Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia perdagangan mengalami revolusi. Konvergensi teknologi informasi dan ekonomi menawarkan efisiensi, efektivitas, dan mobilitas bisnis. Pasar konvensional berubah cepat menjadi digital dan meniadakan konsep brick and mortar dengan lahir dan berkembangnya e-commerce. Pesatnya pertumbuhan e-commerce sontak menuai kegusaran di kalangan pelaku bisnis konvensional, terutama soal keadilan pajak. Di sisi lain, rencana memajaki bisnis e commerce ditolak para pelaku dengan alasan ini bisnis yang sedang tumbuh dan justru butuh insentif. Pemerintah pun terkesan gagap dan lamban dengan perubahan cepat ini, sehingga wacana kebijakan terombang ambing karena watak elusif bisnis digital ini.
E-commerce atau perdagangan elektronik merujuk kepada jual-beli barang dan jasa melalui sistem elektronik, yaitu jaringan internet, yang memungkinkan transaksi dilakukan lintas batas tanpa harus ada toko secara fisik dan tatap muka penjual dan pembeli. Bentuk e-commerce yang paling umum ditemui adalah tempat jual beli barang online (online retail) dan pasar digital (online marketplace). Dengan basis konsumen yang besar, Indonesia menjadi pasar potensial bagi ekonomi digital. Menurut World Population Prospect, Indonesia memiliki market share ekonomi digital terbesar di ASEAN, dengan kontribusi saat ini 40,4% dan diperkirakan mencapai 41% pada 2025 dengan nilai US$ 81 miliar. Riset lain dari Brand & Marketing Institute (BMI) menyatakan bahwa nilai transaksi e-commerce pada 2016 mecapai US$ 4,89 M atau Rp 68 triliun, meningkat signifikan dari 2015 yang hanya Rp 50 triliun, dan diperkirakan mampu mencapai US$ 130 miliar di 2020. Investasi e-commerce di Indonesia hingga 2017 diperkirakan mencapai US$ 9 miliar atau Rp 120,3 triliun.
Problem Mendasar Namun pesatnya pertumbuhan ekonomi digital belum diimbangi dengan regulasi yang memadai. Dalam konteks perpajakan, pedagang konvensional harus bersaing dengan pelaku e-commerce dalam arena bermain yang timpang (unequal playing field). Ada pemahaman yang keliru bahwa seolah-olah berdagang secara elektronik belum dipajaki. Hal ini juga terjadi di antara pelaku e commerce. Pelaku dan transaksi yang masih sulit terdeteksi menjadi insentif untuk menghindari kewajiban perpajakan, terutama kebocoran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penjualan barang. Padahal sejatinya yang menjadi masalah bukanlah apakah aktivitas mereka terutang pajak, melainkan bagaimana cara memajaki yang paling efektif dengan distorsi minimal.
Di pasar domestik hal ini tampak jelas. Menjamurnya transaksi jual-beli secara elektronik belum berbanding lurus dengan peningkatan penerimaan pajak. Meski sebagian besar pedagang di platform tersebut adalah pelaku UMKM, namun seharusnya pemerintah dapat menerapkan perlakuan yang adil dibandingkan dengan para pedagang konvensional. Saat ini, sesuai PP No. 46 Tahun 2013, pelaku UMKM dikenai tarif PPh final sebesar 1% atas penghasilan bruto setahun, tak terkecuali pelaku e commerce. Pemerintah kini mewacanakan pemungutan PPh 0,5% terhadap pelaku e-commerce dan akan dipungut oleh pemilik platform (online marketplace). Seiring revisi PP 46 Tahun 2013 menuju tarif 0,5%, para pedagang wajib menyetor sendiri PPh sebesar 0,5%. Berdasarkan ketentuan, para pelaku e commerce juga wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak dan memungut PPN atas penyerahan barang dan/atau jasa apabila omset setahun melebihi Rp 4,8 miliar. Wacana ini menuai penolakan dari asosiasi karena akan memberatkan pemilik platform/marketplace dan dapat menggeser aktivitas berjualan ke social network. Lalu bagaimana sebaiknya pemajakan terhadap e-commerce dirumuskan?
