Global Minimum Tax Jalan di RI Mulai 2026, Tax Holiday Diganti Ini

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
Senin, 24/11/2025 15:55 WIB
Foto: Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto dalam program CNBC Indonesia Squawk Box di Jakarta, Selasa (18/11/2025). (CNBC Indonesia/Tias Budiarto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan, implementasi kebijakan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) di Indonesia akan mulai berjalan penuh pada 2026.

Sebagaimana diketahui, sejak tahun ini pemerintah telah mengatur penerapan GMT di Indonesia melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024. Namun, tata cara detail administrasi penerapan pajak minimum globalnya belum ada, dan baru akan diselesaikan oleh Ditjen Pajak pada tahun ini.


Adapun skema GMT yang berlaku di Indonesia ialah pemberlakuan top up tax bagi perusahaan multinasional atau PMN yang memiliki peredaran bruto konsolidasi minimum 750 juta euro dan tak membayar pajak di negara yurisdiksi mereka beroperasi dengan tarif minimum 15%.

"Untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up tax dibayar paling lambat sesuai ketentuan pada 31 Desember 2026," kata Bimo saat rapat kerja dengan Komis XI DPR, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Perhitungan top up tax di Indonesia ialah memanfaatkan mekanisme income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan qualified domestic minimum top up tax (QDMTT).

IIR merupakan ketentuan yang mengharuskan Entitas Induk Utama dari suatu Grup PMN untuk membayar pajak tambahan atas Entitas Konstituennya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15%. Sedangkan, QDMTT ialah kebijakan yang dapat memastikan pajak minimum paling tidak dibayarkan di negara asalnya.

Lalu, UTPR merupakan ketentuan yang berlaku dalam hal IIR tidak diterapkan oleh negara domisili Entitas Induk Utama/Entitas Induk Antara dalam ketentuan domestiknya. Pajak tambahan yang dikenakan berdasarkan UTPR sama dengan pajak tambahan berdasarkan IIR, yang kemudian akan dialokasikan kepada semua negara yurisdiksi UTPR berdasarkan formula tertentu.

Bimo menjelaskan, pada 2025 mekanisme perhitungan IIR dan DMTT sebetulnya sudah mulai berlaku, diiringi dengan sosialisasi kepada para wajib pajak dan fiskus, persiapan infrastruktur IT, penyusunan Peraturan Dirjen Pajak tentang Tata Cara Administrasi GMT, serta persiapan exchange of information (EOI) nya antar negara.

Sedangkan pada 2026, ia memastikan, UTPR akan mulai berlaku, beriringan dengan dimulainya implementasi pembayaran pajak minimum global untuk tahun pajak 2025, serta sosialisasi kepada wajib pajak dan fiskus, persiapan IT, serta EOI.

Pada 2027, ia katakan juga akan mulai berlaku penyampaian Global Anti Base Erosion (GloBE) Information Return (GIR) dan notifikasi dari entitas konstituen kepada Dirjen Pajak, penyampaian SPT dalam rangka melaksanakan GloBE, serta implementasi EOI.

Terakhir, pada 2028 akan dilakukan risk assessment, disertai dengan pertukaran GIR dan notifikasi nya dengan negara yang melakukan kesepaktan pemberlakuan GMT sesuai dengan inisiasi OECD.

Efek Pemberlakuan GMT

Bimo mengatakan, dengan mulai berlaku penuhnya GMT di Indonesia, maka sudah pasti akan mengurangi efektivitas insentif pajak. Namun, ia memastikan, dampak itu sebatas pada entitas yang merupakan bagian dari Grup MNE yang berada dalam cakupan GloBE. Sedangkan insentif pajak bagi MNE di luar cakupan tidak akan terpengaruh.

Di sisi lain, ia juga mengatakan, dengan adanya pajak minimum global itu, makan akan terjadi pergeseran kompetisi pemberian insentif pajak bagi korporasi seperti tax holiday atau tax allowance menjadi refundable tax credit.

Ini karena dengan adanya prinsip GloBE dalam GMT, maka insentif pajak seperti tax holiday yang membuat tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) bagi perusahaan penerima di Indonesia semula 5%, akan dikenakan pajak tambahan oleh otoritas pajak di negara induk perusahaan itu dengan selisi 10% supaya sesuai dengan GMT sebesar 15%.

Bagi MNE, perusahaan tidak merasakan manfaat tax holiday yang diberikan oleh Indonesia. Pajak yang mereka bayar, meskipun tarif pajak mereka terlihat 5%, sebenarnya 15%. Akhirnya, beban pajak total mereka tetap sama, yaitu 15% dari pendapatan yang diperoleh melalui operasi di Indonesia. Daya tarik insentif pajak seperti tax holiday yang seharusnya membantu mendatangkan lebih banyak investasi menjadi sepenuhnya tidak berarti.

"Cenderung menggeser bentuk kompetisi insentif pajak korporasi dari tax holiday ata tax allowance menjadi refundable tax credit," tutur Bimo.


(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pemerintah Tambah Stimulus Ekonomi - BBM Malaysia Turun