Pasukan Gabungan Siap "Ambil Alih" Ukraina, Syarat Damai dengan Rusia?
Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara Eropa menyatakan kesiapan memimpin pembentukan "pasukan multinasional" di Ukraina sebagai bagian dari proposal Amerika Serikat (AS) untuk mendorong tercapainya perjanjian damai antara Rusia dan Ukraina. Rencana ini disebut sebagai bagian dari paket jaminan keamanan baru yang didukung Gedung Putih.
Dalam pernyataan bersama, para pemimpin Inggris, Prancis, Jerman, serta delapan negara Eropa lainnya menyebut pasukan dari "koalisi negara-negara yang bersedia", dengan dukungan AS, akan membantu pemulihan kekuatan militer Ukraina, mengamankan wilayah udara, serta mendukung keamanan laut, termasuk melalui operasi di dalam wilayah Ukraina.
Proposal tersebut dinilai berpotensi menjadi terobosan menuju kesepakatan damai Moskow-Kyiv. Namun, para pemimpin Eropa dan AS mengakui masih terdapat perbedaan signifikan, terutama terkait status masa depan wilayah Ukraina yang diduduki Rusia.
Presiden AS Donald Trump mengatakan pembicaraan intensif telah dilakukan dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, para pemimpin Eropa, NATO, hingga Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Kami telah melakukan banyak percakapan dengan Presiden Putin dari Rusia, dan saya pikir kami sekarang lebih dekat daripada sebelumnya," ujar Trump kepada wartawan di Ruang Oval, seperti dikutip The Guardian, Selasa (16/12/2025).
Trump juga mengisyaratkan bahwa Ukraina kemungkinan harus mengalah soal sebagian wilayah Donbas timur sebagai imbalan atas jaminan keamanan. "Yah, mereka sudah kehilangan wilayah itu, jujur saja," kata Trump.
Namun sikap ini sebelumnya ditolak Zelensky. Ia mengakui pembicaraan dengan utusan Trump tidak mudah, tetapi menunjukkan kemajuan.
"Dialog mengenai wilayah tersebut sudah cukup memadai, dan saya pikir, terus terang, kita masih memiliki posisi yang berbeda," katanya.
Berdasarkan proposal AS-Eropa, Ukraina akan mendapat dukungan Barat untuk mempertahankan kekuatan militer hingga 800.000 personel. AS akan memimpin mekanisme pemantauan dan verifikasi gencatan senjata, sementara negara-negara Eropa berkomitmen secara hukum untuk mengambil langkah pemulihan keamanan jika terjadi serangan di masa depan. Eropa juga akan mendukung aksesi Ukraina ke Uni Eropa.
Dua pejabat AS yang mengetahui negosiasi menyebut paket ini memberikan jaminan keamanan "seperti Pasal Lima NATO".
"Ini adalah serangkaian protokol keamanan paling kuat yang pernah mereka lihat. Ini paket yang sangat, sangat kuat," kata seorang pejabat AS.
Meski demikian, AS menegaskan tidak akan mengirim pasukan darat ke Ukraina. Kanselir Jerman Friedrich Merz menilai proses saat ini sebagai titik terdekat menuju perdamaian sejak invasi besar Rusia pada 2022.
"Apa yang telah AS tawarkan di Berlin dalam hal jaminan hukum dan material benar-benar signifikan," kata Merz dalam konferensi pers bersama Zelensky.
Isu wilayah pendudukan, status pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia, serta pembagian kendali ekonomi masih menjadi ganjalan. Pejabat AS menyebut sekitar 90% perselisihan telah disepakati, namun soal kedaulatan tetap sensitif.
Di sisi lain, Rusia menegaskan keinginannya untuk mendapat penjelasan lanjutan dari AS mengenai hasil pembicaraan Berlin. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menyebut isu NATO sebagai salah satu faktor utama konflik. Para pemimpin Eropa menilai hasil negosiasi ini akan menentukan arsitektur keamanan Eropa selama beberapa dekade ke depan.
(luc/luc)