Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Selama satu bulan terakhir, berita penguatan Dolar AS (USD) dan pelemahan nilai tukar Rupiah (IDR) menjadi trending topic di seantero negeri kita. Topik ini pun dibahas melalui berbagai perspektif, mulai dari kacamata makro ekonomi hingga geopolitik, dan tentunya pembahasan menjadi semakin "panas" ketika memasuki ranah politik dalam negeri kita, mengingat tahun 2019 Indonesia akan menggelar Pemilu Presiden.
Artikel ini mendiskusikan isu tersebut melalui perspektif makro ekonomi dan keuangan internasional. Analisis dilakukan berdasar pada tiga dimensi waktu. Pertama, perioda sebelum krisis Subprime Mortgage 2007/2008 di AS. Kedua, perioda kebijakan Quantitative Easing (QE) dan Tapering off. Terakhir, perioda Trump dengan kebijakan protektif dan perang dagangnya.
Satu dekade silam, AS menghadapi tantangan berat dalam perekonomian makronya ketika terjadi krisis kredit perumahan yang dikenal dengan sebutan Subprime Mortgage (hipotek subprima). Stabilitas makro menjadi tidak terkendali yang akhirnya memaksa pemerintah Obama mengeluarkan kebijakan QE serta menurunkan suku bunga Fed fund dari 5.25% (Juni 2006) menjadi 0% - 0.25% yang bertahan selama hampir 7 tahun (Desember 2008 - November 2015).
Kebijakan ini direspon dengan banyaknya capital outflow dari AS menuju pasar-pasar potensial di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Persepsi terhadap iklim investasi yang memburuk di AS pada saat itu mendorong derasnya arus modal keluar dari negeri Paman Sam. Maka tidak heran jika pada rentang waktu tersebut (terutama sebelum kebijakan Tapering off 2013/2014), Bursa Saham di negara-negara berkembang mengalami bullish (naik), termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi tersebut juga mengakibatkan beberapa mata uang domestik cenderung stabil, bahkan ada yang menguat antara 2010 hingga pertengahan 2013, termasuk nilai tukar IDR saat itu.
Kebijakan QE melalui paket stimulusnya dengan membelanjakan sekitar USD 85 miliar per bulan secara periodik oleh Pemerintah Obama pada beberapa instrumen investasi di AS (terutama Obligasi) berjalan hingga awal 2014. Selama perioda tersebut, dana-dana dari pemodal AS sebagian besar "diparkirkan" di negara-negara yang iklim investasinya mendukung, termasuk Indonesia. Tujuannya satu, mengamankan posisi investasinya agar tidak terjadi penurunan nilai aset selama krisis di AS.
Pada tahun 2014, Pemerintah Obama mulai mengurangi dana stimulus QE-nya secara perlahan (tahap pertama dikurangi sekitar USD 10 miliar per bulan) mengingat ekonomi AS yang mulai membaik serta jumlah aset yang dibeli The Fed melalui kebijakan QE sudah sangat besar (sekitar USD 4 Triliun pada awal 2014). Kebijakan pengurangan bertahap ini selanjutnya dikenal dengan istilah Tapering off. Kebijakan Tapering off juga diikuti kebijakan The Fed (Bank Sentral AS) pada tahun 2015 dengan menaikan suku bunga Fed fund pada rentang 0.25% - 0.50%, yang kemudian dipertahankan hingga Mei 2016. Kedua kebijakan ini mulai menimbulkan masalah makro secara global, utamanya bagi negara-negara berkembang yang fundamental makro ekonominya labil dan pasar modalnya menjadi tempat parkir dana-dana pemodal AS selama perioda 2008 - 2014.
Mengapa bisa menjadi masalah global? Karena kedua kebijakan ini dipersepsikan pelaku pasar sebagai sinyal positif bahwa ekonomi AS sudah membaik, yang berarti iklim investasinya juga semakin stabil. Dana-dana yang sedianya "diparkir" di luar negeri mulai berangsur kembali ke AS. USD yang mulai "pulang kampung" ini menyebabkan suplainya berkurang di luar AS. Sesuai dengan hukum demand-supply, "barang" yang terbatas jumlahnya harganya pasti akan naik, demikian juga dengan USD, perlahan namun pasti mulai menguat (apresiasi) terhadap berbagai mata uang di dunia, termasuk IDR sejak 2014. Beberapa negara berkembang mulai menghadapi masalah ekonomi yang serius pada masa itu, terutama masalah depresiasi nilai tukar domestic currency terhadap USD.
