Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Hari Jumat malam itu, 2 Desember 2016, saya janji berkumpul dengan teman-teman wartawan di salah satu kafe di Jakarta, dan secara mengejutkan kami mendapatkan tamu istimewa: Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia (BI). Dua hari sebelumnya, beliau mengirimkan pesan Whatsapp ke saya bahwa beliau ingin ikut menyeruput kopi bareng selepas kerja sambil berbicara ringan mengenai isu-isu terkini di pemerintahan dan pasar keuangan.
Sebagai wartawan yang sudah mengenal beliau sejak menjabat sebagai Menteri Keuangan, kami sudah mendengar banyak cerita legenda mengenai komitmen dan fisik prima beliau: Rapat bisa berlanjut sampai subuh, masuk kantor pagi-pagi sekali, semua kebijakan dan dokumen akan diperiksa sampai sedetail-detailnya. No room for error.
Tapi baru kali ini, kami sekarang melihat langsung: Raut muka orang nomor satu otoritas moneter di Indonesia itu belum terlihat lelah, padahal sudah berganti hari dan jam sudah menunjukkan hampir pukul 1 pagi. Kami para wartawan yang lebih muda ini sudah agak mengantuk, tapi beliau masih tetap semangat berdiskusi dan memberikan penjelasan kebijakan dengan terstruktur dan sangat rasional.
Saat Agus mengakhiri periode kerjanya sebagai Gubernur BI pada tanggal 22 Mei nanti, kerja kerasnya selama ini - serta rapat-rapat hingga larut malam yang harus dijalani pejabat bank sentral lainnya - akan meninggalkan peninggalan indikator ekonomi yang fantastis jika kita melihatnya dalam konteks 5 tahun lalu.
Lima tahun lalu saat Agus masuk ke bank sentral, inflasi tahunan meroket ke level 8-9 persen. Saat itu, angkat tersebut mungkin biasa saja bagi masyarakat Indonesia, yang dalam satu dua dekade terakhir sudah terbiasa dengan inflasi di tingkatan double digit. Dengan tingkat inflasi seperti itu, jangan heran kalau dahulu Indonesia pernah menerbitkan surat utang yang beban bunganya bagi pemerintah bisa mencapai 15 persen.
Apalagi, sejak dulu, masalah inflasi di Indonesia selalu berlarut-larut. Kebijakan moneter sering tidak efektif karena tingkat harga di Indonesia seringkali ditentukan oleh penawaran (supply), bukan permintaan (demand). Padahal, kebijakan moneter utama yaitu suku bunga cenderung memengaruhi yang kedua, bukan yang pertama. Teori ekonom Milton Friedman bahwa "inflasi itu dimanapun akan menjadi fenomena moneter" tidak berlaku di Indonesia.
Dalam perangnya melawan inflasi, sejak awal Agus membuat kebijakan yang berani selain dari kenaikan suku bunga: Alokasi sumber daya manusia BI unggul banyak didistribusi ke daerah untuk memastikan harga makanan terkendali. Jika ada anak muda masuk BI melalui jalur Pendidikan Calon Pegawai Muda (PCPM) dan masuk ranking atas saat dites secara kompetensi, mereka pasti dikirim ke daerah. Saya sendiri mendengar banyak "protes" dari teman-teman kuliah saya yang pintar-pintar dan bekerja di BI, tapi malah ditaruh di daerah terpencil untuk riset soal petani cabai, berkoordinasi dengan pemerintah daerah soal harga beras.
Bulan lalu, inflasi Indonesia hanya 3.4 persen. Mungkin kita seringkali tidak sadar karena penurunan inflasi selalu bertahap, namun sebenarnya dalam teori ekonomi menurunkan inflasi adalah pekerjaan yang sungguh, sungguh sulit. Paul Volcker, mantan Gubernur Federal Reserve di AS, bahkan harus melipatgandakan suku bunga hingga 20 persen dalam tiga tahun, serta beradu syaraf dengan banyak politisi-politisi yang tidak menyukai suku bunga tinggi, untuk menurunkan inflasi dari 14 persen ke akhirnya 3 persen di 1983.
Pencapaian dari rapat-rapat hingga larut malam yang dijalani oleh Agus tidak hanya tergambarkan dalam angka inflasi. Cadangan devisa, atau jumlah dollar yang dimiliki oleh bank sentral sebagai "amunisi" untuk menstabilkan nilai tukar, naik drastis dari dibawah 90 milyar dollar saat Agus pertama kali masuk di 2013, ke level 125 milyar dollar tahun ini - atau tertinggi sepanjang sejarah.
Juga ada usahanya tanpa henti dalam pendalaman pasar keuangan serta cashless society dimana sekarang penggunaan e-money telah menjamur dimana-mana, serta penerapan suku bunga acuan baru BI Repo rate 7-hari sebagai pengganti BI rate lama yang dianggap kurang merefleksikan situasi likuiditas dan kondisi moneter dalam negeri.
Dari sisi nilai tukar, walaupun rupiah secara nominal melemah sebenarnya implied volatility, atau indikator kestabilan mata uang, sudah jauh berkurang dan sekarang bisa mencapai dibawah 5 persen, dibandingkan beberapa tahun lalu yang selalu double-digit.
Hal ini tentunya tidak lepas dari keberanian Agus dalam berbagai kebijakan nilai tukar. Salah satunya adalah ketegasannya dalam mewajibkan penggunaan rupiah dalam negeri. Karena banyak proyek pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggunakan dollar dalam transaksinya, awalnya banyak protes mewarnai kebijakan ini. Tapi Agus bergeming - dan terbukti kini permintaan valuta asing dalam negeri bisa lebih dikendalikan dan rupiah menjadi lebih stabil.
"Jika suatu kebijakan itu benar, Pak Agus itu gak ada takutnya dan nyalinya tidak terbatas," kata seorang analis di pasar keuangan. "Sulit mencari pemimpin seperti itu."
Tentu, Agus tidak bisa menyenangkan semua pihak. Banyak rekan di BI yang bercerita ke saya bahwa Agus dimusuhi banyak karyawan BI yang lelah rapat hingga malam dan sulit beradaptasi dengan change management yang beliau terapkan - terutama tempo kerjanya yang cepat dan perfeksionis, tanpa ada ruang untuk kesalahan sekecil apapun. "Saya salut dengan bapak, tapi kami lelah berlari," keluh seorang teman di BI.
Selama 5 tahun ini, indikator ekonomi dan moneter yang mentereng telah membuktikan bahwa Agus Martowardojo telah sukses membawa BI berlari kencang -menyusul bank sentral lainnya di Asia bahkan dunia, mengingat banyaknya penghargaan Central Banker of the Year yang beliau dan BI dapatkan sepanjang kepemimpinannya.
Kini, transfer tongkat estafet diserahkan ketika situasi ekonomi global dalam tantangan, dimana rupiah dalam tekanan sedangkan volatilitas pasar keuangan Indonesia meningkat, yang memaksa suku bunga untuk dinaikkan baru-baru ini. Dengan BI yang kini telah memiliki fisik lebih kuat dan lebih terlatih, Perry Warjiyo, Gubernur baru BI mulai akhir bulan ini, tidak boleh menurunkan kecepatan dan harus mampu "memaksa" bank sentral untuk terus berlari.
(dru)