Pengusaha Hotel, Mal, Tekstil Beri Ramalan Ekonomi RI di 2026
Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia usaha menilai 2026 belum akan menjadi tahun lonjakan pertumbuhan. Meski kondisi ekonomi diperkirakan membaik tipis dari 2025, pelaku usaha masih menghadapi tantangan daya beli, ketidakpastian kebijakan, serta risiko pelemahan kinerja setelah kuartal pertama.
Gambaran ini tercermin dari rangkuman proyeksi sejumlah asosiasi pengusaha lintas sektor, mulai dari perhotelan, ritel, hingga industri hulu, yang menilai momentum awal tahun krusial untuk menjaga kinerja sepanjang 2026.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran menyebut outlook industri hotel pada 2026 belum sepenuhnya menggembirakan. Kekhawatiran utama berasal dari keberlanjutan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, termasuk rencana pemotongan transfer dana dari pusat ke daerah.
"Nah untuk kita lihat nanti outlook di 2026, pertama memang yang akan mengkhawatirkan kita itu adalah bahwa program efisiensi ini akan berlanjut, ditambah dengan rencana pemerintah memotong anggaran transfer ke daerah," kata Maulana kepada CNBC Indonesia, Jumat (26/12/2025).
Ia menekankan, banyak daerah masih sangat bergantung pada dana transfer pusat, dengan sekitar 92% ketergantungan terhadap anggaran tersebut untuk menopang aktivitas yang berdampak pada hotel dan restoran. Karena itu, PHRI mendorong percepatan belanja pemerintah di awal tahun depan.
"Salah satu yang kita dorong itu adalah bagaimana pemerintah mendorong belanja pemerintah itu terjadi di kuartal I-2026," ujarnya.
Maulana menjelaskan, kuartal pertama biasanya merupakan periode yang relatif lambat bagi industri pariwisata dan perhotelan. Dengan percepatan belanja pemerintah, tekanan akibat penurunan kinerja sepanjang 2025 diharapkan bisa teredam. Selain itu, momentum Imlek dan Ramadan di kuartal I-2026 dinilai berpotensi membantu okupansi, meski tidak merata secara nasional.
"Imlek itu tidak serta-merta peningkatan okupansi terjadi di sana, tapi beberapa daerah yang memang menjadi target destinasi itu pasti terjadi peningkatan," tutur dia.
Meski demikian, PHRI belum menetapkan proyeksi okupansi untuk 2026 lantaran masih tingginya ketidakpastian kebijakan.
"Kita belum tahu, belum ada itu, karena kebijakan pemerintah itu selalu masih kita lihat masih banyak perubahan-perubahan," ujar Maulana.
Dari sektor ritel, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, memperkirakan rata-rata tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan pada 2026 akan meningkat sekitar 10% dibandingkan 2025, dengan tingkat okupansi berada di kisaran 85% hingga 90%.
Ia menilai, kinerja industri ritel akan dibuka relatif baik pada triwulan I-2026 seiring hadirnya berbagai momentum positif, seperti tahun baru, Imlek, Ramadan, Idul Fitri, kenaikan upah minimum, tunjangan hari raya, hingga bonus yang menopang konsumsi.
Namun demikian, Alphonzus mengingatkan adanya risiko perlambatan di pertengahan tahun.
"Yang harus diwaspadai dan diantisipasi adalah triwulan kedua dan ketiga yang akan menjadi 'low season' cukup panjang sehubungan beberapa faktor penting dimaksud di atas semuanya akan terjadi secara bersamaan di triwulan pertama tahun 2026," ujar Alphonzus dihubungi terpisah.
Karena itu, ia menekankan perlunya langkah antisipatif dari seluruh pemangku kepentingan.
"Seluruh pemangku kepentingan industri bisnis ritel bersama dengan pemerintah harus mempersiapkan berbagai strategi ataupun stimulus untuk menopang kinerja penjualan ritel agar tidak terdampak secara dalam sepanjang 'low season' yang relatif cukup panjang," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menilai kondisi ekonomi 2026 cenderung membaik tipis dibandingkan 2025, namun pemulihannya tidak merata antar wilayah dan kelompok pendapatan.
"Ekonomi Indonesia 2026 cenderung membaik tipis dibanding 2025, tapi tidak merata antar kelas pendapatan dan wilayah," ujar Anggawira.
Ia menyebut pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di kisaran 5,3-5,4% dengan inflasi yang tetap terkendali. Namun, motor konsumsi masih sangat bergantung pada belanja pemerintah dan program sosial. Di sisi lain, daya beli kelas menengah dinilai masih rentan sehingga konsumsi berpotensi tumbuh moderat, bukan melonjak tajam.
"Daya beli kelas menengah masih rentan karena kualitas penciptaan kerja dan tekanan biaya hidup tertentu. Jadi pertumbuhan konsumsi berpotensi moderat, bukan booming," katanya.
Tekanan ketidakpastian juga dirasakan dari sektor industri hulu. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil menilai 2026 akan menjadi tahun krusial bagi industri tekstil, terutama terkait persaingan dengan produk impor.
"Sulit untuk kami menaikkan harga, apalagi terkait volume penjualan. Selama impor dumping masih terjadi, sulit untuk kami berkompetisi," kata Farhan.
Ia menegaskan, tanpa perbaikan kebijakan pemerintah, tekanan terhadap industri hulu tekstil berpotensi berlanjut.
"Tahun depan akan menjadi tahun krusial bagi industri hulu tekstil. Jika tidak ada perbaikan dari sisi kebijakan pemerintah, bisa dipastikan akan tetap terjadi tutup hingga bangkrutnya perusahaan tekstil lainnya," ujarnya.
Farhan juga menyoroti ketidakpastian pasar akibat minimnya transparansi kebijakan impor, khususnya terkait kuota.
"Kita sudah kasih masukan ke Pemerintah terkait transparansi pemberian kuota impor. Ini untuk bisa kami lakukan perencanaan produksi di tahun depan. Kalau ini tidak bisa dibuka, ya kami tidak bisa dapat kepastian di tahun depan seperti apa," kata dia.
Secara keseluruhan, rangkuman proyeksi dari berbagai asosiasi pengusaha menunjukkan tahun 2026 menyimpan peluang pemulihan, yang ditopang momentum awal tahun dan belanja pemerintah. Namun, daya beli yang masih tertahan, permintaan yang berpotensi tersendat, serta ketidakpastian kebijakan fiskal dan perdagangan tetap menjadi tantangan utama yang akan menentukan arah kinerja dunia usaha sepanjang tahun depan.
(hoi/hoi)