Laju Fintech untuk Koperasi di Indonesia

Dimitri Mahayana, CNBC Indonesia
09 February 2018 15:29
Dimitri Mahayana
Dimitri Mahayana
Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Bandung, sejak tahun 2001 lalu. Sehari-hari dosen Sekolah Teknik Elektro Informatika ITB, yang jadikan proses mengajar dan memandu sebagai renjana hidupnya.. Selengkapnya
Perkembangan fintech untuk Koperasi Indonesia
Foto: Freepik

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Hari ini dan selanjutnya, kami di Sharing Vision memprediksi perkembangan fintech di Indonesia kian marak. Bahkan, tak hanya itu, fintech  akan mulai membidik segmen masyarakat pelosok yang masih belum tersentuh layanan perbankan.

Tahun 2018 ini, perkembangan fintech diprediksi semakin pesat, kendati tidak setinggi pertumbuhan e-commerce. Nilai transaksi fintech tahun ini akan mencapai 22,784 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 307,58 triliun (kurs Rp 13.500/dolar AS). Ini tumbuh 22,2% dibandingkan realisasi tahun lalu.

Tahun 2017 lalu, nilai transaksi diperkirakan mencapai 18,646 miliar dolar AS atau sekitar Rp 251,72 triliun. Dan, pada 2021 nanti, nilai transaksi di Indonesia bisa mencapai 37,146 miliar dolar AS atau sekitar Rp 501,47 triliun.

Determinan nya banyak hal --sebagian besar sudah kita praktekkan sehari-hari-- namun yang utama payment (pembayaran) maupun peer to peer lending (pinjaman) via layanan digital terus meningkat.

Sekilas pengalaman pribadi penulis, dan tentunya pembaca, sudah mengarah semua ke teknologi finansial tersebut. Hingga seorang penjual martabak legendaris di Andir, Kota Bandung, bahkan peroleh tambahan omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan setelah membuka saluran pemesanan makanan via ojek daring.

Kita bertemu sebuah kondisi bahwa kebutuhan dan habitual masyarakat berkembang demikian pesat, dan di sisi lain terjadi kematangan layanan berbasis aplikasi digital, memunculkan permintaan dan layanan konsumen berjalan simetris.

Fintech, yang antara lain dilakukan dengan metode virtual account telah nyata mendorong banyak penyedia layanan digital tanah air, seperti Tokopedia dan Gojek, kini gencar memberikan diskon agar pengguna menggunakan pembayaran daring miliknya.

Bahkan, Go-Pay saat ini sudah diperluas cakupan layanannya dengan adanya kerjasama dengan perbankan utama (BCA, Mandiri, BRI, dan BNI) hingga kemudahan proses top-up (via bank atau pengemudi).

Hal ini sejatinya mengikuti tren global, seperti perusahaan aplikasi mobil, Uber, yang kian intens bekerjasama dengan fintech. Contohnya layanan Uber Bankaool, yakni kartu debit Uber dalam kemitraan dengan Mastercard serta bank daring Meksiko, Bankaool.

Sejatinya, semua ini konsekuensi logis dari posisi ketika e-commerce lokal, antara lain Tokopedia dan Bukalapak, sudah melewati trafik sekaligus ranking lokal dari e-commerce asing yakni Amazon, Alibaba, dan eBay.

Bukalapak, merujuk data kami, total pageviews per harinya pada awal 2017 sudah mencapai 7,764 juta, Tokopedia 7,580 juta. Sementara milik asing, yakni OLX itu hanya 1,431 juta pageviews serta Lazada 975.000 pageviews.

Data yang kami catat juga menunjukkan jumlah merchant Bukalapak akhir tahun lalu sudah 510.000 unit dan Tokopedia 500.000 unit. Sementara laman asing, contohnya Elevania 160.000 dan Lazada 40.000 merchant.

Jumlah produk yang ditawarkan merchant tersebut mencapai 12 juta di Tokopedia, 7,8 juta unit (Bukalapak), Elevenia (4 juta), dan Blanja.com (3 juta).

Karenanya, transaksi tahunan pada Bukalapak diestimasi sudah hampir Rp3 triliun sementara perputaran uang pada laman Elevania Rp1,3 triliun. Nominal tersebut dihasilkan dari transaksi bulanan Tokopedia 16,5 juta, Bukalapak 7,5 juta serta Elevenia 0.68 juta.

Sharing Vision juga mencatat determinasi pesat e-commerce lokal juga diperlihatkan Gojek, manakala dari 121 responden mengaku 75.70% menggunakan aplikasi Gojek serta 49.5% pengguna menggunakan layanan minimal sekali seminggu. Kini, total pengemudi Gojek sudah lebih dari 100 ribu dengan aplikasi diunduh lebih dari 10 juta kali.

Padahal, mereka berdiri sejak Oktober 2010 namun masih berbentuk call center dan benar-benar beroperasi di ranah aplikasi sejak Januari 2015. Kini, terutama setelah dapat suntikan dana Rp7,2 triliun, Gojek menjadi perusahaan transportasi dengan valuasi tertinggi yakni Rp17 triliun.

Relevansi Koperasi

Tentu, laju deras ini jangan sampai lupakan masyarakat akar rumput, misalnya dengan koperasi simpan pinjam (KSP). KSP harus bertransformasi dengan menghadirkan layanan berbasis digital seperti yang diberikan fintech.

Di mata penulis, tidak ada alasan bagi KSP untuk menunda adopsi teknologi informasi (TI), walaupun mereka berada di pelosok.

Fintech banyak yang membidik pasar di pelosok. Perbankan saja sudah banyak mendapat pembelajaran dari keberadaan fintech. Mereka sudah memperkuat TI untuk bisa memenangkan persaingan, sehingga KSP pun selayaknya melakukan upaya seragam.

Jika tidak segera berbenah, KSP mungkin paling pertama kena imbas disrupsi digital. Apalagi kalau masih ada pikiran pengelola KSP, yang memandang fintech sebagai ancaman. KSP justru harus memandang fintech sebagai calon mitra potensial untuk bekerja sama.

Banyak layanan yang sungguh bisa dikerjasamakan. Masing-masing memiliki keunggulan yang bisa melengkapi satu sama lain, terlebih segmen loyal berbeda. Jadi, KSP harus terlebih dahulu berbenah melalui adopsi teknologi informasi komunikasi. 

Kita sedang berada dalam situasi ketika dunia bukan hanya berubah, namun berkembang pesat menerobos kemapanan sistem sekian lamanya. Ketika dulu transaksi dominan tunai, maka hari ini dan selanjutnya akan kian bertumpu pada virtual account cashless dan fintech.
(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation