MARKET DATA
Internasional

Negara Arab Ini Mau Pidanakan Raksasa NATO, Singgung Dosa 132 Tahun

Tommy Patrio Sorongan,  CNBC Indonesia
23 December 2025 06:10
Bendera Aljazair berkibar. (AP Photo/Fateh Guidoum/File Foto)
Foto: Bendera Aljazair berkibar. (AP/Fateh Guidoum/File Foto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Parlemen Aljazair resmi membuka debat mengenai rancangan undang-undang (RUU) yang akan mengkriminalisasi masa penjajahan Prancis selama lebih dari 130 tahun di negara Afrika Utara tersebut. Langkah ini menandai babak baru ketegangan diplomatik yang kian meruncing antara Algiers dan Paris.


Ketua Majelis Rakyat Nasional (parlemen majelis rendah Aljazair), Ibrahim Boughali, mempresentasikan draf tersebut dalam sidang pleno, Sabtu waktu setempat. Pemungutan suara untuk mengesahkan aturan ini dijadwalkan bakal digelar pada 24 Desember mendatang.


"Masalah kriminalisasi kolonialisme adalah perjuangan bagi seluruh bangsa. Proposal ini merupakan tonggak penentu bagi Aljazair modern," tegas Boughali di hadapan para anggota parlemen.


Berdasarkan laporan media lokal, RUU ini dirancang untuk mengklasifikasikan tindakan yang dilakukan selama 132 tahun pendudukan Prancis (1830-1962) sebagai kejahatan kemanusiaan.


Poin-poin pelanggaran yang masuk dalam radar hukum ini meliputi pembunuhan massal dan penyiksaan, deportasi paksa, diskriminasi sistematis, dan uji coba nuklir yang dilakukan Prancis di wilayah Aljazair.


Menteri Urusan Veteran Perang Kemerdekaan, Abdelmalek Tachrift, menyatakan bahwa langkah ini adalah bentuk ketegasan Aljazair dalam menjaga sejarah nasional.


"Langkah kualitatif ini mengonfirmasi bahwa Aljazair yang menang tidak akan pernah menerima perusakan atau pelepasan fakta-fakta sejarahnya," ujarnya.


Langkah Aljazair ini muncul di tengah menguatnya gerakan menuntut ganti rugi (reparasi) di seluruh Afrika. Uni Afrika saat ini gencar mendesak agar praktik perbudakan, kolonialisme, dan segregasi rasial diakui secara internasional sebagai tindakan kriminal.


Sebagai informasi, Aljazair meraih kemerdekaannya pada tahun 1962 setelah melalui perang pembebasan yang sangat berdarah selama bertahun-tahun. Meski Presiden Prancis Emmanuel Macron sempat mengakui tanggung jawab negara atas kasus-kasus spesifik, seperti penyiksaan aktivis Maurice Audin, Paris hingga kini masih enggan menyampaikan permohonan maaf resmi secara menyeluruh atas sejarah pelanggaran di masa kolonial.


Hubungan kedua negara terus memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Selain isu memori sejarah, perselisihan terkait status Sahara Barat juga menjadi kerikil tajam dalam hubungan bilateral Algiers dan Paris.

(tps/tps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo Buka Suara soal Sengketa Ambalat, Salahkan Inggris dan Belanda


Most Popular
Features