Amerika memasuki babak baru di akhir 2016 ketika Donald Trump menang dalam Pemilu AS. Dengan kebijakan protektifnya, Trump menegosiasi ulang berbagai kesepakatan dagang internasional. Kondisi ekonomi global semakin tidak pasti, dan puncaknya ketika Trump menyatakan perang dagang terhadap Tiongkok untuk menjaga posisi defisit transaksi berjalannya yang sudah semakin melebar (CAD, current account deficit).
Pelaku usaha kembali dihadapkan pada masalah baru selain efek lanjutan dari kebijakan Tapering off dua tahun silam, mereka cenderung kembali mengamankan posisi asetnya dengan mencari instrumen investasi yang aman atau safe haven. USD menjadi salah satu pilihan karena dinilai kebijakan protektif Trump berhasil menumbuhkan kembali ekonomi AS (pengangguran menurun, sementara pertumbuhan ekonomi mulai meningkat).
Kondisi ini memperparah nilai tukar dunia, terutama mata uang negara-negara berkembang. Tiongkok sebagai raksasa Asia kini menghadapi ancaman penurunan nilai ekspor ke AS. Mau tidak mau, Tiongkok akan mencari tambahan pasar sasaran ekspor baru, termasuk tambahan ekspor ke Indonesia dan negara-negara berpenduduk besar lainnya. Hal ini berpotensi memperparah ketidakseimbangan neraca dagang kita, di mana impor akan semakin tinggi, yang berarti defisit transaksi berjalan kita (CAD) juga akan semakin melebar (tercermin dari rasio CAD kita yang telah mencapai 3% dari PDB pada kuartal II 2018, atau equivalen dengan USD 8 miliar). Melebarnya CAD akan semakin memicu pelemahan nilai tukar Rupiah akibat permintaan USD yang meningkat seiring dengan naiknya impor, sementara perlambatan ekonomi dunia sangat berpotensi mengancam nilai ekspor kita.
Masalah geopolitik, terutama krisis di Turki, Argentina, dan Venezuela juga menambah kepanikan pasar bahwa dunia akan menghadapi resesi besar. Pemindahan instrumen investasi ke aset yang lebih aman ikut menambah penguatan USD, termasuk babak baru perang dagang Trump yang mulai menyasar Jepang minggu ini. Turbulensi nilai tukar dunia akan terus berlanjut hingga pasar menemukan keseimbangan barunya, dan yang pasti Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi hingga satu dua tahun ke depan jika kondisi ini terus berlanjut. Intervensi BI yang menyebabkan berkurangnya cadangan devisa dalam beberapa bulan terakhir juga menjadi perhatian pelaku pasar.
Dengan naiknya Fed fund rate di kisaran 1.75% - 2.00% saat ini, dan diperkirakan kenaikannya akan terus berlanjut pada tahun 2019 merupakan sinyal bahwa ekonomi AS sedang mencari jalan untuk kembali ke posisi keseimbangan awalnya sebelum terjadi krisis Subprime Mortgage 2008, di mana Fed fund rate saat itu berada di kisaran 4.25% (akhir 2007).
Melihat reviu panjang perjalanan ekonomi dunia tersebut, pertanyaan yang muncul adalah apakah fenomena ini sedang menandakan resesi ekonomi dunia akan segera terjadi, atau hanya sekedar menunjukan sebuah proses bahwa ekonomi dunia sedang mencari posisi keseimbangan barunya?
Apapun itu, Pemerintah harus tetap sigap dalam menghadapi berbagai situasi. Yang perlu dicermati saat ini adalah jangan sampai membuat kebijakan yang menambah kepanikan lebih besar di pasar. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kembali apakah telah terjadi overinvestment di dalam negeri, karena efek dari overinvestment pada situasi ekonomi yang turbulen juga tidak begitu baik. Kesalahan respon Pemerintah dan pelaku usaha sangat berpotensi menambah pelemahan nilai tukar Rupiah. Kita semua berharap semoga melalui berbagai kebijakan dan intervensi lanjutannya, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dapat turut membawa ekonomi Indonesia menuju keseimbangan barunya, tentunya keseimbangan baru yang lebih baik lagi bagi kemajuan ekonomi negeri ini tanpa harus melewati jalan resesi.
(dru)