Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sepanjang tahun 2018, serangkaian prestasi boyband Korean pop (K-pop), Bangtan Sonyeondan (atau Bangtan Boys, disingkat BTS.) bikin heboh dunia. Di antara banyak prestasi fenomenal yang ditorehkan BTS tahun ini adalah keberhasilan mereka menduduki puncak tangga Billboard's Social 50 selama 100 minggu, dan menjadi artis kedua setelah Justin Bieber yang mencapai prestasi tersebut.
Selain itu, BTS juga didaulat menjadi goodwill ambassador bagi sebuah kampanye UNICEF bernama "Love Myself" yang bertujuan mengakhiri tindak kekerasan terhadap anak-anak.
 Foto: Penyanyi K-Pop BTS (REUTERS/Caitlin Ochs) |
Satu lagi prestasi BTS yang tidak kalah hebat dari dua yang disebut di atas adalah kontribusi mereka terhadap Korea Selatan yang mencapai jumlah US$ 3.6 miliar atau setara dengan IDR 52 triliun. Nilai fantastis tersebut didapat dari penjualan rekaman fisik dan digital, merchandise dan juga tiket konser. Angka ini hanya berbeda tipis dengan nilai akuisisi 51% saham PT Freeport Indonesia, yaitu US$ 3.85 miliar atau IDR 53.9 triliun.
Hallyu, yang dirintis pada dekade 1970-an tapi baru lepas landas di awal tahun 2000-an, selama 20 tahun terakhir telah menyumbang sekitar US$ 5 miliar pada perekonomian Korea Selatan. Pemerintah Korea Selatan membentuk sebuah departemen khusus di Kementrian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata mereka yang mengurusi pendanaan dan perijinan terkait Hallyu pada tahun 2008.
Departemen khusus ini dinamai Cultural Content Office (CCO) dan melalui CCO Presiden Moon Jae In sudah menargetkan peningkatan nilai ekspor Hallyu menjadi US$ 10 miliar di tahun 2019. Saat ini, CCO memiliki budget sekitar US$ 500 juta atau IDR 7.2 triliun rupiah. Dengan ini selain mengurus pendanaan dan perijininan, CCO juga mengadakan banyak kegiatan di bidang Research and Development (R&D) agar produk Hallyu mereka dapat menyasar pasar luar negeri dengan tepat.
 Foto: Infografis/Intip Cuan Pabrik Artis-artis Kpop/Edward Ricardo |
Kepopuleran Hallyu yang mendunia menimbulkan spillover effects yang dapat dilihat di banyak hal, salah satunya adalah pariwisata. Dalam beberapa tahun terakhir, wisata tematik berdasarkan K-drama yang populer menjadi salah satu sumber pemasukan Korea Selatan.
Jika anda membuka situs Visit Seoul yang dikelola pemerintah deerah kota Seoul, terdapat berbagai penawaran tour ke lokasi-lokasi shooting K-drama, di antaranya adalah tour ke toko buku Daeo, yang merupakan lokasi shooting "Sang-eo" yang dibintangi Kim Nam Gil dan Son Ye Jin. Trickle down effect lain dari K-pop adalah trend kecantikan a la Korea atau juga dikenal sebagai K-beauty.
Setelah menjamurnya blemish balm cream (BB cream) pada tahun 2013 dan 2014, kini kita dapat menjumpai masker wajah Korea dimana-mana, dari toko kecantikan hingga toko serba ada seperti Indomaret. Belum lagi semakin banyaknya merk kecantikan Korea yang mengglobal, seperti Innisfree dan Tony Moly. Trend K-beauty tentu saja berasal dari anak-anak muda non-Korea yang ingin terlihat seperti bintang-bintang Hallyu idola mereka.
Bagaimana dengan Indonesia?Pada masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kedua (2009-2014), Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terinspirasi oleh kesuksesan K-pop, dan mengambil inisiatif menciptakan Indonesian Pop (I-pop). Mari Pangestu kemudian mengirim sejumlah anak muda berbakat Indonesia ke Korea Selatan.
Tapi sayangnya, bukan untuk mempelajari bagaimana mengelola industri hiburan hingga mendunia, tapi lebih untuk bernyanyi dan bérgaya seperti para artis K-pop. Hasilnya, group musik seperti S4 dan XO-IX terlihat seperti fotokopi group-group K-pop dan kehilangan ciri khas Indonesia. Mudah ditebak, inisiatif I-pop pun hilang seiring dengan berakhirnya masa jabatan Mari Pangestu sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Empat tahun telah berlalu sejak Joko Widodo disumpah sebagai Presiden Republik Indonesia ke-7, tapi sejauh ini terobosan baru dalam bidang seni budaya belum terlalu banyak. Misalnya, pada tahun 2015 Indonesia menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, dan acara ini menjadi ajang untuk mempromosikan berbagai karya sastra Indonesia ke pasar internasional.
