China Takluk, Babi Eropa Buat Bertekuk Lutut
Jakarta, CNBC Indonesia - China resmi mengumumkan penurunan bea masuk untuk impor daging babi dan produk turunannya dari Uni Eropa (UE) pada hari Selasa. Keputusan ini diambil seiring dengan berakhirnya investigasi antidumping selama setahun yang dilakukan Beijing terhadap komoditas asal Benua Biru tersebut.
Langkah ini menandai pelonggaran tekanan perdagangan setelah sebelumnya kedua wilayah terlibat dalam ketegangan yang sengit. Kementerian Perdagangan China menetapkan tarif baru yang berkisar antara 4,9% hingga 19,8% bagi puluhan eksportir daging babi Eropa, jauh lebih rendah dibandingkan tarif sementara yang sempat diberlakukan sebelumnya.
Tarif baru ini akan mulai berlaku secara efektif dan dijadwalkan bertahan selama lima tahun ke depan. Keputusan ini menjadi kabar baik bagi eksportir Eropa mengingat pada September lalu, China sempat mengenakan tarif antidumping sementara hingga 62,4% dalam bentuk setoran tunai.
Perselisihan ini bermula ketika Brussel memberlakukan tarif hingga 45% pada Oktober tahun lalu terhadap kendaraan listrik (EV) yang diimpor dari China. Beijing mengecam tindakan tersebut sebagai praktik proteksionisme dan segera meluncurkan penyelidikan antidumping terhadap sektor daging babi UE sebagai langkah balasan.
UE sendiri merupakan eksportir daging babi terbesar di dunia, dengan mengekspor sekitar 13% dari total produksi tahunannya ke pasar luar negeri. Menurut estimasi S&P Global, China merupakan pembeli tunggal terbesar bagi produk tersebut, sehingga normalisasi tarif ini sangat krusial bagi stabilitas ekonomi para peternak di Eropa.
Ketegangan perdagangan antara China dan UE tidak hanya terbatas pada sektor pangan. Para pemimpin Eropa sebelumnya telah menyoroti ketidakseimbangan perdagangan Beijing yang terus membesar, di mana surplus perdagangan China mencapai rekor lebih dari US$ 1 triliun (Rp 16 ribu triliun) per November.
Selain masalah daging babi dan otomotif, kedua pihak juga sempat bersitegang terkait ekspor mineral langka (rare earth) dan sektor semikonduktor. Hubungan sempat memanas setelah Belanda mengambil alih kendali Nexperia, sebuah perusahaan milik China yang berbasis di negara tersebut.
Pekan lalu, Beijing telah menyerukan kepada pemerintah Belanda untuk mengirimkan delegasi guna melakukan negosiasi lebih lanjut terkait perselisihan teknologi ini.
(tps/sef)[Gambas:Video CNBC]