Wakil Dekan Fakultas Ekonomi & Manajemen Institut Pertanian Bogor, juga menjabat di beberapa posisi antara lain Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kab. Bogor, Sekjen Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Bogor Raya, Tim Ahli G-33 WTO, Wakil Ketua Lembaga Amil Zakat I..
Selengkapnya
Foto: Reuters
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Gambaran Sumber Nutrisi Indonesia Meningkatnya pendapatan dan pendidikan masyarakat, seyogyanya berdampak pada pola nutrisi yang lebih baik. Negara maju sangat memberikan perhatian pada hal ini. Kementerian Kesehatan menghimbau masyarakat dalam bentuk panduan yang terus disosialisasikan secara intensif.
Sebagai contoh, Ministry of Health New Zealand dalam Eating Statement-nya menjelaskan berbagai contoh sumber karbohidrat yang layak dikonsumsi; minyak goreng apa yang lebih aman untuk kesehatan sampai batasan mengkonsumsi alkohol.
Adapun di Indonesia sudah ada sejak lama Pedoman Gizi Seimbang (menggantikan 4 sehat 5 sempurna), namun dukungan untuk menyebarluaskannya secara lebih masif belum optimal.
Kondisi yang ada saat ini secara keseluruhan menunjukkan belum adanya perubahan yang berarti dari pola nutrisi masyarakat, dibandingkan kondisi dua dekade silam.
Konsumsi beras sebagai sumber utama karbohidrat masih jauh melampaui standar yang ditetapakan FAO (60-70 kg/kapita/tahun). Secara rerata orang Indonesia masih mengkonsumsi di atas 100 kg/kapita/tahun, atau masih makan nasi minimal dua kali sehari.
Ini dilakukan oleh golongan pendapatan, rendah, menengah dan masih banyak yang dari pendapatan tinggi. Konsumsi panganan yang berasa manis, asin dan berlemak juga tinggi sehingga mengakibatkan konsumsi gula, garam dan lemak melampaui batasan yang dianjurkan badan kesehatan dunia.
Sebaliknya, pola yang dianjurkan seperti mengkonsumsi sumber karbohidrat atau makanan pokok secara beragam masih belum banyak dilakukan. Memang sudah terjadi pergeseran konsumsi ke produk olahan gandum, seperti mie instan dan beragam produk bakery. Bila diproses dan dihasilkan dari bahan-bahan yang sehat tentu ini dapat dibenarkan. Namun sampai saat ini 100% kebutuhan komoditas ini masih didatangkan dari luar negeri. Potensi untuk mensubstitusinya dengan tubers atau shorgum masih terus dikembangkan.
Anjuran untuk lebih banyak mengkonsumsi buah, sayur dan protein dapat dikatakan belum begitu berhasil. Sampai saat ini konsumsi buah masih kurang dari separo standar FAO.
Setiap orang di Indonesia diperkirakan mengkonsumsi buah sekitar 32 kg/tahun. Sedangkan untuk sayur, tingkat konsumsi lebih tinggi mencapai 40 kg/kapita/tahun. Namun ini juga masih jauh di bawah standar minimum FAO, di atas 70 kg/kapita/tahun. Sebagai perbandingan, di Malaysia konsumsi per kapita buah sudah mencapai lebih dari 80 kg/kapita/tahun dan di Amerika Serikat sudah melewati 150 kg/kapita/tahun.
Salah satu strategi sosialisasi adalah dengan membuat berbagai iklan dengan segmen anak-anak untuk program 5 a Day, yaitu mengkonsumsi sayur dan buah minimal 5 porsi sehari. Hal yang juga dilakukan di Inggris untuk menanamkan pentingnya sumber nutrisi ini sedari dini. Untuk protein, dengan banyak masyarakat kita yang mengkonsumsi tahu, tempe dan ikan, jumlah konsumsi sudah lumayan tinggi, meskipun juga berada di bawah standar minimum FAO.
Karakteristik Ringkas Ekonomi Pangan Teori ekonomi dasar mengajarkan bahwa tingkat kebutuhan terhadap suatu barang akan menentukan perilaku konsumen dalam merespon perubahan di pasar. Untuk produk pangan pokok seperti beras, tingkat kebutuhan yang tinggi (bahkan dapat dikatakan addict), menyebabkan kurva permintaannya inelastis. Dari beberapa studi diketahui nilai elastisitas harga sendiri beras sebesar negatif 0.2 sampai dengan 0.3 yang artinya berapa pun harga beras naik atau turun, konsumen tidak akan mengubah konsumsi terlalu besar.
Dengan kondisi permintaan beras yang sangat inelastis, Pemerintah memberikan perhatian besar pada ketersediaan produk ini di pasar. Penurunan stok sedikit akan berimbas pada perubahan harga yang siginifikan berujung pada inflasi.
Bahkan untuk mencari aman, upaya swasembada produksi beras dari dalam negeri terus dicanangkan. Berapapun anggaran dikucurkan untuk mendukung pencapaian target ini.
Sudah banyak ekonom yang tidak menyarankan program yang all out ini terus dipertahankan. Kritik juga datang dari para pakar teknologi pertanian dan penggiat lingkungan hidup, karena melihat berbagai upaya khusus yang dilakukan sudah melewati batas daya dukung lingkungan.
Namun niat dan target untuk mencapai swasembada pangan terus didengungkan, bahkan menjadi pemasok pangan dunia. Hal ini berangkat dari keyakinan dengan sumberdaya yang masih tersedia dan potensi teknologi yang belum dimanfaatkan secara maksimal, maka hal tersebut rasional untuk dicapai.
Tentu saja ini tidak akan mudah, di tengah kondisi persaingan dalam pemanafaatan lahan pertanian dengan sektor lain dan “pemiskinan” yang terus terjadi pada petani padi karena pembatasan harga di pasar. Generasi muda bila ditanya tidak banyak yang mau terjun ke usaha pertanian padi ini.
Dengan harga yang lebih tinggi dari negara produsen lain, tingkat konsumsi beras Indonesia tetap tertinggi di antara semua negara yang menjadikan beras sebagai makanan utama. Tingginya harga beras karena memang biaya produksi gabahnya juga tertinggi di antara negara-negara lain, dengan rantai pasok yang juga masih belum sepenuhnya efisien.
Dalam posisi seperti ini, kebijakan yang bersifat top down untuk menstabilkan pasokan dan harga tentu tidak mudah. Pemerintah perlu secara serius memperbaiki sisi produksi yaitu meningkatkan produktivitas padi atau menjamin tidak ada pasokan dari petani yang tidak diserap pasar, di samping juga para pelaku pasar tidak boleh menjadi pengambil rente seenaknya. Namun, lepas dari itu, masyarakat juga perlu berkontribusi dalam kadar sesuai kemampuan masing-masing.
Kontribusi the Have untuk Masalah Perberasan Semakin maju dan berkembang suatu negara, maka sebagian besar permintaan pangannya cenderung semakin elastif. Hal ini menyebabkan di sisi konsumsi, posisi produk pangan dinilai semakin setara dengan produk industri seperti sepatu dan baju: semakin mewah dan beragam (tidak hanya dominan generik seperti di kita).
Di sisi produksi, dorongan untuk menghasilkan produk yang semakin berkualitas dengan berbagai standar precised farming semakin besar karena adanya insentif dari wllingness to pay konsumen. Golongan konsumen yang seperti ini sebetulnya sudah ada di kita: tinggal di kota besar atau hinterland; eksekutif muda atau kaum ibu yang semakin menuntut produk pangan yang lebih terjamin keamanannya. Mereka dapat disebut the have, yang berjumlah 15-20% dari total penduduk.
Terdapat beberapa kemungkinan golongan the have dalam berkontribusi pada pengurangan beban penyediaan di dalam negeri.
Pertama, kelompok the have adalah pihak yang sudah mulai sadar pentingnya hal seperti “whole grain". Beras dengan kadar indeks glikemiks yang lebih rendah atau beras-beras khusus lainnya menjadi bila lebih banyak dikonsumsi akan mengurangi beban pasar untuk menyediakan beras kelas medium, yang pasokannya jauh berkurang sejak dua harga eceran tertinggi (HET) beras ditetapkan. Penggilingan sedang dan besar serta pedagang, banyak yang bergeser ke penyediaan beras premium.
Kedua, dengan kesadaran perlunya nutrisi yang lebih baik, maka konsumen ini akan mengurangi ketergantungan pada beras sebagai sumber karbohidrat. Pada saat pagi dan malam, keluarga the have mengkonsumsi beragam jenis kuliner yang semakin mudah terjangkau, baik disediakan sendiri atau diperoleh dari penyedia jasa layanan online misalnya.
Ketiga, naiknya konsumsi produk seperti buah, sayur, ikan dan daging tentu akan mengurangi konsumsi pangan pokok seperti beras. Tidak semua golongan the have sudah mencapai tingkat konsumsi per kapita negara-negara maju. Hal ini lebih disebabkan oleh budaya atau perilaku, bukan karena keterbatasan akses.
Baik perkembangan Iptek maupun agama mengajarkan untuk mengkonsumsi beragam jenis pangan. Ketergantungan pada beras sebagai sumber karbohidrat memang susah untuk dikurangi pada golongan masayarakat yang berpendapatan menengah ke bawah. Karena menang ada juga insentif atau regulasi untuk menyediakan beras dengan harga murah.
Namun masih ada kontribusi yang dapat diberikan oleh golongan the have, yang dalam teori pemasaran adalah trendsetter yang akan diikuti oleh golongan konsumen lainnya. Tentunya upaya ini akan lebih berhasil bila didukung oleh ajakan dari berbagai pihak, minimal Ibu Negara sebagai mimpi saya untuk mendorong anak-anak dan kaum remaja Indonesia lebih banyak makan buah, sayur dan ikan.