
Deretan Risiko APBN Prabowo di 2026 Terungkap, Patut Waspada!

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah permasalahan dunia berpotensi memberikan risiko fiskal pemerintah Indonesia. Bila tak diantisipasi secara cermat APBN Tahun Anggaran 2026 berpotensi mengalami tekanan.
Guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty deretan risiko fiskal yang harus diantisipasi pemerintah. Risiko fiskal itu dipengaruhi besarnya ketidakpastian ekonomi global.
Salah satu risiko yang masih berpotensi menonjol kata Telisa ialah kebijakan pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Trump, menurut Telisa juga masih menjadi faktor risiko yang dicermati oleh para investor, seperti kebijakan perang tarif yang digulirkannya selama ini.
"Karena kan Trump selalu ada manuver-manuver yang terbaru, yang itu akhirnya akan mempengaruhi perdagangan kita di tingkat global, mempengaruhi investasi, mempengaruhi bagaimana risk taking, ataupun risiko-risiko yang berani diambil oleh para investor," tutur Telisa dalam Special Reports Merdeka CNBC Indonesia, dikutip Rabu (20/8/2025).
Risiko kedua yang bisa mempengaruhi secara langsung APBN 2026 kata Telisa ialah tren suku bunga kebijakan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Sebab, hingga saat ini, bank sentral di bawah kepemimpinan Jerome Powell itu masih mempertahankan suku bunga acuan Fed Fund Rate di level tinggi, tanpa adanya kepastian potensi penurunan.
"Kalau misalkan ternyata The Fed akhirnya belum mau menurunkan suku bunga, itu kan berarti beban bunga kepada utang kita juga akan masih tinggi, nah itu juga masih menjadi risiko yang muncul dari komposisi utang kita dan pembayaran bunga utang kita, karena tergantung dari suku bunga juga, jadi memang itu perlu diwaspadai," ucapnya.
Risiko tinggi terakhir yang perlu diantisipasi pemerintah karena berdampak langsung pada APBN 2026 ialah terus memanasnya konflik geopolitik di berbagai belahan dunia. Konflik bersenjata yang terjadi selama ini terbukti mampu mengerek naik secara pesat harga minyak mentah dunia, mengganggu rantai pasok perdagangan global, hingga membuat harga komoditas bergejolak.
"Ini semua termasuk risiko fiskal tentunya yang dihadapi oleh APBN, terutama dari sensitivitas terhadap kurs dan terhadap harga minyak, biasanya dua ya, sensitivitas utama kepada kurs dan kepada harga minyak, dan ketiga kepada suku bunga, karena kalau suku bunga itu relate juga dengan komposisi utang kita," tegas Telisa.
Pemerintah sebetulnya telah mengungkapkan sejumlah risiko fiskal yang dicermati dalam menyusun asumsi makro APBN 2026. Risiko fiskal ini tertuang dalam dokumen Nota Keuangan beserta RAPBN Tahun Anggaran 2026.
Risiko ekonomi yang dicermati dalam RAPBN 2026 di antaranya ketidakpastian ekonomi global akibat semakin kuatnya fragmentasi geoekonomi, ketegangan politik antarnegara, serta meningkatnya kecenderungan proteksionisme.
Polarisasi ekonomi dunia, terutama yang disebabkan oleh konflik dagang dan persaingan teknologi antara Amerika Serikat dan Tiongkok, disebut berpotensi menghambat arus perdagangan internasional serta mengurangi aliran investasi global.
Salah satu risiko utama yang dihadapi adalah potensi eskalasi perang dagang. Kebijakan protektif seperti kenaikan tarif impor oleh Amerika Serikat terhadap produk dari Kanada, Meksiko, dan Tiongkok, termasuk produk baja dan aluminium, serta tindakan balasan dari negara-negara mitra dagang Amerika Serikat, dapat memicu gangguan dalam rantai pasok global.
Situasi ini pemerintah akui berisiko mendorong kenaikan inflasi dan memberikan tekanan tambahan pada kinerja perdagangan internasional. Selain itu juga terus menekan laju pertumbuhan ekonomi global.
Dalam dokumen RAPBN 2026, asumsi makro sebagai acuan pelaksanaan APBN 2026 juga diakui bisa terdeviasi akibat berbagai risiko itu. Asumsi makro RAPBN 2026 diantaranya ialah pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 2,5%, kurs Rp 16.500/US$, suku bunga SBN 10 tahun 6,9% rata-rata, harga minyak mentah Indonesia US$ 70, lifting minyak 610 ribu barel per hari, dan lifting gas 984 ribu barel setara minyak per hari.
"Meskipun dampak deviasi antara asumsi makro dan realisasi dinilai relatif kecil, Pemerintah tetap melakukan mitigasi dengan mengalokasikan dana cadangan risiko perubahan asumsi dasar ekonomi makro. Dana ini berfungsi sebagai bantalan fiskal (fiscal cushion) yang dapat digunakan untuk meredam dampak fiskal dan mencegah pelebaran defisit APBN secara signifikan," tulis pemerintah dalam dokumen RAPBN 2026.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article APBN RI Bisa Tekor Banyak Jika Minyak Naik di Atas US$82 per Barel
