Perang Dagang Trump Bisa Picu Great Depression Jilid 2?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
09 July 2018 09:02
Perang Dagang Trump Bisa Picu Great Depression Jilid 2?
Foto: Infografis, Arie Pratama
Apa efek perang dagang terhadap ekonomi dunia? Mengacu pada rekam jejak sejarah, jawabannya hanya satu: memperparah krisis dunia menjadi depresi berkepanjangan.

Bayangkan seseorang muncul di sebuah desa yang sedang paceklik, lalu membuat aturan dan organisasi baru untuk mensejahterakan semua orang. Setelah sukses, kini orang yang sama membuang aturan dan organisasi yang dibuatnya demi menyelamatkan anaknya.

Itulah yang sekarang terjadi di percaturan dunia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif bagi produk-produk mitra perdagangannya mulai dari China, Uni Eropa, hingga (sebentar lagi) Indonesia. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kebijakan serupa justru memperparah kebangkrutan dunia.

Kita tentu mengenal istilah great depression (depresi akbar) yang menjangkiti dunia pada era 1930-an. Setelah perang dunia 1 berakhir pada tahun 1918, Eropa dan AS mencatatkan investasi besar-besaran yang memicu kenaikan uang beredar dan inflasi 1 dekade kemudian.

Di pasar modal AS, investasi besar-besaran di sektor riil itu berakhir menjadi spekulasi akibat transaksi margin yang tak dibarengi aturan ketat. Transaksi margin memungkinkan investor membeli saham dengan meminjam dana perusahaan sekuritas.

Ini terjadi sejak 1928, ketika harga-harga saham bisa melonjak hingga tiga kali dari nilai bukunya meski emiten yang bersangkutan kinerjanya biasa-biasa saja.

Di tengah inflasi tinggi dan badai spekulasi di pasar modal tersebut, bank sentral AS (Federal Reserve/ The Fed) mendongkrak bunga acuan dari 4% di pertengahan tahun 1928 menjadi 6% pada 1929.

Asumsinya, warga AS bakal tergiur menabung ketimbang berbelanja atau berspekulasi di pasar modal. Sekali tepuk, dua problem (inflasi tinggi dan spekulasi ) teratasi, demikian kurang lebih harapannya.

Namun yang tidak diperhitungkan, kenaikan Fed Fund Rate juga memicu naiknya bunga acuan negara lain, mengingat sistem moneter saat itu berstandar emas dengan sistem fixed (tetap)-di mana US$1 dipatok setara dengan 0,73 gram emas.

Negara lain terpaksa harus menaikkan suku bunga acuannya agar tak terjadi pelarian emas di negaranya ke AS yang bisa mengurangi pasokan uang beredarnya. Pada gilirannya, suku bunga tinggi di AS dan negara-negara mitranya berujung pada perlambatan ekonomi berjamaah.

Lalu, riak-riak perlambatan itu membuat kinerja emiten bursa tertekan sehingga pecahlah gelembung pasar modal AS. Puncaknya, Dow Jones anjlok 12% dalam sehari pada 29 Oktober 1929 yang dikenal sebagai Selasa Petaka (Black Tuesday).

Kerugian investor di Wall Street itu selanjutnya memberi pukulan tambahan ke sektor riil AS, dengan pelemahan konsumsi masyarakat sebesar 10%, terutama ketika kemarau panjang melanda sentral pertanian di Great Pain yang saat itu menjadi salah satu sumber mata pencaharian penting warga AS.

Insentif (terutama untuk membantu petani) dirilis dan The Fed menurunkan bunga acuannya dari 6%. Suku bunga rendah diharapkan memacu swasta berinvestasi. Namun, semuanya terlambat. Ekonomi AS mengalami resesi dengan kontraksi -8,5% (1930), angka pengangguran tembus 9% dan 1.350 bank dinyatakan 'gagal'.

Lalu, muncullah kebijakan pintas demi "menyelamatkan AS", yakni proteksionisme yang mengejawantah dalam bentuk perang dagang pada 1930. Alih-alih menjadi penyelamat, kebijakan ini justru melempar AS ke jurang depresi karena ekonominya anjlok melewati -10%, tepatnya sebesar -12,9% (1932).


Ketika dilantik sebagai presiden AS pada 4 Maret 1929, Herbert Hoover berjanji akan “menumpas kemiskinan dari bangsa ini—atas seizin Tuhan.” Namun, 7 bulan kemudian Petaka Selasa terjadi, dan AS jatuh ke resesi ekonomi. Kemiskinan merajalela dan menurunkan kepercayaan rakyat ke Sang Presiden.

Apa yang dilakukan Herbert? Pertama-tama dicarilah kambing hitam. Dia menuding imigran Meksiko sebagai biang jatuhnya AS. Tak ayal, sekitar 2 juta orang Amerika Latin—yang lebih dari separuhnya dilahirkan di AS—dideportasi. Lalu, dia mengenakan tarif atas impor produk pertanian.

