Peredaran Rokok Ilegal Ramai Diperbincangkan, Ini Penyebabnya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Platform Twitter (X) diramaikan oleh viralnya perbincangan para warganet menyikapi hasil kajian ekonomi terbaru yang dirilis oleh Pusat Pengembangan Kebijakan Ekonomi (PPKE) Universitas Brawijaya belum lama ini.
Kajian tersebut menyoroti fenomena meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang dipicu oleh adanya ketidakseimbangan regulasi antara rokok legal dan rokok illegal di sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
Temuan tersebut menggugah perhatian para warganet. Pasalnya, isu ini tidak hanya menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga menyentuh dimensi ekonomi nasional, seperti hilangnya penerimaan negara dari cukai serta tertekannya daya saing industri legal yang mempekerjakan jutaan pekerja.
Respon publik yang besar muncul seiring publikasi hasil kajian PPKE UB yang kemudian ramai dibahas dan disebarkan secara masif oleh pengguna Twitter.
Antusiasme publik mencapai puncaknya ketika tagar #StopRokokIlegal menjadi magnet diskusi besar di linimasa dan berhasil masuk ke daftar Trending Top 1 di Indonesia sejak pagi hingga siang hari.
Bahkan, tagar tersebut mencatat 5.036 unggahan dari 3.812 akun serta menghasilkan potensi jangkauan hingga 3,97 juta impresi yang memperlihatkan bahwa isu tersebut mendapatkan perhatian luas dan menjadi topik dominan di media sosial dalam kurun waktu lebih dari 5 jam.
Sentimen positif dalam diskusi daring mencapai 73,87% yang menunjukkan bahwa masyarakat luas mendukung upaya untuk menghentikan peredaran rokok ilegal dan mendorong pemerintah segera merumuskan roadmap kebijakan IHT yang lebih komprehensif dan seimbang.
Direktur PPKE FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda berpandangan, tingginya dukungan publik menunjukkan bahwa masyarakat memandang isu ini sebagai masalah nasional yang memerlukan tindakan cepat dan solusi kebijakan berbasis riset akademik, bukan sekadar wacana political statement. Fenomena ini menjadikan diskursus akademik bergeser menjadi gerakan sosial digital yang lebih luas.
"Fenomena viral ini memperlihatkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan fiskal dan regulasi tembakau yang dinilai tidak seimbang serta menimbulkan dampak ekonomi yang merugikan pemerintah dan industri hasil tembakau legal," tegas Prof. Candra dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (01/12/2025).
Dalam pantauan PPKE, banyak pengguna Twitter menyoroti bahwa kenaikan tarif cukai tanpa pengawasan yang memadai justru mendorong perpindahan konsumsi ke rokok ilegal, dan bukan mengurangi jumlah perokok.
Viral trending ini tidak hanya menjadi wadah ekspresi netizen, tetapi juga berfungsi sebagai tekanan sosial kolektif agar pemerintah bergerak cepat memperkuat pengawasan, menutup celah distribusi ilegal, dan menyusun kebijakan yang lebih adil bagi seluruh pelaku IHT.
"Antusiasme publik meningkat setelah sejumlah akun pengguna Twitter mulai mengunggah dan membagikan temuan penting dari dokumen kajian PPKE FEB UB yang menyoroti dampak kebijakan tarif cukai terhadap perilaku konsumsi rokok di Indonesia," ujar Prof. Candra.
Dikatakan Prof. Candra, kajian tersebut mengungkap bahwa kebijakan kenaikan tarif cukai yang dilakukan secara agresif dalam beberapa tahun terakhir tidak disertai dengan penguatan pengawasan distribusi di lapangan, sehingga memicu fenomena downtrading.
"Alih-alih menurunkan prevalensi merokok seperti yang menjadi tujuan utama cukai, kebijakan tersebut justru menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk beralih ke rokok ilegal, bukan berhenti merokok," imbuh Prof. Candra.
Di antara unggahan yang paling banyak mendapatkan perhatian publik dalam tren #StopRokokIlegal adalah konten yang menyoroti pernyataan bahwa "aturan yang tidak seimbang membuat masyarakat beralih ke produk ilegal", sebuah kritik yang merujuk pada ketidakseimbangan regulasi antara rokok legal bercukai, rokok ilegal, dan rokok elektrik.
Publik juga menyoroti fenomena downtrading, di mana konsumen tidak berhenti merokok, tetapi beralih ke produk lebih murah. Hal ini dipandang sebagai bukti bahwa kebijakan harga saja tidak cukup untuk mengendalikan konsumsi tembakau ketika akses terhadap produk ilegal tetap terbuka lebar.
"Unggahan tersebut mempertegas bahwa kebijakan fiskal tanpa pengawasan menciptakan insentif ekonomi yang mendorong konsumen berpindah segmen, bukan mengubah perilaku," terangnya.
Banyak unggahan yang menyoroti data perilaku konsumsi masyarakat, termasuk fakta bahwa 55,3% perokok ilegal memilih produk dengan harga di bawah Rp1.000 per batang, serta bahwa warung kecil menjadi pusat distribusi rokok ilegal sebesar 86%, sehingga memperkuat argumentasi bahwa pasar ilegal semakin menguasai segmen konsumen yang sensitif terhadap harga.
"Viral publik dalam tren ini merupakan alarm bagi pemerintah untuk segera merespons rekomendasi akademik dan memperbaiki pendekatan kebijakan yang selama ini dinilai belum komprehensif," pungkasnya.
Bagi PPKE, momentum ini sangat penting untuk mendorong pemerintah mempercepat pengambilan keputusan strategis agar mata rantai peredaran rokok ilegal dapat diputus dengan pendekatan kebijakan yang lebih terukur, komprehensif, dan berbasis data ilmiah.
"PPKE juga menekankan urgensi penyusunan roadmap IHT yang komprehensif, realistis, dan multidimensi, yang mencakup aspek fiskal, ekonomi, sosial, kesehatan, hingga perlindungan tenaga kerja, dengan tujuan menjaga keberlangsungan industri kretek nasional," ujar Prof. Candra.
Melalui perhatian luas yang diterima di Twitter (X) terhadap hasil penelitian ini, PPKE berharap bahwa kajian tersebut dapat menjadi landasan objektif bagi para pemangku kebijakan dalam merumuskan arah kebijakan publik yang lebih bijaksana dan efektif.
Prof. Candra berharap, viral publik yang lahir dari diskusi ilmiah ini mampu mengubah kesadaran sosial menjadi dorongan politik yang kuat untuk menempatkan penanganan rokok ilegal sebagai prioritas nasional.
"Pada akhirnya, keberhasilan dalam menyeimbangkan antara pengendalian konsumsi tembakau, pemberantasan rokok ilegal, dan keberlanjutan IHT akan menjadi fondasi penting dalam menjaga kedaulatan ekonomi, keadilan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat Indonesia," pungkas Prof. Candra.
(dpu/dpu)