Tak Hanya Harapan, RI Masih Punya Kekuatan Berlimpah Amunisi

Luthfi Ridho, CNBC Indonesia
02 July 2018 13:32
Luthfi Ridho
Luthfi Ridho
Luthfi Ridho merupakan Ekonom dari Sucor Sekuritas. Sebagai ekonom, ia telah berpengalaman di​ ​berbagai sektor terutama lembaga internasional (AIPEG, IMF) dan pasar modal (RHB Sekuritas).​ ​Selain menjadi ekonom profesional, ia memiliki kecintaan .. Selengkapnya
Fenomena gonjang-ganjing nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini tidak eksklusif untuk Indonesia
Foto: CNBC Indonesia

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Fenomena gonjang-ganjing nilai tukar yang terjadi akhir-akhir ini tidak eksklusif untuk Indonesia, kejadian yang sama terjadi di hampir seluruh negara berkembang. Data per akhir Juni mencatat Rupiah terdepresiasi ke sekitar Rp. 14.400 per USD atau di kisaran 5% bila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu. Dalam dimensi waktu, memang Rupiah dapat dikatakan sedang mengalami tekanan, namun dalam dimensi ruang belum tentu. Depresiasi Rupiah sejatinya Jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Lira yang mencatatkan depresiasi sebesar 22% atau Rupee yang mencatatkan depresiasi sebesar 7,5%.

Tidak menafikan keseriusan dari situasi yang sedang dihadapi saat ini, namun sebuah fenomena ekonomi bergerak dalam semesta yang relatif. Seorang ekonom dalam situasi seperti sekarang dapat dikatakan menjalani dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai seniman dan cenayang. Hal ini tidak lepas dari dimensi ruang dan waktu yang harus dipertimbangkan untuk menafsirkan data dan membaca arah pergerakannya. Pembacaan data secara amatir dapat menuju kepada sebuah kesimpulan yang tidak tepat dan disertai dengan gelombang kekhawatiran yang tidak perlu.

Causa prima terjadinya tekanan terhadap mata uang di hampir seluruh negara di dunia dapat dikatakan karena normalisasi kebijakan moneter di AS. Dikarenakan pulihnya pertumbuhan ekonomi AS diatas ekspektasi, otoritas moneter di AS merasa perlu mengambil tindakan pencegahan terjadinya overheating dengan cara menaikan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan ini kemudian mengakibatkan terjadinya kenaikan imbal hasil surat berharga di AS. Dalam bahasa yang sederhana, investasi di AS menjadi lebih menguntungkan dibandingkan di negara berkembang. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya penarikan dana dari seluruh negara berkembang atau dikenal juga dengan fenomena flight to quality. Penarikan dana tersebut kemudian mengakibatkan kenaikan permintaan terhadap mata uang dollar AS di seluruh dunia. Sehingga terjadilah apa yang kita lihat sekarang sebagai global turmoil.

Bank Indonesia dalam menyikapi situasi sekarang ini pada dasarnya sudah dalam koridor yang tepat. Penggunaan instrumen suku bunga acuan dan cadangan devisa dalam meredam gejolak Rupiah, sejauh ini dapat dikatakan membawa hasil yang memuaskan. Amunisi Bank Indonesia dalam proses stabilisasi Rupiah melalui jalur intervensi terbukti berjalan dengan efektif dan efisien. Cadangan devisa Indonesia hanya terpakai sekitar dua miliar dollar AS secara rata-rata di tiap bulannya. Posisi cadangan devisa Indonesia sendiri masih di kisaran 120 miliar dollar AS, dengan kata lain masih ada amunisi yang lebih dari cukup untuk sekitar 60 bulan kedepan. Bandingkan dengan kondisi di Argentina yang sudah memakai dana talangan IMF seperti Indonesia ketika krisis 1998.

Utang Indonesia masih Rendah dan Wajar-Wajar Saja

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah akibat dari terjadinya depresiasi Rupiah? Dampak langsungnya terjadi pada dua kategori yaitu ekspor-impor dan utang luar negeri. Terjadinya depresiasi Rupiah akan berdampak pada kenaikan dari pendapatan dari ekspor, namun masalah ini kurang menarik karena ceritanya bersifat bahagia. Kenaikan impor dan kenaikan utang luar negeri disisi lain, terkesan lebih seksi karena terdapat drama-drama yang menimbulkan adrenalin.

