Kemenperin Sebut Ada yang Keliru, Industri Otomotif RI Tak Sedang Kuat
Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengingatkan, industri otomotif nasional tidak sedang baik-baik saja. Lonjakan penjualan mobil listrik (electric vehicle/ EV) disebut tidak berarti menunjukkan industri otomotif RI dalam kondisi kuat.
Karena itu, kata Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief, industri otomotif saat ini sangat membutuhkan insentif. Hal itu dibutuhkan untuk memperkuat ekosistem industrinya dari hulu-hilir.
Insentif tersebut, ujarnya, dibutuhkan untuk mempertahankan utilisasi produksi, melindungi investasi dan pekerja industrinya dari PHK, serta meningkatkan daya saing produk otomotif dalam negeri.
Febri menyoroti penjualan kendaraan EV yang disebutnya sedang meningkat signifikan.
"Penjualan EV melonjak tajam pada periode Oktober-Januari tahun 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun kenaikan penjualan ini sebagian besar berasal dari kendaraan EV impor," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Senin (1/12/2025).
Dari total penjualan kendaraan EV tahun 2025, paparnya, sebesar 69,146 unit atau 73 persennya merupakan kendaraan EV impor. Artinya, kata dia, produksi dan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja industrinya ada di negara lain.
"Sementara segmen kendaraan lain yang diproduksi di dalam negeri dan memiliki share terbesar dalam pasar industri otomotif nasional terus mengalami penurunan penjualan signifikan, bahkan jauh di bawah jumlah produksi tahunan kendaraan pada segmen tersebut," cetusnya.
"Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu.
Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut," tukas Febri.
Penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di saat penjualan kendaraan EV impor naik tajam, kata Febri, merupakan fakta yang tidak bisa dihindari. Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini.
Juga, tukasnya, banyaknya pameran tidak berarti industri otomotif sedang kuat. Sebaliknya, sambungnya, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand di tengah anjloknya penjualan domestik. Sekaligus melindungi pekerjanya
dari pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif. Kuat tidaknya industri otomotif nasional hanya bisa disimpulkan berdasarkan data penjualan dan produksi otomotif," ucap Febri.
"Indikator paling mendasar untuk mengukur kesehatan industri otomotif adalah penjualan kendaraan ke pasar, bukan hanya pertumbuhan segmen tertentu atau besaran investasinya. Hal tersebut tidak mampu menggambarkan kondisi industri otomotif secara keseluruhan," tambahnya.
Febri mengutip data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang mencatat, penjualan mobil sepanjang Januari-Oktober 2025 secara wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) hanya sebanyak 634.844 unit. Angka itu turun 10,6% dibanding tahun lalu yang mencapai 711.064 unit. Sementara secara retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) tercatat sebanyak 660.659 unit pada Januari-Oktober 2025. Turun 9,6% dari tahun lalu yang mencapai 731.113 unit.
"Pelemahan pasar yang terjadi secara simultan dapat berdampak pada penurunan utilisasi pabrik, penurunan investasi, serta berpotensi mengancam keberlanjutan lapangan kerja di industri otomotif dan sektor komponen.
Febri mengingatkan, tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan di industri otomotif nasional akan semakin dalam. Efeknya, dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan.
"Oleh karena itu, Kemenperin menegaskan bahwa insentif otomotif menjadi instrumen krusial dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor sekaligus menjaga keberlangsungan industri otomotif nasional. Kebijakan insentif tidak hanya penting bagi pelaku industri, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sebagai konsumen," ujarnya.
Insentif, katanya, akan menciptakan ruang bagi penurunan harga kendaraan, memperbaiki sentimen pasar, serta mempertahankan daya beli masyarakat. Khususnya kelompok kelas menengah dan pembeli mobil pertama yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.
"Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN," ungkap Febri.
(dce/dce)