6 Perusahaan Tekstil RI Terancam Tutup, Kondisinya Sudah Segini Parah

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
Selasa, 02/12/2025 10:20 WIB
Foto: Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha tekstil buka suara soal kondisi industri tekstil Indonesia yang makin memprihatinkan di mana bakal ada enam perusahaan yang terancam gulung tikar. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Farhan Aqil Syauqi mengungkapkan kondisi keenam perusahaan tekstil tersebut sudah sangat mengkhawatirkan dan terancam bangkrut jika industri tekstil RI terutama di hulu tak kunjung membaik.

"Enam perusahaan sekarang kondisinya stok produksi sudah menumpuk sampai 1 bulan, normalnya hanya 2 minggu. Ada juga yang sudah setop 3 bulan-3 bulan jalan-setop 3 bulan secara kontinyu. Cuma untuk penuhi permintaan loyal customer saja," kata Farhan saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (2/12/2025).

Farhan sebelumnya juga mengatakan bahwa lini produksi enam perusahaan atau pabrik sudah berkurang 50%.


"Saat ini, 6 pabrik lainnya, lini produksi sudah di bawah 50%, bahkan sudah ada yang on-off. 5 mesin polimerisasi sudah setop, tidak produksi lagi," lanjutnya.

Farhan menyebut bahwa akan terjadi penutupan pabrik tekstil lainnya di tahun 2026 jika pemerintah tidak bisa mengontrol dan memberikan transparansi ke publik siapa penerima kouta impor paling banyak yang menyebabkan banjirnya produk impor di pasar domestik saat ini. Data ini tentu pemerintah tahu karena setiap adanya produk impor yang masuk melalui pelabuhan besar, maka akan tercatat di dalam sistem bea cukai.

"Data itu mudah untuk didapatkan bagi pemerintah. Ini kami tinggal tunggu actionnya saja karena jika tidak ada tindakan korektif, 6 perusahaan lainnya akan menyusul bangkrut karena tidak bisa menjual produknya dipasar domestik. Selain itu, anggota kami tidak bisa menentukan rencana produksi ditahun depan karena tidak ada transparansi kouta impor yang diberikan pemerintah. Deindustrialisasi benar-benar terjadi," ucapnya.

Namun, pihak APSyFI belum dapat menjelaskan nama dan jenis keenam perusahaan tersebut, karena belum mendapatkan izin dari perusahaan.

Selain potensi terancam bangkrutnya enam perusahaan tekstil hulu, terpantau sudah ada lima perusahaan yang telah bangkrut.

Foto: Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Suasana kondisi ribuan alat mesin jahit yang ditutup kain dan tidakk terpakai di kawasan pabrik garmen, Kabupaten, Bogor, Kamis, (13/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta mengatakan penutupan lima pabrik tekstil ditingkat hulu merupakan akumulasi penutupan sejak 2022 hingga 2025.

"5 pabrik tekstil di hulu merupakan proses penutupan dari 2022 hingga 2025," kata Redma saat dihubungi CNBC Indonesia, Senin (1/12/2025).

Namun, Redma melanjutkan dampak dari penutupan lima pabrik tersebut cukup besar, karena produsen tekstil ditingkat hulu semakin sedikit. Padahal, sebelum adanya penutupan, masih ada 17 pabrik yang beroperasi.

"Tapi untuk sekor hulu dampaknya sangat besar, karena produsen hulu tekstil kan ada 17 perusahaan, 5 sudah tutup, jadi 12," jelasnya.

Redma kembali menjelaskan, untuk industri benang dan kain, jumlah pabrik yang sudah tutup selama kurun waktu 2022 hingga 2025 lebih besar yakni 60 pabrik.

"Kalau untuk industri benang dan kain, selama 2022-2025, sudah 60 perusahaan yg tutup," terangnya.

Sebelumnya, APSyFI mengungkapkan tutupnya lima pabrik tekstil disebabkan kerugian serius akibat melemahnya penjualan produk tekstil domestik.

Banjirnya produk impor dengan harga dumping berupa kain dan benang jadi faktor utama tutupnya lima perusahaan tersebut.

Dampaknya, terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 3.000 pekerja. Hal ini menjadi tanda deindustrialisasi tekstil benar-benar terjadi.

Adapun kelima perusahaan tersebut, antara lain:

• PT Polychem Indonesia yang memproduksi tekstil di Karawang
• PT Polychem Indonesia di Tangerang
• PT Asia Pacific Fibers yang memproduksi serat polyester di Karawang
• PT Rayon Utama Makmur yang merupakan bagian Sritex Group yang memproduksi serat rayon
• PT Susilia Indah Synthetics Fiber Industries (Sulindafin) yang memproduksi serat & benang polyester di Tangerang.

Meski begitu, Farhan juga mengapresiasi tindakan Kementerian Keuangan yang berkomitmen untuk menghentikan laju impor ilegal. Penyelidikan impor thrifting diyakini bisa membongkar praktik kecurangan dalam mekanisme tata niaga impor.

"Dalam impor thrifthing itu bisa ketahuan siapa pengimpornya hingga backing-nya. Penegak hukum juga bisa didalami siapa menyebabkan kerugian negara, kami meyakini bahwa birokrat yang terlibat sama-sama saja dan sudah terafiliasi dengan matang," tutup Farhan.


(chd/wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Harga Emas Kembali Terbang ke Level Tertinggi Dalam 6 Pekan