Trump - Kim Berdamai, Kekalahan Bagi Korea Utara?

Mohamad Rosyidin, CNBC Indonesia
12 June 2018 15:38
Mohamad Rosyidin
Mohamad Rosyidin
Mohamad Rosyidin adalah kandidat doktor di Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada. Ia juga tercatat sebagai dosen di Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universi.. Selengkapnya
Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jon Un bertemu di Singapura hari ini.
Foto: Anthony Wallace/Pool via Reuters

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dunia sekali lagi telah menyaksikan babak baru dalam upaya mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea. Pasca pertemuan bersejarah antara Kim Jong Un dan Moon Jae-in bulan lalu, Korea Utara melangkah lebih jauh dengan melakukan pertemuan dengan Amerika Serikat di Singapura.

Kedua pemimpin yang sempat dikhawatirkan akan memicu Perang Dunia III ini bertemu dalam suasana yang agak tegang meskipun nampak raut optimisme di wajah mereka.

Hal menarik yang muncul dari pertemuan bersejarah itu adalah bagaimana mungkin dua musuh bebuyutan sejak berakhirnya Perang Dunia II itu bisa bertemu dan menginginkan perdamaian? Pertemuan itu tentu saja bukan sesuatu yang gampang dilakukan.

Kim Jong Un sendiri mengakui bahwa pertemuannya dengan Trump dicapai setelah melewati pelbagai prasangka dan relasi yang tidak mudah. Karakter kedua pemimpin yang impulsif dan sulit ditebak membuat banyak kalangan dicekam rasa was-was seandainya skenario terburuk benar-benar diambil. Namun fakta justru membuktikan sebaliknya.


Kekalahan Korea Utara

Pertemuan Kim dan Trump boleh jadi merupakan kekalahan bagi Korea Utara. Sejak lama negara itu menerapkan ideologi Juche yang bertujuan menjadikan Korea Utara bangsa mandiri. Kakek Kim Jong-un yaitu Kim Il Sung adalah arsitek ideologi Juche yang menginginkan rakyat Korea Utara mandiri dalam empat aspek; mandiri dalam pemikiran, politik luar negeri, ekonomi, dan pertahanan (Lim, 2009:60).

Salah satu manifestasi ideologi ini adalah program senjata nuklir. Ketika Barat memandang kepemilikan senjata nuklir Korea Utara sebagai sumber ancaman terhadap perdamaian dunia, Korea Utara justru menganggapnya sebagai instrumen kemandirian. Bagi negara itu, senjata nuklir memiliki fungsi ganda.

Pertama, sebagai pelindung dari serangan negara lain. Ini sejalan dengan pandangan Scott Sagan bahwa salah satu motif utama pengembangan senjata nuklir adalah untuk alasan keamanan (Sagan, 1996).

Kedua, sebagai alat politik atau dalam dunia diplomasi dikenal dengan istilah 'bargaining chip'. Maksudnya, kepemilikan nuklir memungkinkan Korea Utara 'memaksa' negara-negara (Barat) untuk memberikan bantuan ekonomi. Sudah jamak dipahami bahwa ketika Korea Utara melakukan uji coba nuklir hal itu ditafsirkan sebagai sinyal meminta bantuan.

Melihat dua manfaat senjata nuklir tersebut, sungguh sulit dipahami mengapa Korea Utara mau menawarkan opsi denuklirisasi sebagaimana yang selama ini menjadi tuntutan Amerika Serikat. Bagi Kim Jong Un ini jelas pilihan yang cukup berat. Tetapi sejak awal kita tahu bahwa Kim tampaknya serius dengan kebijakannya.

Pertemuannya dengan Presiden Moon bulan Mei lalu menunjukkan keseriusan Kim untuk menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea. Untuk meyakinkan dunia, Kim juga sudah menghancurkan fasilitas uji coba nuklirnya di Punggye-ri kendati banyak kalangan skeptis.

Kebijakan revolusioner Kim agaknya dilatarbelakangi oleh faktor domestik, yakni kondisi perekonomiannya yang carut-marut. Hancurnya perekonomian Korea Utara sedikit banyak dipengaruhi oleh tekanan sanksi ekonomi PBB dan negara-negara Barat.

Korea Utara sebenarnya mampu berkelit dari sanksi melalui hubungan eratnya dengan China. Hal itu terbukti dengan pertumbuhan ekonominya pada 2016 yang meningkat sebesar 3.9% menjadi US$ 28,5 miliar, sebuah capaian tertinggi selama 17 tahun terakhir sekalipun didera tekanan sanksi internasional.

