PD 3 Bisa ke Asia Duluan, AS-Jepang 'Keroyok' China
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di Indo-Pasifik kembali memanas setelah Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Pete Hegseth dan Menhan Jepang Shinjiro Koizumi kompak menuding China sebagai pihak yang merusak stabilitas kawasan. Dalam percakapan telepon terbaru, keduanya mengecam keras langkah Beijing yang mengunci radar pada jet Jepang di dekat Taiwan.
"Kami menyatakan keprihatinan mendalam atas tindakan apa pun yang meningkatkan ketegangan regional. Perilaku China tidak kondusif bagi perdamaian dan stabilitas," ujar Koizumi, dikutip dari pernyataan resmi Kementerian Pertahanan Jepang, dikutip AFP, Jumat (12/12/2025).
Insiden radar itu memicu respons berantai di kawasan. China-Rusia melakukan patroli udara bersama di sekitar Jepang sementara Jepang-AS membalas dengan latihan udara gabungan melibatkan B-52 Amerika dan jet tempur F-35 serta F-15 Jepang.
Koizumi juga menegaskan bahwa China telah menyebarkan narasi yang tidak sesuai fakta. China disebut menyebarkan informasi yang sama sekali bertentangan dengan kejadian sebenarnya.
"Kami tidak mencari eskalasi dan tetap membuka pintu dialog," katanya menegaskan Jepang tetap menahan diri.
Ketegangan memuncak setelah Japan Perdana Menteri (PM)Â Sanae Takaichi menyatakan bahwa Tokyo siap terlibat jika China menyerang Taiwan, pernyataan yang langsung membuat Beijing berang. Dalam insiden awal pekan ini, jet J-15 dari kapal induk Liaoning disebut dua kali mengunci radar ke pesawat Jepang yang terbang di perairan internasional dekat Okinawa.
China membantah keras dan menuding Jepang justru mengirim pesawat untuk "mengintai dan melecehkan" area latihan militernya. Di sisi lain, Korea Selatan (Korsel) juga melaporkan bahwa pesawat Rusia dan China masuk ke zona pertahanan udaranya, memaksa Seoul mengerahkan jet tempurnya.
Sementara itu, AS belum memberikan pernyataan resmi atas percakapan telepon Hegseth-Koizumi. Namun langkah Washington mengirim B-52 dalam latihan bersama Jepang dinilai sebagai sinyal bahwa Indo-Pasifik, bukan Eropa atau Timur Tengah, bisa menjadi titik pertama eskalasi global jika krisis terus meruncing.
[Gambas:Video CNBC]