Hasilnya, novel karya Eka Kurniawan, "Cantik Itu Luka", yang sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa casing seperti Inggris dan Prancis, pada tahun 2017 masuk nominasi penghargaan Prix Medicis untuk kategori Sastra Asing Terbaik. Selain itu, buku karya Intan Paramaditha, "Apple and Knife", mulai Juni 2018 mulai dipasarkan di Australia di bawah penerbit Brow Books.
Di bidang musik, tanggal 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional, sebagai hasil dari Keputusan Presiden (Keppres) no. 10 tahun 2013 yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa Presiden Joko Widodo, meskipun masih banyak yang mengeluhkan kurangnya apresiasi terhadap musik Indonesia seperti masih menjamurnya pengunduhan musik secara ilegal, namun sejumlah musisi muda Indonesia sudah mulai bergaung di panggung internasional.
Sebut saja Agnes Monica (sekarang lebih terkenal sebagai Agnez Mo) dan Rich Brian (yang bernama asli Brian Immanuel Soewarno.) Pada 12 November 2018, lagu "Overdose" milik Agnez Mo (yang dinyanyikan duet dengan rapper AS ternama Chris Brown) berhasil menembus peringkat ke-43 tanga lagu Billboard R&B/Hip Hop Airplay, dan seminggu kemudian lagu tersebut naik tujuh tingkat ke urutan 36. Sedangkan Rich Brian bahkan langsung melesat di awal karirnya di tahun 2016 dengan single "Dat $tick" yang menduduki peringkat empat di Billboard R&B/Hip Hop Airplay. Saat ini, Rich Brian telah mengeluarkan album bertajuk "Amen" dan album tersebut langsung bertengger di puncak iTunes Hip Hop Chart. Dia juga menjadi artis Asia pertama yang mencapai prestasi tersebut.
Di bidang film, "The Raid I: Redemption" (2011) dan "The Raid II: Retaliation" (2014, di Indonesia diedarkan dengan judul The Raid II: Berandal") yang semuanya disutradarai oleh Gareth Evans dan didistribusikan oleh Sony Pictures Classic di AS masing-masing mencapai rating 86% dan 80% di Rotten Tomatoes. Rotten Tomatoes sendiri sejak didirikan tahun 1998 menjadi parameter internasional terpercaya mengenai kualitas suatu film. Buntut dari kesuksesan dua film "The Raid", dua aktor utamanya yaitu Iko Uwais dan Yayan Ruhiyan turut berperan dalam film "Star Wars: The Force Awakens" pada December 2015.
Prestasi internasional Indonesia di dunia hiburan dimulai setidaknya pada masa Orde Baru, tepatnya pada 1995 ketika MTV Asia bergabung dengan AN Teve dan musik tanah air mendapat audience internasional yang lebih luas. Pada 1998, alm. Chrisye dengan lagunya "Saat Cinta Menggoda" memenangkan MTV Viewers' Choice Award di ajang MTV Video Music Awards 1998 yang diadakan di Gibson Amphitheater di Los Angeles, AS. Meskipun setelah itu Indonesia secara konsisten mencatatkan prestasi internasional, jalan Indonesia agar benar-benar mendunia seperti Hallyu sangat pelan.
Di musim pemilu ini, penting untuk memperhatikan apa yang pemerintah sudah dan akan lakukan terkait kemajuan seni budaya Indonesia. Pasangan calon presiden dan wakil presiden Probowo Subianto/Sandiaga Uno misalnya memiliki "Pilar Budaya dan Lingkungan Hidup" yang diikuti oleh "Program Aksi Budaya dan Lingkungan Hidup" dalam visi misinya, namun jika ditilik lebih dalam, hanya butir ke-15 yang bersinggungan langsung dengan rencana Prabowo/Sandi mengglobalkan karya seni Indonesia. Presiden Joko Widodo pada 11 Desember 2018 lalu menerima 40 seniman di Istana Merdeka selepas Kongres Kebudayaan Indonesia.
Dalam pertemuan itu, Presiden Joko Widodo menyetujui memberikan dana abadi untuk seni budaya sebesar IDR 5 trilliun untuk lima tahun mulai 2019. Dana tersebut hendaknya dipakai tidak hanya untuk mendanai perjalanan dan memenuhi kebutuhan logistik pementasan, tapi juga dipakai untuk kepentingan R&D agar ekspor karya seni kita tepat sasaran. Namun terlepas dari itu semua, siapapun yang menang pemilu nanti wajib mempercepat mendunianya kesenian Indonesia.
 Foto: courtesy Super Junior |
Kemajuan seni budaya Indonesia bukan merupakan tanggung jawab pemerintah saja, tapi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia. Kita harus sadar bahwa seni budaya berpotensi memiliki spillover effects yang positif ke bidang fashion, kecantikan dan pariwisata, seperti yang sudah terjadi pada Hallyu, juga Bollywood dan Hollywood sebelumnya. Tentu karya seni Indonesia tidak boleh kehilangan ciri khas ke-Indonesia-annya. Bukan tidak mungkin 10 tahun dari sekarang film-film atau musisi-musisi Indonesia yang laris di luar negeri dapat memberikan pemasukan ke Indonesia lebih besar daripada kontribusi BTS untuk negaranya
(gus)