Banyak Tanah Kosong di Jantung DKI, Bukan Cuma Gegara Harga Selangit
Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena lahan kosong di kawasan premium Sudirman-Gatot Subroto terus menjadi sorotan. Di tengah geliat pembangunan gedung-gedung pencakar langit, sejumlah bidang tanah justru dibiarkan terbengkalai bertahun-tahun.
Namun, kondisi ini bukan tanpa alasan. Para pemilik lahan maupun calon investor disebut menghadapi kalkulasi bisnis yang sangat rumit sebelum berani melepas atau mengembangkan aset di lokasi super mahal tersebut.
Associate Director Research & Consultancy Department PT Leads Property Services Indonesia Martin Samuel Hutapea menjelaskan, keputusan menjual lahan di pusat bisnis Jakarta bukan hanya soal kemauan, tetapi lebih pada kalkulasi ekonomi yang tidak sederhana. Harga tanah yang sudah melambung ekstrem membuat investor berpikir berkali-kali sebelum mengambil keputusan.
"Belum ada indikasi mereka mau ngelepas, kenapa? Kalau mereka mau menjual, berarti kan harus ada yang membeli. Nah, yang beli kan pasti hitung-hitungan investasi, harga satu hektare Hitung-hitungan per meter, misalnya nilai di Sudirman kan bisa Rp 150-200 juta. Misalnya ada 5.000 meter aja, dikali 200 juta per meter. Wah, ini satu triliun loh buat lahan doang," ujar Martin kepada CNBC Indonesia Senin (8/12/2025).
Tingginya harga lahan hanyalah permukaan dari persoalan yang lebih besar. Ketika sebuah perusahaan ingin mengembangkan properti besar, risiko finansialnya meningkat berlipat. Setiap keputusan pembangunan harus diukur dengan potensi pendapatan jangka panjang, yang pada kondisi pasar saat ini tidak selalu sesuai ekspektasi.
"Ini belum misalnya, developer-nya mau bangun hotel, mau bangun mixed use. Berarti dia harus mikirin, berarti per sewa harga sewa kantor yang dikenakan itu berapa? Atau dia mau bangun apartemen, lalu dia harus dijual di harga berapa, ada enggak yang beli? So far, concernnya seperti itu," jelasnya.
Tantangan tersebut membuat lahan-lahan strategis tidak serta-merta bisa dibangun meskipun lokasinya premium. Pengembang harus memastikan proyek yang dibangun mampu menghasilkan imbal hasil yang masuk akal. Jika tidak, lahan justru lebih aman dibiarkan menganggur dibanding memaksakan proyek yang berpotensi merugi.
"Makanya ini kan kalau mau dibangun buat kantor sendiri juga sayang dan kan KLB (Koefisien Lantai Bangunan)-nya kan tinggi kalau buat kantor. Misalnya buat kantor untuk group sendiri kan belum tentu butuh KLB segitu gede, ya, kan? Jadi, mau enggak mau harus di komersialkan, disewakan atau unit-unitnya dijual, tapi kan harga yang disewakan harus mahal. Sementara harga rental office kan turun dari 2015 lalu, tertekan," terang Martin.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Untuk proyek residensial seperti apartemen, pengembang dituntut menjual dengan harga yang jauh di atas standar pasar saat ini. Sementara minat beli masyarakat terhadap unit super premium tengah menurun, sehingga risikonya semakin besar.
"Kalau mau jual apartemen, itu harus sudah di atas Rp70 juta per meter, sekarang ada enggak yang beli? Kalau dibangun, itu kan kalau misalnya 5.000 meter, KLB-nya kan bisa 6 misalnya ya. Itu bisa 30.000 meter2. 30.000 meter2 itu bisa ratusan unit kondominium. Ada enggak yang mau beli? Nah, itu concern-nya di situ," kata Martin.
[Gambas:Video CNBC]