Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam dua-tiga bulan belakangan, pelaku usaha dan investor saham dalam negeri disibukkan dengan gejolak yang tak henti melanda. Rumor, isu dan fenomena terkait perang dagang yang digelar Amerika Serikat (AS), normalisasi moneter the Fed dan pelemahan nilai tukar rupiah membawa aura negatif sekaligus mencemaskan.
Dari sisi global, fenomena mencuatnya sentimen proteksionisme menunjukkan jika dalam spektrum globalisasi yang kian terdigitalisasi, ternyata negara-negara maju tetap akan melakukan apapun untuk melindungi ekonomi nasional masing-masing, alih-alih memperkuat kerja sama untuk ekonomi global.
Hal ini belum lagi ditambah dengan sejumlah data ekonomi nasional yang ternyata tidak seperti harapan. Dua di antaranya adalah pertumbuhan produk domestik bruto kuartal pertama yang hanya 5,06% dan defisit perdagangan sepanjang April 2018 yang mencapai US$ 1,63 miliar.
Memasuki momentum Puasa Ramadan, gejolak tersebut agak teredam usai Bank Indonesia melakukan langkah drastis dengan menaikkan suku bunga acuan 7-Days Repo Rate sebanyak 50 basis poin, di mana 25 bps dilakukan oleh Agus Marwowardojo di ujung masa tugas, lalu ditambah 25 bps lagi oleh Perry Warjiyo di hari-hari awalnya menjabat sebagai gubernur bank sentral.
Mendekati momen Lebaran, angin segar kembali datang. Di luar segala polemik yang terjadi mengenai teknis pencairannya, Pemerintah memutuskan untuk memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada seluruh komponen Aparatur Sipil Negara, termasuk pensiunan. Ada harapan kepercayaan diri konsumen ikut terkerek dengan penyaluran itu.
Di sisi lain, dalam beberapa hari ke depan masyarakat Indonesia akan menyambut momentum Lebaran. Lebaran sendiri merupakan momen khusus yang membawa aura positif, tidak hanya secara spiritual, tapi juga secara sosial dan ekonomi. Dalam momen ini, kota-kota metropolitan akan sejenak bernafas karena kepadatan jauh berkurang, sedangkan kampung halaman makin bergairah. Aura positif ini setidaknya datang dari dua sisi, yaitu zakat dan ekonomi mudik.
Dalam ajaran Islam, momentum Lebaran diiringi oleh kewajiban untuk membayar zakat fitrah. Ketika masih menjadi Wakil Sekretaris Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), M. Fuad Nasar menulis bahwa zakat fitrah memiliki esensi untuk menanamkan semangat solidaritas kepada sesama manusia dan menjadi pengingat setiap muslim agar mempunyai jiwa kasih sayang (rahim sosial) kepada fakir miskin. Perasaan kasih sayang, saling mencintai dan menolong sesama adalah tujuan ibadah puasa sebagai gerbang keadilan sosial.
Sepanjang 2017, seluruh badan penghimpun zakat resmi berhasil mengumpulkan Rp 6 triliun. Angka ini jauh dari potensi pembayaran zakat nasional yang oleh BAZNAS diperkirakan mencapai Rp 217 triliun per tahun.
Ekonom senior yang baru saja meninggal dunia, Dawam Rahardjo, pernah menyebut bahwa penghimpunan dan pengelolaan zakat sejatinya dapat memberikan efek dahsyat untuk pengentasan kemiskinan.
Lebih maju dari sekadar penyaluran zakat secara konvensional, pada 1985 Dawam sudah melontarkan gagasan pendirian bank sosial untuk menunaikan tugas ini.
Secara fundamental, pemikir fiqh Islam ternama Yusuf Al-Qaradhawy dalam Fiqh Az-Zakat: A Comparative Study menyebut zakat bisa menjadi sebuah laku untuk meminimalisir kemiskinan di masyarakat. Penguatan dan optimalisasi pelaksanaan zakat yang merupakan asas fundamental Islam, kata ulama asal Mesir ini, juga bisa memberi kegembiraan bagi pembayarnya.
Sebagai gambaran, penyaluran zakat bisa menjadi bantalan tambahan bagi kelompok berpendapatan rendah mengiringi program afirmatif dan conditional cash transfer oleh Pemerintah dalam menghadapi gejolak harga barang, inflasi atau keduanya.
Kedua, ekonomi mudik. Bank Indonesia, dikutip oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo, memperkirakan uang yang berputar pada masa mudik Lebaran akan mencapai sekitar Rp 200 triliun.
Riset Indonesian Development and Islamic Studies (IDEAS) pada 2017 terhadap 20 wilayah sentra mudik menunjukkan hal serupa. Dari kajian tersebut, IDEAS menyebut perputaran uang pada tahun lalu saja mencapai Rp 205,8 triliun.
Dari sisi pemudik, lembaga ini mengemukakan total pengeluaran seluruh pemudik yang diestimasi mencapai 33 juta orang dalam momen arus mudik dan arus balik bisa menembus angka Rp 142 triliun, berdasarkan perhitungan pengeluaran per pemudik sekitar Rp 4,3 juta selama 11 hari.
"Dengan memperhitungkan adanya kebijakan tunjangan hari raya (THR) dan tingkat upah minimum provinsi, kami memproyeksikan 15,3 juta pemudik yang diestimasi berstatus pekerja akan membawa remitansi ke kampung halaman mereka sebesar Rp 63,6 triliun tahun ini," ujar Direktur IDEAS Yusuf Wibisono.
Secara personal, perjalanan menuju kampung halaman pada momen mudik Lebaran akan membawa kebahagiaan bagi pelakunya. Selain bertemu dengan keluarga dan sanak saudara serta teman-teman lama, pemudik akan beberapa saat kehilangan kepenatan dan kecemasan atas apa yang terjadi di kota-tentang suku bunga the Fed, perang dagang, pelemahan rupiah, pertumbuhan ekonomi, dsb.
Sejenak melupakan rasa kelelahan karena sibuk mencari uang (
busy-ness, yang barangkali menjadi akar kata dari
business), dan malah menjadi sibuk serta gembira membagikannya. Sebab, seperti yang dikatakan pebisnis ternama, pemilik brand otomotif terpandang dan salah satu pembaharu kapitalisme, Henry Ford: "
A business that makes nothing but money is a poor business".
(ray)