Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tahun 2018 masih diliputi keraguan para pelaku ekonomi di Indonesia. Berdasarkan survei Bank Indonesia, Indeks Keyakinan Konsumen di triwulan terakhir tahun 2017 turun kendati sedikit membaik pada bulan Desember kemarin. Keraguan juga melanda produsen.
Peningkatan kegiatan usaha maupun ekspektasinya melambat. Kapasitas produksi terpakai rata-rata menurun. Keraguan para pelaku usaha tersebut agak bertolak belakang dengan berbagai perbaikan prestasi manajemen ekonomi kita di mata dunia. Tercapainya peringkat investment grade, peningkatan indeks kemudahan berbisnis dan lain-lain.
Kebijakan moneter dan fiskal pemerintah pusat (dan bank sentral) telah diupayakan untuk ekspansif. Suku bunga acuan jangka pendek 7 hari (BI RR Rate) di level rendah 4,5%. APBN yg dipertahankan tetap defisit lebih dari 2% dari produk domestik bruto (PDB).
Rangkaian paket kebijakan ekonomi dalam rangka deregulasi dan debirokratisasi tengah diimplementasikan. Pertumbuhan ekonomi nasional triwulan III-2017 memang sedikit membaik dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya, yakni sebesar 5,06% (yoy). Namun, pertumbuhan kumulatif sepanjang 2017 (data terakhir sampai September) masih relatif flat sekitar 5,03% (yoy). Lantas apa yang kurang?
Ada kemungkinan, ekspansivitas kebijakan moneter saat ini belum sanggup mengompensasi dampak pengetatan yang dialami para pelaku ekonomi kita sepanjang 2013-2016. Kita ingat, suku bunga acuan mengalami rally gradual dari 5,75% menjadi 7,50% sepanjang 2013 sebagai respon atas sentimen negatif pasar berupa pelemahan rupiah sebagai akibat data transaksi berjalan kita yang konsisten mengalami defisit pada 2012.
Pengetatan tersebut memicu perang suku bunga simpanan bank, suku bunga kredit, dan akibatnya mempercepat perlambatan ekonomi yang memang tengah melambat sejak 2012 akibat perlambatan global. Dan pesimisme perbankan terhadap prospek pertumbuhan ekonomi agaknya masih berlanjut sehingga pertumbuhan kredit nasional belum mampu menembus 10% (yoy) hingga kini. Pengetatan moneter sejak pertengahan 2013 hingga akhir 2016 itu ibarat bekapan bahkan cekikan yang ketika diloggarkan butuh waktu untuk siuman karena ekonomi kita sudah pingsan.
Dampak Struktural?Kemungkinan lainnya, lambatnya ekspansivitas ekonomi kita merupakan konsekuensi logis dari struktur ekonomi nasional yang timpang. Kalangan atas, yang selama berpuluh tahun menikmati bagian terbesar kue ekonomi nasional, saat ini masih bersikap wait and see serta menahan konsumsi dan investasi. Hal ini bisa sebagai rentetan akibat kebijakan "yang cukup progresif" dari pemerintah melalui pengampunan pajak disertai kewajiban pelaporan aset. Faktor lainnya adalah periode 2018-2019 yang dipersepsikan sebagai tahun pemilu yang dapat membawa pada perubahan rezim dan kebijakan. Pilkada DKI 2017 yang lalu ada kemungkinan dianggap sebagai salah satu indikasi perubahan peta politik nasional.
Sikap wait and see kalangan ekonomi atas tadi berpengaruh pada pendapatan dan investasi dunia bisnis. Hal tersebut berkelindan dengan berbagai faktor lain kemudian menyebabkan melambatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya pengangguran serta turunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli semacam ini juga sempat terindikasi pada tahun sebelumnya ketika terjadi "deflasi tak lazim" di akhir 2016. Untungnya, deflasi yang kemungkinan merupakan efek dari pengetatan moneter selama 3 tahun sebelumnya itu kemudian direspon dengan pelonggaran moneter di awal 2017. Namun, saat ini kebijakan moneter tampaknya sudah tak lagi mampu menstimulus daya beli.
Kritik juga dilayangkan pada belanja pemerintah, termasuk mega-investasi infrastruktur. Investasi tersebut terutama di tahun-tahun awal pembangunannya saat ini dinilai oleh sementara pihak minim manfaat bagi ekonomi nasional. Barang modal, bahan penolong dan bahan baku hingga sumber tenaga kerjanya banyak dimonopoli oleh negeri kreditur. Salah satu ironi disampaikan oleh seorang teman pada salah satu produsen terbesar semen nasional.
Menurutnya, nilai penjualan dan kinerja perusahanya secara umum justru menurun akibat terkikisnya harga dan marjin di tengah kebutuhan semen proyek-proyek pemerintah tersebut yang sudah disuplai oleh BUMN dan perusahaan asal negeri kreditur. Manfaat besar dari infrastruktur tersebut bagi ekonomi nasional pun mungkin masih butuh beberapa tahun lagi untuk dapat dinikmati oleh pelaku usaha nasional.
Oleh karena itu, konsumsi rumah tangga kalangan atas dan investasi dunia usaha (swasta) perlu kembali digerakkan. Beberapa sumber data menunjukkan telah terjadi peningkatan tabungan nasional/domestik (gross national/domestic saving=GNS/GDS). Secara teori, kenaikan GDS disebabkan kenaikan net saving maupun pembelian aset tetap. Dan jika menengok persamaaan ekonomi CAB = S-I, dimana CAB adalah current account balance yang notabene saat ini membaik setelah mengalami defisit, maka yang kembali perlu ditingkatkan adalah investasi (I).
Indonesia saat ini masih jauh dari kondisi overinvestment. Kekhawatiran bahwa mega-proyek infrastruktur pemerintah membawa pada investasi yang berlebihan dan menurunkan profit (return on investment) rasanya agak berlebihan. Kita masih under-investment dan under-consumption. Kita belum mengalami overheating seperti terjadi di Tiongkok.
Namun, perlu diingat bahwa pertumbuhan investasi tersebut perlu diiringi kapasitas produsen nasional untuk memenuhi kebutuhan input (bahan baku, bahan penolong dan barang modal). Tanpa hal tersebut, lonjakan investasi dan pertumbuhan ekonomi akan memicu kembali lonjakan impor dan, pada gilirannya, defisit transaksi berjalan seperti yang terjadi pada 2012.
Kalangan ekonomi atas dan dunia usaha mesti menyadari bahwa konsumsi dan investasi (sektor riil) anda akan memiliki efek pengganda untuk meningkatkan pendapatan maupun produk domestik ataupun nasional secara bruto yang pada gilirannya dapat meningkatkan kembali kesejahteraan individual mereka secara makro.
(hps)