Geramnya Pengusaha Tekstil, Teriak Mafia Impor-Bongkar Data Jadi Bukti

Damiana, CNBC Indonesia
20 August 2025 13:50
Ilustrasi pabrik garmen (AFP via Getty Images)
Foto: Ilustrasi pabrik garmen (AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha tekstil nasional kembali mengeluarkan unek-uneknya soal serbuan barang impor di pasar Tanah Air. Hal itu bukan tanpa alasan.

Serbuan barang tekstil impor disebut sebagai biang kerok keterpurukan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dalam 8 tahun terakhir. Disebutkan, sepanjang tahun 2023-2024, tercatat ada sekitar 60 pabrik TPT yang tutup, menyebabkan 250-an ribu orang terkena PHK.

Direktur Eksekutif Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto mengungkapkan, adanya mafia impor, yang kemudian menyebabkan impor TPT terus meningkat merangsek pasar domestik.

"Kuota impor yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) setiap tahunnya terus naik. Tapi di sisi lain kita lihat banyak perusahaan tutup dan PHK karena tidak mampu bersaing dengan barang impor," ujar Agus dalam keterangan tertulis diterima CNBC Indonesia, Rabu (20/8/2025).

"Artinya kuota impor yang dikeluarkan Kemenperin telah memakan porsi produk lokal di pasar domestik," katanya.

Mengutip data BPS disebutkan, impor benang dan kain di tahun 2016 masing-masing hanya sebesar 230 ribu ton dan 724 ribu ton.

Namun di tahun 2024 lalu, jumlahnya masing-masing sudah melonjak jadi 462 ribu ton dan 939 ribu ton.

"Kuota impor tekstil diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian melalui Pertimbangan Teknis (PERTEK) berdasarkan Peraturan Tata Niaga Impor dari Kementerian Perdagangan," sebutnya.

"Banyak keluhan dari industri lokal tentang kuota impor yang mereka ajukan biasanya hanya diberikan kurang dari sepertiga kapasitas produksinya per tahun. Kalau kebutuhan industri dari impor hanya diberikan 30% tapi data impornya naik, lantas kuota impor yang besar diberikan pada siapa?" tukas Agus. 

Karena itu, dia menduga ada praktik curang soal pemberian kuota impor.

"Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pebisnis tekstil kalau kuota impor yang besar ini diberikan kepada belasan perusahaan API-P yang hanya dimiliki oleh sekitar 4 orang saja," kata Agus.

Kontribusi Industri TPT Menurun

Merespons hal itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil Syauqi mengatakan, anggota asosiasinya sangat terpengaruh dengan banjirnya barang impor.

"Perlu diselidiki lebih lanjut, tapi dengan posisi Kemenperin yang menolak usulan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk Benang Filament sepertinya mafia kuota impor itu memang ada," katanya dalam keterangan tertulis yang sama.

Di sisi lain, dia menambahkan, kontribusi sektor TPT terhadap PDB setiap tahunnya terus turun dari 1,16% di tahun 2016, menjadi hanya 0,99% pada tahun 2024.

"Neraca perdagangan TPT juga turun dari US$3,6 miliar tahun 2016, hanya US$2,4 miliar tahun 2024. Bahkan dari sisi volume, perdagangan TPT kita sudah minus 57 ribu ton sejak tahun 2017, dan defisitnya terus membesar karena petumbuhan impor yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekspor," ungkapnya.

Dia merespons data BPS yang menyebut pertumbuhan industri TPT nasional pada kuartal II tahun 2025 yang mencapai 4,35% secara tahunan. Menurutnya, data BPS itu sudah benar, dengan metode yang digunakan.

"Tapi memang BPS kan tidak menghitung importasi ilegal yang seharusnya menjadi pengurang dalam perhitungan PDB," tukas Farhan.

"Ya memang kan dalam perhitungan PDB yang dihitung hanya tambahan investasinya saja. Investasi yang berhenti tidak dihitung sebagai pengurang," cetusnya.

Sebaiknya, sambung dia, tidak ada perdebatan soal angka pertumbuhan dan lain-lain yang dikeluarkan BPS.

"Lebih baik kita mencari solusi dari masalah PHK dan penutupan pabrik yang masih terus terjadi hingga memutus tren deindustrialisasi," pungkas Farhan.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Industri Primadona RI di Ujung Tanduk, Pengusaha Waswas Tanda Bahaya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular