Israel Serang Negara Arab Ini 600 Kali dalam Setahun Usai Rezim Jatuh
Jakarta, CNBC Indonesia - Setahun setelah jatuhnya Damaskus, rangkaian serangan Israel di Suriah menunjukkan pola operasi militer paling intens dalam sejarah kawasan tersebut, dengan ratusan target dihantam dan wilayah baru diduduki di sekitar Dataran Tinggi Golan.
Satu tahun berlalu sejak ofensif kilat kelompok-kelompok oposisi bersenjata yang bersekutu menggulingkan rezim Bashar al-Assad dan mengakhiri 54 tahun kekuasaan dinasti itu.
Namun, kekacauan pascakejatuhan pemerintah lama justru membuka ruang bagi Israel untuk memperluas operasi militernya di wilayah Suriah, dengan sasaran mencakup infrastruktur tempur, sistem pertahanan udara, bandara utama, jet tempur, hingga fasilitas strategis lain.
Data yang dihimpun Armed Conflict Location and Event Data (ACLED), sebagaimana dikutip Al Jazeera, menunjukkan bahwa dalam periode 8 Desember 2024 hingga 28 November 2025, Israel telah melancarkan lebih dari 600 serangan udara, drone, maupun artileri, atau rata-rata hampir dua kali serangan setiap hari.
Mayoritas serangan Israel tercatat terjadi di tiga gubernuran di Suriah bagian selatan: Quneitra, Deraa, dan Damaskus. Ketiga wilayah ini menyumbang hampir 80% dari seluruh serangan yang direkam ACLED.
Quneitra, yang berbatasan langsung dengan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menjadi wilayah paling sering diserang dengan sedikitnya 232 serangan.
Deraa menempati posisi kedua dengan 167 serangan, sebagian besar menargetkan bekas pos militer rezim lama dan konvoi yang dicurigai membawa senjata.
Gubernuran Damaskus mengalami setidaknya 77 serangan, sementara Kota Damaskus sendiri diserang minimal 20 kali.
Adapun meningkatnya intensitas serangan Israel bukanlah fenomena baru. Selama bertahun-tahun, Israel berulang kali melancarkan operasi militer di Suriah dengan klaim bahwa pihaknya menargetkan instalasi militer Iran.
Setelah tumbangnya pemerintahan al-Assad, Israel menyatakan bahwa mereka berusaha mencegah jatuhnya persenjataan ke tangan pihak yang mereka sebut "ekstremis". Istilah tersebut digunakan untuk berbagai kelompok, dan yang terbaru adalah Hayat Tahrir al-Sham (HTS), faksi oposisi yang memimpin operasi menggulingkan al-Assad.
Hanya empat hari setelah rezim al-Assad tumbang, Israel mengumumkan bahwa mereka telah mencapai "superioritas udara total" dengan menghancurkan lebih dari 80% sistem pertahanan udara Suriah-langkah yang, menurut Israel, diperlukan agar negara baru di Suriah tidak menjadi ancaman militer.
Sementara itu, Presiden Ahmed al-Sharaa yang kini memimpin pemerintahan baru Suriah berulang kali menegaskan bahwa pemerintahannya tidak mencari konflik dengan Israel dan tidak akan mengizinkan pihak asing menggunakan teritori Suriah untuk melancarkan serangan.
Perluasan Pendudukan
Tak lama setelah kejatuhan rezim lama, pasukan Israel menyeberang ke sisi Suriah di Dataran Tinggi Golan, wilayah yang telah diduduki Israel sejak 1967, dan melanggar kesepakatan gencatan senjata 1974 yang ditengahi PBB.
Militer Israel membangun sejumlah pos militer baru, termasuk di Jabal al-Sheikh, desa-desa di sekitarnya, serta area lain di zona demiliterisasi yang berada di bawah pengawasan PBB. Dari wilayah-wilayah ini, Israel melakukan serangan udara dan operasi darat secara berkala.
Langkah tersebut memicu kritik luas dari komunitas internasional. PBB dan sejumlah negara Arab mengecam tindakan Israel sebagai pelanggaran hukum internasional sekaligus pelanggaran terhadap kedaulatan Suriah.
Kendati demikian, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz menyatakan pada Februari lalu bahwa pasukan Israel akan tetap berada di wilayah tersebut tanpa batas waktu untuk "melindungi warga Israel" dan "mencegah entitas bermusuhan memperoleh pijakan" di dekat perbatasan.
Â
(luc/luc)[Gambas:Video CNBC]