Alternatif SolusiProblem mendasar bukan pada apakah e-commerce terutang pajak, melainkan bagaimana cara paling efektif memajaki e commerce. Meski secara normatif e commerce terutang pajak menurut Undang-undang, pemenuhan kewajiban dan penegakan hukum tetap tidak mudah. Bahkan beberapa asumsi dalam aturan saat ini tidak relevan dengan model bisnis digital yang berkembang pesat. Belum ditambah dilema: memungut pajak e commerce demi penerimaan negara dan terciptanya keadilan dengan pedagang konvensional, atau memberikan insentif agar sektor e commerce tumbuh baru dipajaki?
Hal yang harus dipahami adalah mobilitas dan fleksibilitas bisnis e commerce yang sensitif terhadap kebijakan. Bisnis yang berbasis digital dan padat modal lebih mudah berpindah lokasi/domain jika kebijakan pemerintah kurang kompetitif. Ekonomi digital juga bukan sekadar perubahan cara berdagang, tetapi ekosistem baru dengan pola relasi, interaksi, dan transaksi yang sama sekali berbeda. Maka penting memiliki roadmap yang jelas agar memberi kepastian bagi investor dan pelaku. Kebijakan yang lebih moderat sebaiknya menjadi pilihan. Pertama, Pemerintah perlu membangun sistem registrasi yang efektif, mudah, dan murah. Hal pertama dan utama adalah memastikan para pelaku e commerce masuk ke dalam sistem.
Kedua, Pemerintah perlu menciptakan kerangka hukum yang adil dan berkepastian bagi pengusaha bisnis konvensional maupun e-commerce, khususnya dalam hal perpajakan. Diperlukan dasar hukum yang kuat demi kepastian usaha. Aturan yang diterapkan harus memiliki kejelasan (clarity), memberikan kepastian (certainty), dan tidak cepat berubah-ubah peraturannya (concistency). Penunjukan pemungut pajak harus mempertimbangkan compliance cost, agar tidak menimbulkan beban baru yang memberatkan. Selain PPh, PPN adalah jenis pajak yang paling mudah dan memungkinkan dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan. Perlu dipikirkan mekanisme pemungutan PPN termudah dan termurah, apakah mengenakan PPN pada skema normal atau skema final (single stage) untuk efektivitas.
Agar tidak memberatkan dan menarik sebanyak mungkin wajib pajak baru, tarif PPN yang diterapkan jangan sampai menghambat perkembangan e-commerce Indonesia atau justru mengakibatkan kebocoran PPN dengan berpindahnya transaksi ke platform lain yang tidak terdeteksi (seperti messaging apps atau social network). Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari tarif normal. Misalnya, India sebesar 1% (PPN tarif normal 12,5%-15%), Thailand memajaki di tarif 4% (tarif normal 7%), Vietnam menerapkan tarif 1% khusus untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (e-commerce Badan dan selain e-commerce dikenai PPN tarif normal 10%), dan Filipina memajaki 3% final apabila omset bisnis masih di bawah USD 37,647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omset telah melebih threshold).
Ketiga, menyiapkan sistem administrasi berbasis teknologi informasi yang terintegrasi. Implementasi payment gateway menjadi keniscayaan karena akan secara efektif mengintegrasikan seluruh transaksi dan memudahkan pemungutan dan pengawasan. Kemudahan lain yang dapat ditawarkan adalah aplikasi untuk pencatatan, pembukuan, pembayaran, dan pelaporan pajak. Di samping itu, penyelarasan akuntansi komersial yang ramah terhadap pelaku UKM mendesak dilakukan. Ini penting untuk memberi insentif para pelaku usaha agar biaya administrasi dan kepatuhan tidak memberatkan.
Berkembangnya ekonomi digital menjanjikan harapan kemajuan namun juga menimbulkan masalah fairness, baik hak negara akan pajak maupun bagi pelaku bisnis konvensional. Pemerintah juga terkesan gamang dan jatuh dalam dilema. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Setidaknya Pemerintah dapat memberikan kerangka acuan dan peta jalan pengaturan bisnis e-commerce yang berperspektif win win solution. Tanpa perlu tergesa-gesa untuk dapat mengatur semuanya secara sempurna, dialog yang saling mendengarkan akan menguntungkan semua pihak. Kita berkepentingan dengan pajak bagi pembangunan, namun juga wajib menjaga kesinambungan perekonomian. Semoga Pemerintah lolos dari ujian ini dan sektor ekonomi digital dapat menjadi salah satu tumpuan harapan bagi kemajuan perekonomian Indonesia.
(dru)