Internasional

Arab Tak Baik-Baik Saja, Waspada Perang Teluk Jilid 4

tfa, CNBC Indonesia
Kamis, 11/12/2025 20:00 WIB
Foto: Warga berdiri pada di dekat mobil yang rusak pada lokasi serangan udara AS di Sanaa, Yaman, Minggu (27/4/2025). (REUTERS/Khaled Abdullah)

Jakarta, CNBC Indonesia - Eskalasi konflik di Yaman kembali memanas setelah kelompok separatis Dewan Transisi Selatan (Southern Transitional Council/STC) merebut wilayah-wilayah strategis yang kaya minyak di selatan.

Langkah agresif tersebut dinilai berpotensi menyulut kembali perang berskala besar dan mengguncang stabilitas kawasan Teluk yang selama 2 tahun terakhir relatif tenang.

STC, kelompok yang didukung Uni Emirat Arab (UEA), bulan ini mengambil alih sebagian besar provinsi Hadramout dan Mahra, termasuk fasilitas minyak penting. Aksi itu memutus ketenangan dalam perang saudara yang telah terbentang lebih dari satu dekade.


"Kelompok tersebut telah melampaui kesepakatan yang dipimpin Saudi," ujar Ahmed Nagi, analis senior Yaman di International Crisis Group, seperti dikutip The Associated Press, Kamis (11/12/2025). Ia menambahkan UEA "tampaknya menjadi pemenang utama, memperluas pengaruhnya dalam krisis Yaman."

Yaman sendiri telah lama terpecah antara Houthi yang didukung Iran, yang menguasai Sanaa dan wilayah berpenduduk padat, serta koalisi anti-Houthi yang terdiri dari Arab Saudi, UEA, dan pemerintah yang diakui secara internasional.

Sejak 2022, kekerasan menurun akibat kebuntuan kedua kubu dan upaya de-eskalasi Riyadh-Houthi. Namun manuver terbaru STC mengganggu keseimbangan itu.

Situasi memanas setelah pasukan STC bergerak ke Hadramout, merebut fasilitas minyak PetroMasila setelah bentrokan singkat dengan militer pemerintah dan aliansi suku setempat yang didukung Saudi.

Langkah ini terjadi tak lama setelah Aliansi Suku Hadramout merebut fasilitas yang sama untuk menekan pemerintah terkait pembagian pendapatan minyak. STC kemudian memperluas operasi ke provinsi Mahra dan menguasai pos perbatasan dengan Oman. Di Aden, pasukan pro-UEA juga mengambil alih istana presiden, pusat kegiatan Dewan Kepemimpinan Presiden.

Penarikan pasukan Saudi dari pangkalan di Aden, yang digambarkan pejabat pemerintah sebagai bagian dari "strategi reposisi," semakin memicu spekulasi mengenai dinamika baru di antara para pemain regional. Riyadh kemudian mengirim delegasi tingkat tinggi ke Hadramout untuk meredam ketegangan.

"Kami menolak setiap upaya untuk memaksakan fait accompli," tegas Mayjen Mohammed al-Qahtani, kepala delegasi Saudi.

UEA menegaskan pendekatannya tetap sejalan dengan tujuan Saudi untuk mendukung proses politik penyelesaian konflik. Pemerintah Abu Dhabi menyatakan masa depan tata kelola dan integritas teritorial Yaman adalah "masalah yang harus ditentukan oleh pihak-pihak Yaman sendiri."

Adapun wilayah teluk pernah beberapa kali diguncang perang besar. Setidaknya ada tiga konflik bersenjata sejak 1980, yakni Perang Teluk I antara Irak dan Iran pada 1980-1988, Perang Teluk II akibat invasi Irak ke Kuwait pada 1990-1991, dan Perang Teluk III, yaitu invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003-2011.


(tfa/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Israel Bicara Normalisasi Hubungan dengan Arab Saudi