Pengusaha Teriak, Cemas Aturan UMP Terbaru Jadi Senjata Politik
Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pengusaha menyoroti kebijakan penetapan upah minimum tahun 2026 yang masih mengacu pada penggunaan nilai alfa sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2025. Penyerahan penentuan nilai alfa kepada kepala daerah dinilai berpotensi membuka ruang politisasi kebijakan pengupahan di daerah.
"Penggunaan alfa sebagai amanat PP 46 tahun 2025 dengan rentang nilai alfa (α) sebesar 0,5 hingga 0,9 itu didelegasikan kepada Gubernur dan masukan Bupati dan Walikota. Hal delegatif ini akan mengakibatkan terjadinya lagi potensi politisasi upah menjadi bagian politik praktis demi kekuasaan, bukan benar benar dilandasi kepentingan pertumbuhan iklim investasi dan ekonomi," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana dalam keterangannya, Jumat (19/12/2025).
"Artinya, pemerintah pusat masih gamang menetapkan kebijakan nasional yang kokoh dalam politik pembangunan ekonomi negara,"Â tambahnya.
Kekhawatiran tersebut dinilai perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pekerja. Pengusaha menilai kebijakan pengupahan seharusnya ditempatkan dalam kepentingan nasional yang lebih luas, bukan sekadar keputusan jangka pendek di tingkat daerah.
"Kepentingan nasional adalah menciptakan iklim investasi, serapan tenaga kerja dan diiringi pertumbuhan ekonomi yang mampu menyejahterakan semua kalangan masyarakat, baik pekerja maupun pengusaha. Dalam forum tripartit nasional, dunia usaha sudah mengusulkan agar nilai alpha (α) berada pada kisaran 0,1 hingga 0,5, hal ini sudah memperhatikan kepentingan pekerja," sebut Danang.
Kenaikan upah minimum tidak hanya berdampak pada pekerja baru atau tahun pertama. Kenaikan tersebut akan berlanjut pada penyesuaian upah pekerja lain melalui mekanisme struktur dan skala upah, serta diikuti oleh peningkatan berbagai kewajiban perusahaan.
"Lagipula, kenaikan upah meskipun diarahkan kepada pekerja tahun pertama, pasti akan dibarengi dengan kenaikan upah sundulan berdasarkan skala SUSU (Struktur dan Skala Upah), dan kenaikan upah pasti dibarengi dengan kenaikan tunjangan wajib misalnya BPJS yang saat ini masih berdasarkan prosentase penghasilan. Jadi, tambahnya beban perusahaan tidak hanya dari kenaikan upah, tetapi kenaikan-kenaikan lain yang diakibatkannya," ujar Danang.
Pengalaman tahun sebelumnya juga dijadikan rujukan oleh pelaku usaha. Kenaikan upah yang cukup tinggi disebut telah memberikan tekanan berat pada industri padat karya, khususnya sektor tekstil dan garmen.
"Tahun lalu pemerintah Presiden Prabowo sudah menerbitkan kebijakan penaikan upah pekerja sebesar 6,5%, itu sudah mengakibatkan keruntuhan beberapa industri tekstil dan garmen skala nasional. Apalagi ditambah kenaikan nanti pada tahun 2026, berapa lagi korban industri tekstil dan garmen yang akan berjatuhan? Korban pertama adalah para pekerja, alih alih mendapatkan kenaikan pendapatan, justru malah kehilangan mata pencaharian," ujar Danang.
Di sisi lain, tekanan terhadap industri dalam negeri juga diperkirakan akan semakin besar akibat membanjirnya produk impor. Pengusaha menilai kenaikan biaya produksi yang dipicu oleh kebijakan upah akan membuat industri padat karya domestik semakin sulit bersaing.
"Produk-produk tekstil dan garmen dari impor akan semakin meraja lela di pasar domestik, hal ini akan menghantam produk industri padat karya dalam negeri karena akan terjadi predatory pricing yang tidak akan mampu dikontrol pemerintah. Produsen tekstil dan garmen akan secara alami terdorong untuk mengurangi kerugian dari dampak kenaikan biaya produksi dan banjir importasi barang jadi," sebutnya.
[Gambas:Video CNBC]