Akan tetapi, Kim mungkin berpikir strategis bahwa tidak selamanya kemandirian itu dapat dipertahankannya. Lebih jauh, Kim tidak bisa selamanya menggantungkan diri pada China. Ia perlu inovasi supaya bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Kim tampaknya sadar bahwa legitimasi kekuasaannya tidak lagi bergantung pada kharisma seperti para pendahulunya. Ia ingin memajukan perekonomian untuk menopang kepemimpinannya.

Untuk melakukannya, ia membutuhkan lingkungan yang kondusif bagi perekonomian negaranya. Kim barangkali terinspirasi menjadikan Korea Utara seperti China pada era Deng Xiaoping dengan kebijakan ekonomi terbukanya. Kim dihadapkan pada trade-off dimana ia memilih mengorbankan program nuklirnya demi prospek pertumbuhan ekonomi yang positif.

Walaupun belum ada kepastian apakah Kim akan menghapuskan senjata nuklirnya - yang terdengar mustahil - melunaknya Kim adalah sinyal kemenangan Barat atas Korea Utara.


Syarat perdamaian

Pertemuan Kim dan Trump merupakan awal yang baik untuk perdamaian kedua negara dan dunia. Namun terlalu prematur apabila perdamaian telah tercipta. Dunia perlu menunggu komitmen kedua negara hingga beberapa tahun ke depan. Meski begitu, momentum pertemuan kedua belah pihak perlu dijaga dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata.

Ada beberapa kondisi-kondisi yang diperlukan (necessary conditions) supaya pertemuan bersejarah itu tidak berakhir dengan kegagalan.

Pertama, Korea Utara harus meninggalkan tradisi diplomatik yang menimbulkan kekhawatiran dunia. Meminjam istilah pakar diplomasi Harold Nicholson, Korea Utara harus mengubah gaya 'diplomasi ksatria' atau 'diplomasi heroik'. Gaya diplomasi ini terpengaruh oleh ideologi Juche yang menonjolkan agresifitas untuk memenangkan perundingan. Sebaliknya, Korea Utara perlu mengembangkan gaya 'diplomasi pedagang' untuk mencapai win-win solution.

Kedua, yang terpenting adalah komunitas internasional harus berhenti memperlakukan Korea Utara sebagai negara 'pesakitan' yang selalu dipojokkan untuk masalah-masalah yang menyangkut situasi keamanan di Semenanjung Korea. Strategi 'naming and shaming' yang kerap dilakukan negara-negara Barat dan sekutunya di kawasan justru kontra-produktif. Di samping itu, strategi itu tidak sesuai dengan kultur Asia yang mengedepankan dialog, konsultasi, dan toleransi.

Salah satu poin penting terkait denuklirisasi adalah jaminan keamanan terhadap Korea Utara. Selama ini Korea Utara merasa cemas dengan manuver-manuver yang dilakukan Amerika Serikat dan dua sekutu utamanya di kawasan (Jepang dan Korea Selatan) berkaitan dengan upaya penangkalan atau deterens. Mereka menggelar latihan-latihan militer di perairan sekitar Semenanjung Korea sehingga membuat Korea Utara meradang.

Jika kedua belah pihak sama-sama memandang penting arti perdamaian, maka hal-hal tersebut semestinya dihindari. Menghapuskan senjata nuklir hingga 100% agaknya mustahil dilakukan Korea Utara. Menarik pasukan di zona demiliterisasi juga pilihan berat bagi Amerika Serikat dan Korea Selatan yang juga was-was dengan negara tetangganya itu. Lagipula, Amerika Serikat jelas tidak mau angkat kaki dari Asia Timur.

Mewujudkan perdamaian membutuhkan proses yang tidak sekali jadi. Ketimbang melakukan sebuah langkah besar namun kemudian justru menjadi bumerang, kedua negara diharapkan dapat memulai dengan langkah-langkah kecil namun signifikan.

Korea Utara sudah lebih dahulu membuat langkah konkret dengan menghancurkan salah satu situs uji coba nuklirnya. Mencabut sanksi adalah langkah pertama yang bisa dilakukan Amerika Serikat. Tetapi Amerika Serikat juga perlu meminimalisir friksi dengan mengurangi manuver-manuver di Semenanjung Korea. Jika itu sudah dilakukan, kedua pihak bisa melanjutkan dengan kerjasama diplomatik dan ekonomi.
(ray)

Tags

Related Opinion
Recommendation