Tak berhenti sampai di situ, dia nekad meneken Smoot-Hawley Tariff Act yang mengenakan tarif atas 20.000 item impor yang memicu protes dan ancaman aksi balasan oleh 23 mitra dagang utamanya. Petisi yang diajukan 1.028 ekonom AS untuk membatalkan rencana itu tak dipedulikannya.

Demikian juga dengan masukan pelaku usaha yang menemuinya pada malam menjelang ditekennya peraturan itu, termasuk di antaranya taipan otomotif Henry Ford yang mengritik aturan itu sebagai “kepandiran ekonomi”. Didukung kubu pengusungnya, Partai Republik, kebijakan itu jalan terus.

Hasilnya? Mengutip data US Department of State, impor AS anjlok 66% dari US$4,4 miliar (1929) menjadi US$1,5 miliar (1933). Ekspor juga turun 61% dari US$5,2 miliar menjadi hanya US$1,7 miliar (1933) pada periode yang sama. Secara keseluruhan, nilai perdagangan dunia anjlok 66%.

Lalu apakah perang dagang itu menyelamatkan ekonomi AS? Ternyata tidak. Mengutip terbitan Wilson Quarterly (2012), angka pengangguran justru melesat dari 8,9% pada 1930 menjadi 24,9% dua tahun kemudian. Artinya, perang dagang justru memperparah resesi, bukan menyelesaikannya.

Lihat saja fakta tentang 5.000 bank di AS yang gulung tikar, dan produk manufaktur AS yang terpangkas sepertiganya hingga indeks produksi industri (Juli 1932) turun ke level terendahnya sepanjang sejarah pada 52,8. Sebelumnya, indeks produksi tersebut bergerak di kisaran 100.

Di tengah blunder itu, Hoover pun kehilangan kepercayaan dan dilibas pesaingnya dari partai Demokrat yakni Franklin Delano Roosevelt. Di bawah kendali Partai Demokrat, AS merilis paket kebijakan bertajuk ‘New Deal’ (Kesepakatan Baru) yang intinya mereformasi sistem perdagangan dan keuangan.

Pemerintahan baru itu menganulir kebijakan proteksionistis sebelumnya, dan meninggalkan sistem moneter berbasis emas pada 1934. Maka selesailah era proteksionistis di negara paling liberal sedunia tersebut. Beberapa tahun kemudian, AS memimpin peran sebagai pendekar "anti tarif" di dunia.

Pada 1944 berdirilah lembaga moneter dunia, Dana Moneter Internasional (IMF). Tiga tahun kemudian, AS memimpin inisiatif pembentukan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menjadi cikal-bakal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kini, tepat 88 tahun sejak perang dagang Hoover dilancarkan dan berakhir petaka, Trump merusak tatanan yang dibangun pendahulunya. Dia justru mengulang kebijakan pandir Hoover mulai dari sikap anti imigran, proteksionisme, dan perang dagang yang dikobarkan meski dikritik para ekonom AS.

Jika dulu pada resesi 1929, perang dagang AS atas nama kepentingan nasional itu justru membawa AS ke jurang Great Depression, dan memantk kemunculan tokoh ultrakanan di negara lain, seperti Adolf Hitler--yang mengobarkan Perang Dunia 2, maka bagaimana dengan tahun ini?

Ada setidaknya dua kondisi pembeda yang harus disebutkan. Pertama, dunia sedang tidak dalam kondisi krisis seperti pada era 1929. Bank Dunia memprediksi ekonomi dunia masih tumbuh, yakni di kisaran 2,7%. Selain itu, dunia juga menerapkan sistem kurs mengambang, tidak lagi berbasis emas.

Namun kondisi tersebut bisa berubah jika ada kejutan politik dari Trump yang membuat pasar modal dunia memerah dan memukul sektor keuangan. Jika tiap negara saling balas dengan tarif impor tinggi hingga mencapai 20.000 item seperti era Hoover, perdagangan dunia akan surut dan menekan ekonomi. 

Lalu, jika ada faktor force majeur seperti kekeringan di era 1929, kondisi bisa memburuk dan mengganggu pemulihan ekonomi sehingga tak menutup kemungkinan memicu resesi ekonomi. Kita tak perlu menunggu itu semua terjadi karena dalam skala kecil pun kebijakan ini merugikan banyak negara.

Indonesia dengan sikap politik bebas-aktifnya harus menggalang kekuatan menyeret AS ke WTO guna membatalkan tarif yang dirilis akhir pekan lalu. Jangan ragu berpihak pada mereka yang menjaga keseimbangan perdagangan dunia.

Sejarah kadang berulang. Semoga saja kisah kepandiran Gedung Putih kali ini tidak berakhir sama seperti era 1930-an yakni depresi akbar (seri 2) apalagi Perang Dunia (jilid 3). ***



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular