Akselerasi Ekonomi Indonesia di Tahun Politik

Winang Budoyo, CNBC Indonesia
22 January 2018 11:47
Winang Budoyo
Winang Budoyo
Winang Budoyo saat ini menjabat sebagai Chief Economist dari Bank BTN. Sebelum bekerja di Bank BTN, Winang memegang jabatan sebagai Chief Economist di Bank CIMB Niaga selama 10 tahun, dan sebagai Economist di Mandiri Sekuritas selama tiga tahun... Selengkapnya
Memasuki tahun 2018, aroma tahun politik semakin terasa yang membuat orang mulai bertanya-tanya apakah bisnis akan tetap berjalan?
Foto: BKPM

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Memasuki tahun 2018, aroma tahun politik semakin terasa yang membuat orang mulai bertanya-tanya apakah bisnis akan tetap berjalan, apakah ekonomi Indonesia akan terus melaju ataukah sebaliknya. Di balik itu semua, tahun 2018 merupakan tahun politik yang menarik, karena berbeda dengan tahun-tahun politik sebelumnya, pesta politik tahun ini akan terus berlanjut sampai tahun 2019, yang dimulai dengan 171 Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di tahun 2018 dan berlanjut ke Pemilihan Presiden (Pilpres) satu tahun berikutnya.

Karena keberlanjutannya ini maka ada yang mengistilahkan tahun politik kali ini dengan istilah "satu tarikan nafas" karena belum selesai riak-riak Pilkada akan kembali muncul riak-riak Pilpres.

Tidak dipungkiri banyak orang yang kuatir dalam menyongsong tahun politik ini, namun sejarah justru mencatat bahwa ekonomi Indonesia justru terselamatkan karena adanya pesta politik. Sebagai contoh adalah pesta politik tahun 2009, dimana akibat krisis sub-prime mortgage banyak negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun tersebut.

Namun saat itu Indonesia tetap dapat mencetak pertumbuhan ekonomi +4,6% yang didorong oleh konsumsi masyarakat yang tetap tumbuh sepanjang tahun politik tersebut. Kebijakan pemerintah yang bersifat populis dan peredaran uang yang meningkat sepanjang tahun politik akan mendorong konsumsi masyarakat. Kondisi ini akan kembali berulang sepanjang tahun 2018-2019.

Untuk melihat apa yang akan terjadi sepanjang tahun politik kali ini, ada baiknya kita melihat dulu apa yang sudah terjadi pada tahun 2017. Ekonomi dunia mengalami perbaikan di tahun 2017, di mana perbaikan pertumbuhan ekonomi terjadi di negara maju dan negara berkembang, dengan pendorong utama Amerika Serikat dan Tiongkok. Menurut IMF, terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,2% yoy di 2016 menjadi 3,6% yoy di 2017.

Membaiknya pertumbuhan global ini mendorong pertumbuhan volume perdagangan dunia dan juga harga komoditas global, dua hal yang menguntungkan ekspor Indonesia. Perbaikan ekonomi globalini diperkirakan akan berlanjut di 2018, yang akan tumbuh sebesar 3,7% yoy, namun berbeda dengan tahun 2017, pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini justru akan didorong oleh negara berkembang, terutama Tiongkok dan India.

Di tengah perbaikan ekonomi dunia, ekonomi Indonesia sebenarnya berpotensi untuk ikut terakselerasi. Data pertumbuhan ekonomi kuartal 3 2017 menunjukkan Investasi dan Ekspor Indonesia tumbuh masing-masing sebesar 7% yoy dan 17% yoy. Ekspor Indonesia diuntungkan oleh meningkatnya harga komoditas global, sementara Investasi terdorong oleh proyek infrastruktur pemerintah.

Namun kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal tersebut hanya tumbuh  sebesar 5,06% yoy, yang berarti hanya sedikit lebih baik dari kuartal sebelumnya yang sebesar 5,01% yoy. Penyebab utamanya karena ternyata Konsumsi Rumah Tangga hanya tumbuh di bawah 5% dan ini sudah terjadi sejak kuartal 2 2015. Dengan kontribusi yang besar, menjadi sangat penting menjaga pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga untuk dapat tumbuh di atas 5% agar mempunyai daya dorong yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari itu semua, perbaikan harga komoditi dunia sudah memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia per provinsi. Untuk pertama kalinya sejak tahun 2014 seluruh provinsi di Indonesia mempunyai pertumbuhan ekonomi yang positif. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan daya beli di provinsi-provinsi yang sebelumnya mengalami kontraksi seperti misalnya di Riau dan Kalimantan Timur.

Ini dapat menjadi modal dasar optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih merata di tahun 2018, terlebih lagi ada beberapa event yang dapat mendorong akselerasi konsumsi masyarakat seperti momen Pilkada dan Asian Games. Khusus untuk momen Pilkada, ada yang memperkirakan akan ada sekitar Rp40 triliun dana yang akan mengalir dari Pusat ke Daerah yang tentunya akan dapat menggairahkan perekonomian daerah.

Karena 54% dari pertumbuhan ekonomi didorong oleh Konsumsi, maka diperlukan kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan Konsumsi lebih tinggi, yaitu (1) Kebijakan yang dapat menaikkan daya beli masyarakat melalui tambahan penghasilan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah dan (2) Kebijakan yang dapat mendorong confidence kelas menengah ke atas untuk terus berbelanja. Kedua, jenis kebijakan  ini bukan hanya dapat mendorong Konsumsi Rumah Tangga namun tentunya dapat menggairahkan kembali penjualan ritel.

Namun yang perlu mendapat perhatian adalah potensi kenaikan harga sepanjang tahun 2018. Inflasi tahun 2017 mencapai 3,61% yang terutama didukung oleh rendahnya harga pangan. Tekanan inflasi sempat terjadi pada paruh pertama tahun lalu yang bersumber pada keputusan pemerintah untuk merasionalisasi tarif listrik. Hal ini tidak saja sempat mendorong naik inflasi namun juga menyebabkan turunnya confidence masyarakat untuk melakukan belanja.

Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, naiknya tarif listrik dan harga BBM non subsidi sepanjang semester 1 2017 mengurangi daya beli mereka. Di sisi lain, naiknya inflasi pada periode yang sama membentuk persepsi bahwa kondisi ekonomi menjadi tidak menentu di kemudian hari sehingga mendorong kelas menengah ke atas memilih untuk mengurangi belanja dan menyimpan uangnya. Hal ini ditandai dengan meningkatnya dana pihak ketiga bank, terutama bank BUKU 4. Kedua faktor inilah yang menyebabkan konsumsi masyarakat turun yang pada akhirnya mempengaruhi penjual sektor ritel.

Untuk tahun ini pemerintah sudah mengatakan tidak akan mengeluarkan kebijakan yang dapat mendorong administered prices, seperti tarif listrik dan harga BBM bersubsidi. Namun tekanan inflasi dapat berasal dari harga makanan karena faktor cuaca diperkirakan tidak akan sebaik tahun lalu, sehingga dapat mengganggu keberhasilan panen. Karena itulah upaya menjaga produksi dan distribusi makanan akan sangat penting untuk dapat menjaga harga pangan.

Jadi, sekalipun pesta demokrasi sepanjang tahun 2018-2019 berpotensi mendorong Konsumsi masyarakat, namun tetap dibutuhkan kebijakan pemerintah jangka pendek yang dapat mendorong kemampuan masyarakat untuk tetap berbelanja. Untuk kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah tampaknya sudah ada program pemerintah yang dapat menambah daya beli mereka yaitu Program Padat Karya Tunai, sementara untuk kelompok masyarakat kelas menengah ke atas dibutuhkan kebijakan yang dapat menumbuhkan kembali confidence mereka untuk kembali berbelanja, salah satunya adalah kebijakan perpajakan yang konsisten dan tidak bersifat menakut-nakuti masyarakat.
(dru)

Tags

Related Opinion
Recommendation