Internasional

Tentara Bayaran Rusia Minggir, Muncul China di Perang Thailand-Kamboja

luc, CNBC Indonesia
Rabu, 17/12/2025 21:40 WIB
Foto: Militer Thailand mengonfirmasi telah melakukan operasi tembakan tank untuk menghancurkan sebuah kompleks di sisi perbatasan Kamboja pada Selasa. (Tangkapan Layar Video Reuters/Royal Thai Army Region 1)
Dafar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas setelah militer Bangkok menyita sejumlah persenjataan canggih, termasuk rudal antitank berpemandu generasi terbaru buatan China, di tengah baku tembak yang kembali pecah di kawasan perbatasan kedua negara.

Temuan tersebut kini menjadi perhatian serius Bangkok karena memunculkan pertanyaan tentang jalur pasokan senjata dan keterlibatan teknologi militer asing dalam konflik regional Asia Tenggara.


Angkatan Darat Kerajaan Thailand mengonfirmasi bahwa rudal-rudal antitank yang berhasil direbut dari wilayah perbatasan kini berada sepenuhnya dalam penguasaan militer Thailand dan tidak akan diserahkan kepada pihak manapun. Pernyataan itu disampaikan melalui laporan Thai Public Broadcasting Service (PBS), di tengah penyelidikan lanjutan terhadap asal-usul dan penggunaan senjata tersebut.

Rudal yang dimaksud diidentifikasi sebagai GAM-102LR, sistem senjata antitank berpemandu presisi generasi kelima yang dikembangkan oleh China. Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh perusahaan pertahanan Poly Technologies pada 2018. Rudal GAM-102 dapat dipasang pada tripod maupun kendaraan tempur dan memiliki kemiripan desain dengan rudal antitank FGM-148 Javelin milik Amerika Serikat.

Teknologi Militer China

Kasus penyitaan rudal ini dinilai penting karena memperlihatkan semakin tampaknya ekspor persenjataan China dalam konflik kawasan. Beijing diketahui telah memasok tank tempur VT-4 kepada Angkatan Darat Kerajaan Thailand berdasarkan perjanjian yang diteken pada 2017.

Kehadiran teknologi militer China di kedua sisi konflik menambah lapisan kompleksitas dalam dinamika keamanan Asia Tenggara.

Thailand sendiri telah mengambil sejumlah langkah untuk memutus jalur pasokan dan dukungan logistik bagi pasukan Kamboja. Konflik di perbatasan kini telah memasuki pekan kedua, meskipun Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya mengumumkan bahwa Thailand dan Kamboja telah menyepakati gencatan senjata baru pada pekan ini.

Namun, klaim tersebut dibantah oleh kedua negara.

Sumber-sumber keamanan mengatakan kepada harian The Nation Thailand bahwa muncul tanda tanya besar mengenai bagaimana persenjataan mahal dan berteknologi tinggi seperti GAM-102 bisa digunakan dalam operasi militer di perbatasan Kamboja.

Meski demikian, PBS melaporkan Selasa (16/12/2025) bahwa pihak Angkatan Darat Thailand menegaskan belum ada bukti yang menunjukkan China secara diam-diam memasok senjata kepada pasukan Kamboja.

Jika kelak terbukti bahwa Kamboja mengoperasikan sistem GAM-102, hal itu akan menjadi penggunaan operasional pertama senjata tersebut oleh militer manapun di dunia, menurut situs analisis pertahanan Janes.

Selain rudal GAM-102, militer Thailand juga menyita berbagai jenis persenjataan lain, termasuk granat 82 mm Type 65 buatan China serta roket antitank tanpa pemandu PF-89 produksi Norinco, lengkap dengan hulu ledaknya.

Media pemerintah Thailand melaporkan bahwa serangan militer Thailand telah menghancurkan sejumlah besar amunisi dan secara signifikan mengganggu kemampuan Kamboja untuk memasok pasukan garis depan.

Sebagai bagian dari upaya menekan jalur logistik, Bangkok pada Senin juga memutuskan untuk menghentikan pengiriman bahan bakar melalui sebuah pos perbatasan dengan Laos, setelah muncul kekhawatiran bahwa pasokan tersebut dialihkan ke Kamboja, menurut laporan Reuters.

Sikap Thailand

Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki dasar hukum untuk membatasi ekspor yang telah didokumentasikan dengan benar dan ditujukan secara resmi ke negara tetangga.

Perselisihan Thailand dan Kamboja sendiri telah berlangsung selama beberapa dekade, terutama terkait wilayah perbatasan sepanjang sekitar 500 mil yang pertama kali ditetapkan pada masa kolonial Prancis di Kamboja.

Gencatan senjata yang ditandatangani pada 26 Oktober di Malaysia, dengan dukungan Amerika Serikat, runtuh dalam waktu singkat. Baik Thailand maupun Kamboja juga menolak pernyataan terbaru Trump yang menyebut kedua negara telah sepakat pada gencatan senjata

"Tidak ada rencana maupun kesepakatan dari pemerintah Thailand untuk melakukan gencatan senjata dengan musuh kami hingga pukul 22.00 tadi malam. Thailand berdiri teguh dengan tekad kami untuk menjaga, melindungi, dan mempertahankan keutuhan wilayah dan rakyat kami dengan segala cara," tulis Charnvirakul, Minggu.

Sementara itu, Kementerian Pertahanan Kamboja juga menyampaikan pernyataan melalui Facebook pada hari yang sama. "Kamboja menegaskan kembali komitmen kuatnya untuk mematuhi dan menjalankan ketentuan gencatan senjata, pernyataan bersama mengenai perjanjian perdamaian antara Kamboja dan Thailand, dengan semangat dan tanggung jawab setinggi-tingginya," tulis kementerian tersebut.

Dari Beijing, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun mengungkapkan posisi China dalam perang tersebut.

"Sebagai negara tetangga dan sahabat bagi kedua negara, China memantau secara saksama perkembangan terkini di sepanjang perbatasan Kamboja dan Thailand... Prioritas utama saat ini adalah menghentikan pertempuran dan melindungi warga sipil."

Tentara Bayaran Rusia

Sebelumnya, tentara bayaran dari Rusia dilaporkan muncul di perang dua tetangga RI, Thailand dan Kamboja. Kepala Polisi di sana memberi instruksi pada Senin, khususnya di distrik Muang.

"Semua kantor polisi di distrik Muang telah diperintahkan untuk memantau secara ketat warga negara Rusia yang berada di daerah tersebut, di tengah kekhawatiran bahwa mereka mungkin adalah tentara bayaran yang disewa untuk menyabotase situs militer dan area ekonomi," tulis laman Bangkok Post.

"Polisi telah menerima laporan bahwa seorang warga negara Rusia telah disewa oleh Kamboja untuk menggunakan drone untuk menyerang situs-situs strategis di provinsi tersebut, termasuk Pangkalan Udara Wing 1," tambahnya menyebut markas militer setempat.

Dikatakan pula bahwa pengarahan ke 32 distrik lain sudah diberikan. Belum ditemukan hal yang mencurigakan sejauh ini.

Meski begitu, pemerintah Presiden Vladimir Putin, melalui Kedutaan Besar Rusia di Thailand telah mengeluarkan pernyataan yang menolak laporan bahwa warga negara Rusia telah terlibat dalam konflik perbatasan Thailand-Kamboja sebagai "tentara bayaran". Dikutip The Nation, kedutaan mengatakan bahwa klaim tersebut tidak berdasar.

 


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pemberontak RSF Umumkan Gencatan Senjata 3 Bulan di Sudan