Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Mungkin salah satu momen yang paling membahagiakan bagi kalangan pekerja adalah saat memperoleh rezeki tambahan di luar gaji pokok, yakni berupa bonus, insentif, atau tunjangan kinerja. Bagi golongan pekerja yang gemar berinvestasi, tentu saja pertanyaan yang sering muncul adalah "Sebaiknya diinvestasikan ke mana bonus saya?" Jawaban seperti deposito, properti dan saham pasti sudah sering terdengar di telinga kita. Tetapi investasi di Uang Virtual? Mungkin jawaban ini masih cukup asing bagi sebagian besar orang.
Uang virtual atau biasa disebut virtual currencies/cryptocurrencies pada prinsipnya mengacu kepada konsep mata uang yang kita kenal selama ini seperti Rupiah, Euro, Dollar dan sebagainya. Perbedaannya adalah sistem yang berada di balik pengelolaannya. Sebagaimana yang kita ketahui, mata uang suatu negara dikelola secara sentralisasi oleh bank sentral. Seperti US Dollar dikelola oleh Federal Reserve System, Rupiah oleh Bank Indonesia, dan Yen oleh Bank of Japan. Selalu ada dasar penilaian (underlying) untuk menentukan nilai mata uang ini. Dahulu, jumlah emas merupakan jaminan dari uang fiat yang dikeluarkan oleh suatu negara. Saat ini, kondisi fundamental perekonomian sebuah negara menjadi dasar penilaian sebuah mata uang relatif terhadap mata uang negara lain. Contohnya, kurs Rupiah terhadap US Dollar dipengaruhi oleh kondisi makroekonomi Indonesia dan Amerika Serikat.
Lalu, bank sentral mana yang mengatur uang virtual?
Uang virtual dikelola secara desentralisasi, artinya tidak ada suatu negara atau bank sentral yang mengelolanya secara khusus. Pengaturan secara desentralisasi tersebut menggunakan teknologi bernama blockchain. Secara singkat, blockchain memungkinkan seluruh pengguna untuk menambang uang virtual secara bebas dan setiap transaksi akan tercatat dalam sebuah "ledger" atau "buku besar". Berbeda dengan mata uang fiat yang diterbitkan oleh bank sentral, karakteristik dari uang virtual ini adalah tidak memiliki dasar penilaian. Oleh karena itu, tidak heran jika nilai atau harga uang virtual ini begitu fluktuatif dan diperlakukan sebagai komoditas daripada alat tukar.
Dari sekitar 1.400 jenis uang virtual, Bitcoin merupakan brand yang paling terkenal. Dengan kapitalisasi sebesar 33% dari total nilai pasar uang virtual di seluruh dunia, Bitcoin sudah identik dengan uang digital sebagaimana masyarakat Indonesia menyebut 1 merek air mineral untuk seluruh merek yang ada.
Tidak dapat dipungkiri, kehadiran Bitcoin sungguh fenomenal. Dalam rentang waktu kurang dari 5 tahun kenaikan harga Bitcoin sejak April 2013 telah mencapai 164 kali. Itu artinya jika anda memiliki 1 BTC saat itu dengan nilai tukar Rp 1,3 juta maka pada awal Januari kemarin 1 BTC Anda menjadi senilai Rp 214 juta. Jika dirata-rata maka return rate Bitcoin selama setahun adalah sekitar 3.260%. Sebagai perbandingan, saham IHSG dengan return tertinggi sepanjang tahun 2017 adalah TAMU (PT. Pelayaran Tamarin Samudra Tbk) sebesar 2.627%. Sekilas tentu terlihat bahwa keputusan untuk tidak berinvestasi di Bitcoin adalah langkah yang bodoh bukan? Jawabannya tidak, dan itu juga yang menjelaskan mengapa saat ini masyarakat kita tidak lagi men-"dewa"kan Anthurium atau tanaman si Gelombang Cinta.
Pada tahun 2006, masyarakat Indonesia cukup dihebohkan oleh satu tanaman dengan harga per potnya mencapai Rp200juta bahkan miliaran. Tanaman bernama Anthurium ini merupakan salah satu peristiwa "bubble" terunik. Dengan modal ratusan ribu satu pot tanaman bisa dijual dengan harga 3 sampai 10 kali lipat. Namun sebagaimana booming harga pada umumnya, hingga saat ini kita tidak pernah lagi mendengar kisah orang menjual mobilnya untuk membeli sebuah Anthurium. Booming komoditas apapun hanya berlaku beberapa saat dan tidak berkelanjutan. Anthurium tidak sendirian, ikan Lou Han dan Batu Akik juga bernasib sama.
Untuk skala global, Tulip Mania di Belanda pada tahun 1634-1637 disebut sebagai bubble pertama dan terbesar di dunia. Sebuah bunga tulip pada masa itu dihargai senilai 10 kali lipat gaji bulanan seorang pegawai kantoran. Saat ini bunga tulip bahkan bisa Anda beli sebagai kado untuk orang kesayangan dengan harga sangat murah. Convoy Investment, sebuah firma investasi berbasis di New York, Amerika Serikat mencatat Bitcoin telah menjadi potensi bubble terbesar di dunia saat ini mengalahkan Tulip Mania (1634-1637), Tech Bubble (1994-2002), Great Depression Stock (1923-1932). Nilai tukar BTC/IDR per tanggal 6 Februari 2018 adalah sekitar Rp100jt, atau telah jatuh 50% lebih dari nilai tertingginya saat awal Januari 2018.
Di samping itu, terdapat pula risiko yang cukup besar dalam penggunaan uang digital yang dapat digunakan untuk praktik pencucian uang dan aktivitas pendanaan terorisme. Terorisme sendiri telah menjadi ancaman yang sangat nyata di Indonesia sehingga sudah sewajarnya otoritas menutup segala pintu yang memungkinkan para teroris untuk bisa masuk. Belum lagi isu keamanan transaksi yang bisa sangat merugikan. Seperti yang baru saja terjadi di Jepang, Coincheck yang merupakan salah satu bursa uang virtual terbesar dirampok oleh hackers dengan total kerugian senilai USD500 juta. Kasus pencurian uang digital semacam ini juga dialami oleh Mt. Gox-Jepang USD450 juta pada tahun 2014 kemudian Bitstamp-London USD5 juta pada tahun 2015.
Atas alasan-alasan ini, tidak heran sejumlah bank sentral di beberapa negara telah mengeluarkan larangan penggunaan virtual currency, termasuk Indonesia. UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang dengan sangat tegas menyatakan bahwa Rupiah adalah satu-satunya mata uang yang diperkenankan digunakan di wilayah NKRI. Sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana) dan penyelenggara FinTech (bank ataupun lembaga selain bank) untuk memproses transaksi pembayaran dengan uang virtual. Hal ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan dalam PBI 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
Lalu, apakah ini artinya uang digital merupakan teknologi yang haram digunakan seperti layaknya senjata pemusnah massal? Sayangnya tidak sesederhana itu. Selayaknya teknologi, selalu ada sisi baik dan buruk. Saat ini beberapa bank sentral di dunia telah melakukan kajian mengenai kemungkinan menerbitkan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau uang virtual yang dikeluarkan oleh bank sentral selaku otoritas.
Jika berhasil, sejumlah keuntungan dapat diperoleh. Bank sentral tidak perlu lagi mencetak uang kertas dan logam yang membutuhkan biaya mahal dan proses yang lama. Selain itu, perekonomian dapat lebih efisien karena transaksi dilakukan secara mudah dan cepat. Dari aspek keamanan juga meningkat, dimana karena seluruh transaksi tercatat maka pengawasan terhadap aktivitas korupsi, pencucian uang dan pendanaan terorisme dapat terlacak. Tetapi sekali lagi, CBDC masih dalam tahapan kajian dan rasanya masih butuh waktu untuk dapat diimplementasikan.
Pada akhirnya penggunaan uang virtual dalam kehidupan sehari-hari sama layaknya dengan menggunakan tanaman Anthurium sebagai alat investasi dan alat tukar. Dari aspek legalitas tentu sebuah tanaman tidak bisa dijadikan alat tukar dalam transaksi pembayaran. Tidak hanya itu, keamanan sistem pembayaran juga menjadi isu ketahanan nasional jika sebuah instrumen dapat memudahkan kegiatan yang dilarang oleh undang-undang seperti tindak kejahatan pencucian uang atau terorisme. Sementara itu dalam konteks investasi, jelas sekali bahwa tidak ada lembaga atau otoritas di Indonesia yang dapat memberikan perlindungan terhadap pemilik uang virtual.
(dru)