Mari kita ulas satu demi satu drama-drama penuh adrenalin tersebut. Dimulai pertama dari kenaikan impor yang dikhawatirkan menyebabkan tren besar pasak daripada tiang. Kenaikan impor dalam dua bulan terakhir telah mengakibatkan defisit perdagangan yang tinggi. Namun demikian, apabila dibedah dan ditelaah lebih dalam, hal tersebut terjadi karena adanya faktor musiman impor BBM. Menjelang lebaran, pemerintah akan menambah stok BBM guna mengamankan kegiatan mudik yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Penambahan stok tersebut membuat impor BBM menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bulan lain. Sehingga defisit perdagangan yang tejadi di dua bulan yang lalu lebih karena kebutuhan, bukan karena produktifitas yang melempem. Di sisi lain, ekspor Indonesia tercatat mengalami kenaikan walaupun tidak besar. Sebuah indikasi bahwa Indonesia masih memiliki produktifitas dan daya saing dikancah perdagangan internasional.

Sekarang dari sisi utang. Data utang Indonesia secara umum dapat dibagi kedalam tiga kategori besar, yaitu: utang sektor pemerintah, utang sector swasta dan utang sektor rumah tangga. Di dalam masing-masng sector itu terdapat klasifikasi sumber utang apakah dari dalam negeri atau dari luar negeri. Utang dalam negeri tidak terdampak dari terjadinya depresiasi. Namun utang luar negeri berkorelasi erat dengan pergerakan nilai tukar.

Berdasarkan data terakhir yang dikeluarkan oleh IMF, total utang Indonesia dari ketiga sektor tersebut termasuk dua klasifikasinya, masih berada di kisaran 70% dari PDB. Dari sisi waktu, pertumbuhan utang memang naik cukup tinggi di era Pak Jokowi. Namun dari sisi ruang, level utang Indonesia masih relative sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain. Dari sumber yang sama, utang China tercatat sebesar 254% dari PDB, utang India tercatat sebesar 125% dari PDB, utang Brazil tercatat sebesar 145% dari PDB, dst.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia, total utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar 34% dari PDB. Dengan kata lain sekitar setengah dari total utang Indonesia merupakan utang dari luar negeri. Pun misalkan terjadi kenaikan utang luar negeri sebagai akibat dari depresiasi Rupiah, level total utang Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara berkembang lain.

Sehingga dapat dikatakan bahwa level utang Indonesia secara umum masih rendah dan terkendali. Selain itu penggunaan utang untuk pembangunan infrastruktur diharapkan dapat menambah kenaikan produktifitas Indonesia di kemudian hari. Sehingga kenaikan utang yang terjadi lebih untuk faktor produktif ketimbang faktor konsumtif. Almarhum Hadi Soesatro dalam Makalah "Ekonomi Politik Penghimpunan Modal di Indonesia" mengatakan bahwa tujuan utama pembangunan adalah untuk mematahkan lingkaran setan antara kelangkaan modal dan kebutuhan sarana produksi.

Kondisi Ketika Krisis 1998 Jauh Berbeda, Jangan Sembarangan Membanding-bandingkan

Menurut Mantan Wapres Boediono dalam buku "Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi", krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997, merupakan salah satu lembaran sejarah paling kelam yang pernah terjadi di Indonesia.

Nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS yang pada 6 Juli 1997 tercatat di level Rp. 2.430, melemah menjadi Rp. 15.300 pada tanggal 10 Juli 1997 (depresiasi sekitar 700%). Tingkat inflasi ketika 1998 tercatat sebesar 78%, padahal di tahun 1997 inflasi tercatat sebesar 10% dan pada tahun 1996 tercatat 8%.

Defisit anggaran membengkak dan utang pemerintah meningkat tajam. Indonesia mengalami kombinasi dua penyakit ekonomi paling fatal yaitu: kontraksi di sektor riil dan hiperinflasi. Tahun itu PDB kontraksi sebesar 13%, harga barang-barang makanan melonjak lebih dari dua kali lipat, nilai tukar naik-turun secara tajam dan anggaran negara serta merta berubah dari surplus menjadi defisit 1.7% dari PDB. Ketika rekapitalisasi perbankan selesai diinventarisasi di tahun 2000, utang negara nyaris 100% dari PDB.

Situasi saat ini jelas berbeda. Selain besaran-besaran ekonomi yang jauh lebih kuat dan stabil, iklim demokrasi dan tingkat korupsi jelas sudah jauh lebih baik. Kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap Indonesia sejatinya sudah pulih, didukung oleh investment grade dari tiga pemeringkat utang dunia. Sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri. Sehingga terlalu berlebihan apabila ada pendapat yang mencoba membandingkan situasi saat ini dengan situasi 1998

Kesimpulan

Indonesia tidak hanya punya harapan untuk dapat melalui badai kiriman dari AS, namun memiliki kekuatan dan amunisi yang lebih dari cukup juga. Dalam dua tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan langkah-langkah guna mencegah terjadinya kebangkrutan fiskal. Sehingga proses spiral menuju perbaikan dengan titik sentral perbaikan sarana dan prasarana produksi terus berjalan. Momentum ini harus tetap dipelihara agar terus bergulir dan memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.


(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation