Hadapi Gempuran Baja Murah China, Kemenperin dan Pengusaha Lakukan Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan industri baja nasional semakin memperketat strategi menghadapi masuknya baja impor yang masih menekan pasar domestik. Penerapan standar mutu menjadi fokus utama, seiring meningkatnya kebutuhan material konstruksi untuk pembangunan infrastruktur skala besar. Di saat yang sama, pelaku industri dalam negeri menegaskan bahwa persaingan tidak bisa semata-mata dihadapi lewat harga, melainkan melalui kualitas dan keandalan produk.
Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian RI, Dodiet Prasetyo, menuturkan bahwa penguatan standar nasional menjadi langkah penting untuk memastikan keselamatan konstruksi. Ia menegaskan bahwa standar tidak hanya diterapkan pada fisik produk, tetapi juga pada sistem dan proses produksi.
"Kami mendorong SNI, bukan hanya SNI untuk produk bajanya, tapi untuk sistemnya juga nanti kami harapkan sudah bisa didorong. Jadi bagaimana bisa memberikan rasa aman maupun keselamatan yang lebih menjamin," kata Dodiet usai Signing Ceremony Marking Garuda Yamato Steel (GYS) and SMS Group Partnership di pabrik GYS, Selasa (9/12/2025).
Ia menekankan bahwa standar tersebut bertujuan mencegah risiko fatal di lapangan, termasuk insiden keruntuhan bangunan. Dodiet juga menegaskan bahwa baja profil dalam negeri sudah berada dalam koridor yang diatur dan diawasi secara ketat.
"Jangan sampai ada kejadian buruk seperti yang kemarin tiba-tiba ada bangunan yang roboh, intinya itu. Prinsipnya SNI adalah itu. Kalau misalkan produk dalam negeri. Untuk baja profilnya tentu saja ini sudah ada SNI-nya, sudah terjamin dari sisi ketebalan juga sudah terjamin," ujarnya.
Di sisi industri, Presiden Direktur PT Garuda Yamato Steel Tony Taniwan menegaskan bahwa kualitas menjadi ujung tombak persaingan dengan produk impor. Menurut Tony, sebagian baja impor bisa dijual lebih murah karena tidak memenuhi standar yang berlaku di Indonesia, terutama terkait ketebalan material. Ia menekankan bahwa kondisi geografis Indonesia yang rawan gempa menuntut standar keamanan yang tinggi.
"Terutama kita bersaingnya adalah kualitas. Di impor, kalau Bapak lihat, mereka memang bisa lebih murah. Kenapa? Terutama, mereka punya ukuran lebih tipis, dan juga tidak sesuai SNI. Di sini, kita kan negara ada gempa. Jadinya SNI kita sangat kuat. Jadi, kita waktu produksi, harus mau ikut sesuai SNI. Jadinya itu adalah persaingan kita," ujar Tony.
Selain fokus pada standardisasi, GYS juga aktif membangun ekosistem yang mendukung penggunaan baja nasional. Edukasi terhadap para insinyur dan arsitek menjadi strategi untuk memperkuat preferensi terhadap produk lokal yang lebih terjamin kualitasnya.
"Dan kita juga meng-edukasi local engineer, local architect, ya, di Indonesia ada pabrik kita yang bisa support mereka. Jadinya kalau mereka ada proyek, kita bisa supply-nya lebih cepat, lebih tepat, dengan quality yang bagus. Dan kita di sini juga ada stock-nya," tambah Tony.
Di tengah dinamika tersebut, data Kemenperin menunjukkan bahwa Pada tahun 2024, Indonesia mengimpor sekitar 14 juta ton besi dan baja, dengan mayoritas pasokan berasal dari Tiongkok, mengisi sekitar 55% kebutuhan domestik.
(fys/wur)