BRIN Pelototi Pidana Korupsi di Indonesia, Kritik Keras Bagian Ini

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 16/12/2025 19:50 WIB
Foto: Seminar Refleksi Akhir Tahun 2025 bertema “Tantangan Penegakan dan Keadilan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” yang dilaksanakan secara hybrid pada Jumat (12/12) di Gedung Widya Graha Lantai 1, BRIN Gatot Subroto, Jakarta. (BRIN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penegakan hukum di Indonesia, terutama untuk tindak pidana korupsi (tipikor) dinilai masih belum jelas dan membuat masyarakat menilai kurang tegasnya hukum di Indonesia. Kepala Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nawawi menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas dan konsistensi penegakan hukum tindak pidana korupsi.

"Evaluasi menjadi penting untuk efektivitas dan konsistensi penegakan hukum tipikor," kata Nawawi dalam Seminar Refleksi Akhir Tahun 2025 BRIN, dikutip Selasa (16/12/2025).

Nawawi menambahkan meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menorehkan capaian yang signifikan pada periode 2020-2024, tetapi tantangan pemberantasan korupsi masih sangat besar.


Pada semester I-2025, lebih dari 2.200 laporan dugaan korupsi masuk ke KPK. Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi KPK, saat lembaga antirasuah tersebut menangani 600 perkara dalam periode 2020-2024 dan pemulihan kerugian negara mencapai lebih dari Rp2,5 triliun, serta tingkat kepatuhan LHKPN sebesar 96,67%.

Peneliti Riset Teori dan Doktrin Hukum BRIN, Harison Citrawan menilai wacana korupsi di Indonesia masih terlalu berfokus pada besaran kerugian negara. Menurutnya, inti korupsi seharusnya dilihat dari unsur kesalahan dan kelayakan untuk dipersalahkan, bukan semata nominal kerugian.

Ia menegaskan, laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) merupakan alat bantu pembentukan keyakinan hakim, bukan kebenaran absolut.

"Fokus berlebihan pada angka, lanjutnya, berpotensi menutupi pertanyaan mendasar mengenai siapa yang sebenarnya menikmati hasil korupsi dan menjadikan penegakan hukum menyerupai "keadilan aktuarial"," kata Harison, mengutip keterangan di situs resmi BRIN.

Di sisi lain, Peneliti Riset Ketatanegaraan BRIN Zaihan Harmaen menyoroti fragmentasi regulasi antikorupsi yang justru menyulitkan penegak hukum. Adanya tumpang-tindih aturan, seperti Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi, UU KPK, UU TPPU, serta KUHP baru, dinilai membuka ruang perdebatan hukum dalam setiap penanganan perkara.

Ia juga mengkritik perubahan UU KPK di 2019 yang menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif dan menjadikan pegawainya sebagai aparatur sipil negara.

"Selain perbaikan regulasi dan kelembagaan, budaya hukum masyarakat memegang peranan penting dalam pencegahan korupsi," ujar Zaihan.

Sementara itu, Peneliti Riset Hukum Pidana BRIN Budi Suhariyanto mengatakan, hukum pidana sebaiknya menjadi ultimum remedium atau jalan terakhir. Ia mendorong pemanfaatan mekanisme administrasi dan pendekatan restoratif, termasuk praktik deferred prosecution agreement (DPA) dan penyelesaian perkara korporasi di luar pengadilan.

Budi juga menyoroti maraknya korupsi di sektor perizinan daerah, kehutanan, hingga praktik korupsi peradilan.

"Banyak kasus saat ini bukan lagi didorong oleh kebutuhan, melainkan oleh keserakahan," terang Budi.

Budi menambahkan, pertanggungjawaban pidana korporasi menjadi isu krusial mengingat kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah.

Meski regulasi memungkinkan korporasi didakwa secara langsung, namun tantangan pembuktian masih besar. Ia juga menekankan perlunya kajian mendalam terhadap konsep diskresi, khususnya di lingkungan BUMN, agar tidak terjadi kriminalisasi kebijakan yang sah.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Diduga Terima Suap Rp 12,12 Miliar, Pejabat KAI Jadi Tersangka