Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada tanggal 31 Oktober 2017 Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang mewajibkan kegiatan ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan Batubara serta kegiatan impor beras dan pengadaan barang-barang pemerintah lainnya untuk menggunakan angkutan laut dan asuransi nasional yang akan efektif berlaku pada April 2018. Secara umum penerbitan undang-undang tersebut adalah langkah positif, tidak hanya sebagai salah satu usaha untuk menyehatkan neraca transaksi berjalan Indonesia namun juga karena penerbitan peraturan tersebut membuka peluang bagi usaha asuransi umum nasional untuk melakukan ekspansi bisnis.
Jika diperhatikan, kegiatan ekspor-impor di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan term free-on-board (FOB) dimana pembeli barang yang menentukan preferensi atas alat angkut dan asuransi yang digunakan sejak barang masuk ke kapal hingga sampai ke tempat tujuan. Pada kasus asuransi, tertanggung marine cargo insurance yaitu pihak diluar negeri yang menjadi mitra dagang Indonesia dapat memilih untuk membeli produk marine cargo insurance di negaranya. Tentunya hal ini menjadi missed opportunity bagi industri asuransi umum nasional yang seharusnya dapat menyerap bisnis tersebut.
Sejak berlakunya Permendag Nomor 82 Tahun 2017 maka mitra dagang Indonesia di luar negeri diwajibkan membeli asuransi lokal untuk meng-cover kegiatan dagang yang dilakukannya. Hal ini tentulah menjadi blessing bagi perusahaan asuransi nasional yang menjual produk marine cargo insurance. Hingga saat ini dari 76 perusahaan asuransi umum yang beroperasi di Indonesia, 71 perusahaan (93%) diantaranya menjual produk marine cargo insurance dengan rata-rata premi bruto selama 5 tahun terakhir sebesar Rp 2,89 triliun dan dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 6,6%. Jadi dapat disimpulkan bahwa Permendag ini memberikan dampak positif terhadap hampir seluruh perusahaan asuransi umum di Indonesia.
 Foto: Ist |
Terkait potensi peningkatan premi akibat dari peraturan ini, kita dapat bercermin dari data ekspor (FOB) Indonesia pada Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI). Dari tahun 2010 hingga 2016 Indonesia secara rata-rata memiliki nilai ekspor (FOB) sebesar US$ 164,73 miliar per tahun, dimana US$ 36,21 miliar diantaranya bersumber dari ekspor Minyak Sawit (CPO) dan Batubara. Jika diasumsikan bahwa marine cargo insurance memiliki tarif rata-rata sebesar 2 permil maka secara kasar premi asuransi umum yang berpotensi untuk diperoleh adalah sebesar US$ 72,43 Juta per tahun atau kira-kira ekuivalen dengan Rp 941 miliar. Mengingat premi akhir tahun 2016 untuk lini bisnis marine cargo insurance adalah sebesar Rp. 3,15 triliun maka penambahan diatas akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi perusahaan yang menjual produk marine cargo insurance.
Tentunya proyeksi peningkatan premi diatas adalah proyeksi yang cenderung optimistik. Pada prakteknya apakah potensi ini dapat diserap atau tidak akan sangat bergantung kepada performa ekspor CPO dan Batubara Indonesia dimasa yang akan datang, kepatuhan perusahaan eksportir dalam mengikuti aturan tersebut dan juga kemampuan dari perusahaan asuransi umum untuk menyerap tambahan potensi premi dari lini bisnis ini. Selain itu dengan adanya potensi bisnis baru, maka underwriter untuk marine cargo insurance harus menjalankan proses underwriting yang baik agar mendapatkan premi yang lebih sehat.
Kita lihat saja bagaimana dinamika dari penerapan Permendag Nomor 82 Tahun 2017 nantinya. Hal yang pasti adalah kalangan industri asuransi umum Indonesia saat ini menyambut baik penerbitan aturan pemerintah tersebut, khususnya yang bergerak di marine cargo insurance. Di sisi lain, kapasitas reasuransi nasional juga akan ikut terdorong untuk mendukung pemenuhan kapasitan risiko agar premi asuransi tidak bergerak ke luar negeri. Ke depan tidak mustahil reasuransi dalam negeri juga dapat berkiprah lebih baik di kancah internasional dengan mengambil peran untuk menerima sesi risiko dari luar negeri sehingga akan berdampak positif pada neraca transaksi berjalan Indonesia.
Penerbitan Permendag ini dirasakan positif karena dapat meningkatkan pemanfaatan kapasitas dalam negeri. Untuk ke depannya kalangan industri asuransi juga berharap pemerintah dapat menerbitkan aturan-aturan lainnya yang dapat memaksimalkan kapasitas perusahaan-perusahaan jasa keuangan di Indonesia, sehingga resources dalam negeri benar-benar dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ketahanan keuangan Indonesia. Beberapa inisiatif pemerintah diantaranya adalah skema asuransi pertanian, peternakan, perikanan, hingga BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan merupakan literasi asuransi bagi masyarakat Indonesia agar asuransi dapat menjadi financial inclusion.
Beberapa usulan skema asuransi ada juga masih menjadi bahan diskusi yang terus berkembang, diantaranya adalah asuransi bencana. Selain pemerintah, berbagai pihak baik lokal maupun internasional juga peduli akan masalah kebencanaan di Indonesia, mulai dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), Organisasi Non Pemerintah, tokoh masyarakat, pebisnis, korporasi swasta serta juga para peneliti. Berbagai penelitian yang ada beragam mulai dari penaanggulangan bencana dari sisi humaniora hingga penelitian tentang penanggulangan bencana dari sisi keuangan (Disaster Risk Financing Insurance). Kita berharap pemerintah dapat segera mengambil inisiatif untuk memaksimalkan potensi dalam negeri ini guna ketahanan keuangan dalam negeri.
(dru)