Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Per Kamis, 1 Februari 2018, besar kemungkinan impresi publik di Jawa Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya terhadap transportasi mobil online yang efisien, praktis, dan inovatif, bisa tidak sama lagi atau bahkan memudar perlahan.
Konsekuensi dari penerapan Permenhub No. 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, yang sebelumnya masuk masa sosialisasi tiga bulan dari akhir tahun lalu, tak bisa dielakkan.
Pasca demo transportasi online di Kementerian Perhubungan Senin (29/1/2018), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menegaskan per 1 Februari 2018, Permenhub 108 akan dijalankan sesuai rencana. Aturan tidak akan dicabut sebagaimana keinginan para driver taksi online yang hari itu menggelar demo di berbagai tempat di Indonesia.
Dalam hemat penulis, sedikitnya ada beberapa poin yang memicu penyesuaian tarif moda transportasi online sehingga kemungkinan besar tak lagi murah.
Pertama, penyedia transportasi online tak bisa lagi menawarkan jasanya sendirian, namun harus berhimpun dalam badan hukum.
Berhimpun itu bisa berbentuk perusahaan (PT) dan atau koperasi, yang mana masing-masing harus memiliki minimal lima armada. Data yang diperoleh penulis dari Pemprov Jabar, di Jawa Barat, badan hukum yang sudah mengajukan permohonan izin penyelenggaraan berjumlah 34 entitas (19 PT dan 15 koperasi).
Selepas itu, badan hukum yang sudah mendapat surat persetujuan berproses ke Dinas Perhubungan kabupaten/kota untuk melakukan KIR/uji kendaraan bermotor guna mendapatkan rekomendasi. Langkah selanjutnya, kemudian ke kepolisian setempat guna pengurusan Kode khusus TNKB (Tanda Nomor Kendaraan Bermotor) serta Jasa Raharja untuk pembayaran premi. Dari sana, akan diproses Surat Keputusan/Kartu Pengawasan serta pemasangan stiker taksi online.
Secara simultan, para driver pun harus datang ke kantor polisi guna memperoleh SIM (Surat Izin Mengemudi) A Umum, sehingga sebenarnya dari seluruh mekanisme ini, terjadi kesetaraan perlakuan dengan pelaku transportasi umum eksisting.
Namun di sisi lain, melalui tahapan formal legal yang panjang dan holistik di atas, setidaknya terdapat komponen biaya yang bersifat register maupun rutin tahunan yang sebelumnya sama sekali tidak berlaku bagi pelaku transportasi online tersebut. Aturan ini tentu berlaku setara di semua provinsi, tak hanya di Jawa Barat.
Kedua, dari sembilan poin Permenhub No 108/2017, sedikitnya ada sejumlah poin yang wajar mendorong penyesuaian tarif jika sudah mulai pemberlakuan yakni terkait argometer, wilayah operasi, tarif atas bawah, serta domisili TNKB.
Argometer adalah besaran tarif angkutan sesuai dengan yang tercantum pada aplikasi berbasis teknologi informasi dengan bukti dokumen elektronik.
Di sisi lain, akan ada pengaturan tarif batas atas yang dilakukan guna melindungi konsumen agar tidak ada kenaikan tarif sewenang-wenang di waktu tertentu, terutama pada saat jam sibuk.
Sementara itu, tarif batas bawah diterapkan guna melindungi pengemudi supaya tidak terjadi perang tarif/banting harga yang dapat menjatuhkan usaha pesaing. Dengan kata lain, normalisasi tarif (yang mendekati atau setara taksi konvensional) besar kemungkinan akan terjadi secara alamiah.
Ketiga, pasokan transportasi online yang legal boleh jadi tak sebanyak sebelumnya sehingga hukum ekonomi berjalan sendirinya kala pasokan tidak banyak lagi. Hal ini terkait dengan adanya komitmen dari Kementerian Komunikasi Informatika yang akan mematikan aplikasi untuk pelaku transportasi online yang tak penuhi Permenhub No 108/2017.
Bahkan, aparat kepolisian di daerah, seperti disampaikan Kasatlantas Polres Cimahi dalam Pikiran Rakyat (30/1/2018), akan menilang pada pengemudi transportasi online yang kedapatan tidak memiliki SIM A Umum. Keduanya merupakan derivatif dari esensi Permenhub tentang kuota atau perencanaan kebutuhan kendaraan, yang dimaksudkan agar tak besar pasokan dari kebutuhan.
Faktanya, dari kuota mobil angkutan sewa khusus (ASK) Pemprov Jabar sebanyak 7.709 kendaraan di lima wilayah operasional provinsi, baru diberikan 640 kuota saja. Sebab, ASK transportasi online utamanya masih banyak yang belum penuhi syarat, terutama dari sisi seleksi kelengkapan aspek hukum dan regulasi.
Seleksi itu sendiri dilakukan tim lintas disiplin dan berkompeten, seperti Dinas Perhubungan Jawa Barat, Organda Jawa Barat, Jasa Raharja, Dinas Koperasi Usaha Kecil, Dinas Penanaman Modal Pelayanan Satu Pintu, hingga pemerhati transportasi.
Maka, pembacaan atas situasi ini seyogyanya tak berkutat pada kenyamanan saya, kamu, dan kita yang tercerabut. Karena nilai nyaman itu sendiri selama ini bisa bias; Di sisi lain, demikian banyak pelaku usaha konvensional tergerus imbas perbedaan perlakuan.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil beradab (
civilized civil), mari baca penerapan aturan sebagai salah satu bentuk titik ekuilibrium manakala dua layanan transportasi beda layanan disandingkan dalam ruang waktu dan operasional seimbang.
Tak ada lagi kecemburuan, dan atau malah tudingan malas berkompetisi, karena sejatinya Permenhub No 108/2017 mendorong lahirnya semangat keseimbangan dan kesetaraan saat bersaing memberikan layanan terbaik ke publik.
Otomatis, dengan sendirinya, kita yang paling mungkin diuntungkan di awal. Selain karena terjadi kompetisi sehat berlomba-lomba menjadi pemenang dalam layanan transportasi, juga memicu lahirnya ekosistem ekonomi yang berintegritas.
Boleh jadi sekilas kita khawatir tak lagi peroleh tarif termurah dengan cara praktis. Namun sebetulnya, malah mungkin karena kompetisi sehat sudah terbuka, ekspektasi tadi malah semakin terbuka luas dan lebar kita temukan. Berilah dulu ruang kesempatan.
Tak kalah penting dari itu, titik ekuilibrium pun terjadi karena ulah penyedia aplikasi alias Over The Top (OTT) yang selalu mengakali perpajakan di Indonesia, seharusnya tak lagi terdengar semenjak pemberlakuan Permenhub No 108/2017 tersebut. Jangankan OTT transportasi online yang baru bergema tiga tahun terakhir ini, sekaliber Google yang sudah eksis di Indonesia sejak tahun 2000 pun, kita ketahui bersama selalu
ngeles dan berkilah banyak cuap jika terkait pajak.
Hingga tunggakannya, seperti disampaikan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv, bisa mencapai Rp5,5 triliun hanya dalam setahun saja! Untungnya, per 30 November 2017 lalu, tunggakan ini sudah dilunasi.
Dalam amatan penulis, bukan sekali dua kali, OTT asing hanya pintar mencari duit di tanah air (dengan pasar warganet sedikitnya 132 juta tahun lalu) namun kemudian berkilah atas nama ekonomi digital sehingga negeri ini tak dapat apa-apa.
Sementara OTT terutama, terutama inventornya semacam Sergei Brin (Google), Mark Zuckerberg (Facebook), Travis Kalanick (Uber) terus masuk daftar orang terkaya dunia, namun cipratannya relatif minim bahkan Indonesia gigit jari imbas prilaku umum menghindari kontribusi sektor usaha.
Walakhirul kalam, keseimbangan yang terjadi semoga bisa terealisasi dengan harmonis dan menyenangkan semua pihak, sekaligus para pelaku OTT kian sadar bahwa mereka tak hanya bisa menerbangkan laba dan dividen ke negeri asal sambil lupa tanah usaha tempatnya berpijak!
(ray/ray)