu indeks saham utama di AS yakni S&P 500 anjlok hingga 3,24%. Pada hari itu, terjadi inversi
spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun, yang berarti obligasi tenor 3 tahun menawarkan imbal hasil lebih tinggi ketimbang obligasi tenor 5 tahun. Hal ini dipercayai oleh pelaku pasar sebagai indikasi awal datangnya resesi di AS.
Pada saat inversi tersebut terjadi, penulis yakin tak semua pelaku pasar menyadarinya. Namun, algoritma sudah menangkap hal tersebut dan mengeksekusi order jual.
Asal tahu saja, di pasar valuta asing pengunaan robot merupakan hal yang lazim oleh investor ritel ketimbang di pasar saham. Di pasar saham, biasanya hanya institusi keuangan besar yang menggunakan robot. Mungkin, algoritma di pasar saham lebih ribet ketimbang pasar valuta asing sehingga biaya pengembangannya juga lebih besar.
Tak peduli broker apapun yang digunakan oleh
trader forex,
platform yang digunakan untuk transaksi hampir selalu adalah MetaTrader. Di dalam aplikasi ini, sudah terdapat fitur
built-in yang bisa digunakan untuk bertransaksi menggunakan robot.
Masih bingung dengan robot? Berikut contoh sederhana dari algoritma yang bisa digunakan investor. Katakanlah algoritma ini di set untuk pasangan mata uang yang paling likuid di dunia, yakni EUR/USD.
Algoritmanya adalah order beli akan dieksekusi setiap kali m
ovingĀ average (MA) periode 5 memotong ke atas MA periode 10. Sebaliknya, order jual akan dieksekusi setiap kali MA 5 memotong ke bawah MA 10. Order beli maupun jual akan ditutup setiap kali keuntungan sudah mencapai 3%. Ingat, di pasar valuta asing investor bisa menghasilkan keuntungan baik dari order beli maupun jual.
Pada hari ini, ada suatu hal yang memicu sang algoritma untuk mengeksekusi order jual atas dolar Australia. Entah apa pemicunya, tapi penulis meyakini bahwa
flash crash hari ini dimotori oleh robot dan bukan manusia.
Salah satu aturan utama kala bertransaksi di pasar keuangan adalah "
trend is your friend".
Tapi, setelah memahami bahwa fenomena
flash crash bisa terjadi kapan saja, penulis ingin menyarankan sebuah aturan baru yang sepatutnya diikuti oleh
trader forex yakni "
trend shoudn't be your only friend, but also stop-loss".
(ank)