Tambal APBN, Begini Jurus Purbaya Tarik Utang 2026
Jakarta, CNBC Indonesia - Naiknya target defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang telah pemerintah tetapkan dalam UU APBN 2026 dari desain awal dalam RAPBN 2026 telah membuat kebutuhan pembiayaan anggaran ikut naik, dari semula Rp 638,81 triliun menjadi Rp 689,15 triliun.
Meskipun kenaikan target defisit dan kebutuhan pembiayaan anggaran itu telah ditetapkan pemerintah dan DPR saat Rapat Paripurna DPR ke-5 pada 23 September 2025, detail perubahan komposisi pembiayaan anggarannya belum dipublikasikan ke publik, seiring dengan molornya penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran alias DIPA yang tiap tahunnya dilakukan pada Desember 2025.
Detail itu menjadi penting mengingat ada komponen pembiayaan utang dan pembiayaan non utang di dalam postur pembiayaan anggaran. Pembiayaan non utang seperti pembiayaan investasi dan pemberian pinjaman menjadi faktor pengurang total pembiayaan utang dan pembiayaan lainnya.
"Kan ini upacaranya aja, nanti kita tunggu kapan Istana punya waktu. Bukan berarti pelaksanaannya APBN 2026 terhambat," kata Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di Kompleks Istana Kepresidenan beberapa waktu lalu, sebagaimana dikutip kembali pada Rabu (31/12/2025).
Terlepas dari itu, bila merujuk pada dokumen Nota Keuangan RAPBN 2026, sebelum disahkannya UU APBN 2026 oleh pemerintah dan DPR pada September 2025, target pembiayaan anggaran untuk menutup defisit APBN senilai Rp 638,8 triliun. Terdiri dari nominal target penarikan utang sebesar Rp 781,9 triliun dan pembiayaan lainnya Rp 60,4 triliun, dikurangi dengan target pembiayaan investasi Rp 203,1 triliun, dan pemberian pinjaman Rp 400 miliar.
Nominal pembiayaan anggaran melalui penarikan utang baru sebesar Rp 781,9 triliun dalam rancangan APBN 2026 itu terdiri dari target hasil penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 749,2 triliun, dan pinjaman neto Rp 32,7 triliun.
Tentu penarikan utang baru pada 2026 itu akan menambah terus akumulasi posisi utang pemerintah pusat yang hingga akhir kuartal III-2025 telah tercatat sebesar Rp 9.408,64 triliun atau naik sekitar 2,95% dibanding posisi pada akhir kuartal II-2025 yang nilainya sebesar Rp 9.138,05 triliun. Rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), per akhir kuartal III-2025 telah mencapai 40,30%, meningkat dibanding kuartal II-2025 yang sebesar 39,86%.
Meski secara nominal utang pemerintah terus membengkak, Purbaya memastikan, pemerintah akan terus mengelolanya secara hati-hati dan dilakukan sesuai dengan standar-standar yang telah disepakati secara internasional, salah satunya merujuk pada Maastricht Treaty. Selain itu juga merujuk pada batas aman yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara.
Purbaya menekankan, dalam standar aman utang itu, defisit APBN selalu ditetapkan di bawah 3%, dan rasio utang terhadap PDB juga konsisten dijaga pemerintah di bawah batas aman 60% dari PDB.
"Lihat negara-negara Eropa, semua mendekati 100% sekarang. Amerika sudah di atas 100% Debt to GDP ratio-nya. Jepang 275%. Singapura sudah 100% ya, gede banget. Jadi dari ukuran itu harusnya saya aman. Jadi enggak usah terlalu panik," tegas Purbaya.
Oleh sebab itu, ia menekankan tidak ada satupun negara di dunia ini yang terlepas dari utang, termasuk Indonesia. Utang kata dia hingga saat ini masih dibutuhkan negara-negara yang ingin terus mempercepat proses pembangunan ekonominya supaya semakin maju.
"Kalau saya berhenti dengan utang, terus ekonomi turun terus, enggak bisa ngebangun, ya berantakan, dan ekonomi yang morat marit kayak 1998, murah mana dibanding saya terbitin utang yang terukur dan menciptakan pertumbuhan ekonomi sambil menghidupkan sektor swasta," paparnya.
Bakal Banyak Terbitkan Utang Tenor Pendek
Dalam strategi pengelolaan utang pada 2026, Kementerian Keuangan juga telah mengungkapkan skema baru penerbitan surat utang. Salah satunya dengan semakin banyak menerbitkan surat utang tenor pendek yang disebut dengan Surat Perbendaharaan Negara alias SPN.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto mengungkapkan hal ini. Bahkan, menurutnya, makin banyaknya penerbitan surat utang tenor pendek atau di bawah 1 tahun sudah dilakukan sejak akhir tahun ini.
"Sejak kuartal IV-2025 kami meningkatkan penerbitan SPN," kata Suminto di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Suminto menjelaskan, penerbitan SPN yang makin gencar itu dilakukan dalam rangka pengembangan pasar uang, pendalaman pasar obligasi, dan membangun manajemen kas yang lebih efisien. "Sehingga ke depan, dalam hal ini tahun 2026 kami akan meningkatkan penerbitan SPN-SPNS dengan tenor di bawah 1 tahun," ujar Suminto.
Sejak akhir tahun ini, Kementerian Keuangan bahkan telah melengkapi tenor SPN yang diterbitkan, mulai dari 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, dan 12 bulan. "Cukup lengkap, sehingga dari sisi pemerintah memiliki fleksibilitas lebih baik untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan dan manajemen kas yang efisien, dengan saldo kas yang juga lebih efisien," paparnya.
"Pada saat yang bersamaan market memiliki instrumen yang lebih lengkap yang dibutuhkan oleh investors, khususnya SPN-SPNS juga untuk strategi operations dari investors kita," tegas Suminto.
Direktur Jenderal Stabilitas Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menambahkan, tujuan utama memperbanyak penerbitan surat utang negara tenor 1-12 bulan itu semata untuk pendalaman pasar obligasi.
"Itu adalah bagian dari arahannya Pak Menteri Keuangan untuk kita melakukan pendalaman pasar," kata Febrio di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Menurutnya, saat ini permintaan investor atau pelaku pasar obligasi juga sangat tinggi terhadap SPN. Maka, pemerintah merespons dengan menggencarkan penerbitannya pada 2026, meski belum ada detail proporsinya dalam keseluruhan struktur SUN.
"Itu kan sebenarnya sangat dibutuhkan oleh pasar untuk menjadi referensi sebagai risk free dibandingkan dengan instrumen jangka pendek yang bukan sovereign. Jadi SPN itu sangat dibutuhkan oleh pasar," ucap Febrio.
Febrio memastikan, penerbitan SPN yang makin banyak ke depannya tidak akan mengganggu kesinambungan fiskal atau APBN, sebab hanya sebagai bagian dari upaya pemerintah mengelola kas negara lebih efisien. "Sehingga kita juga melihat bahwa pasar kita sudah cukup reliable. Sehingga kita cukup pede untuk rely on market ketika kita butuh jangka pendek," papar Febrio.
Detail Strategi Pengelolaan Utang
Dalam dokumen Strategi Pengelolaan Portofolio Utang Jangka Menengah 2025-2029, Kementerian Keuangan sebetulnya juga telah mendesain arah pengelolaan utang sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 441 Tahun 2025.
Untuk komposisi pengadaan utang baru, dalam periode itu dipastikan akan didominasi oleh mata uang atau denominasi rupiah, dengan porsi minimal 70%. Tingkat bunga tetap pun target minimumnya 80% dengan periode menengah panjang atau di atas 3 tahun sebesar 65%.
Komposisi diperkenankan berbeda dari target pengadaan utang baru, pada keadaan khusus, seperti:
1. Deviasi APBN yang menyebabkan perubahan signifikan pada kebutuhan dan sumber pembiayaan utang;
2. perubahan signifikan pasar keuangan yang menyebabkan gejolak di pasar SBN
3. kebutuhan pembayaran klaim kewajiban penjaminan dengan nilai yang signifikan dan tidak dapat dipenuhi dari dana cadangan penjaminan;
4. percepatan penarikan pinjaman dalam rangka mendukung pembiayaan pembangunan nasional; dan/atau
5. keadaan-keadaan darurat yang berpotensi mengakibatkan rencana pembiayaan terganggu.
Untuk indikator risiko portofolio utang yang ditargetkan, terdiri dari utang valas terhadap total outstanding yang maksimumnya ditetapkan sebesar 30%, utang tingkat bunga variabel terhadap total outstanding maksimum 20%, utang jatuh tempo di bawah 1 tahun terhadap total outstanding maksimum 12,5%, dan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) minimum 7 tahun.
(arj/haa)