Kisruh China-Jepang Makin Kacau, Hubungan Politik-Ekonomi Berantakan
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan dagang sekaligus diplomatik antara China dan Jepang kian memuncak setelah Beijing secara terbuka menuding komentar Perdana Menteri Sanae Takaichi mengenai Taiwan telah merusak fondasi hubungan kedua negara dan mengancam akan mengambil langkah tegas bila Tokyo tidak menarik pernyataannya.
Dalam konferensi pers rutin pada Kamis (20/11/2025), Kementerian Perdagangan China menyampaikan bahwa kerja sama ekonomi kedua negara kini menghadapi kerusakan serius. Kondisi ini menyusul "aksi" Takaichi pada 7 November lalu di parlemen yang menyatakan bahwa serangan hipotetis China terhadap Taiwan, pulau yang diperintah secara demokratis namun diklaim Beijing, dapat memicu respons militer dari Jepang.
"Pernyataan keliru Perdana Menteri Takaichi mengenai Taiwan telah secara fundamental merusak landasan politik hubungan China-Jepang dan sangat merusak pertukaran ekonomi dan perdagangan bilateral," kata juru bicara kementerian, He Yongqian, dilansir Reuters.
"Jika pihak Jepang bersikeras pada tindakannya dan terus melangkah di jalur yang salah, China akan dengan tegas mengambil langkah yang diperlukan dan seluruh konsekuensinya akan ditanggung Jepang," tegasnya.
AS Buka Suara
Menurut data UN COMTRADE, China merupakan pasar ekspor terbesar kedua Jepang setelah Amerika Serikat, dengan nilai pembelian sekitar US$125 miliar sepanjang 2024, terutama untuk mesin industri, semikonduktor, serta kendaraan bermotor.
Posisi itu membuat Jepang rentan jika China memutuskan menutup akses pasar. Korea Selatan, pasar ekspor terbesar ketiga bagi Jepang, tahun lalu hanya menyerap US$46 miliar.
Dalam konferensi pers yang sama, He menolak memberikan kepastian mengenai laporan bahwa China berencana melarang seluruh impor hasil laut dari Jepang. "Tidak ada informasi yang dapat saya sampaikan saat ini," ujarnya.
Pada 2023, Beijing menerapkan larangan total terhadap impor hasil laut Jepang setelah Tokyo mulai membuang air olahan dari PLTN Fukushima ke Samudra Pasifik-meski Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan pembuangan itu aman.
Pada 2010, China menghentikan ekspor mineral logam tanah jarang ke Jepang selama hampir tujuh minggu setelah penangkapan seorang kapten kapal ikan China yang kapalnya bertabrakan dengan kapal penjaga pantai Jepang di dekat Kepulauan Senkaku, yang diklaim Beijing sebagai Diaoyu.
Dalam pernyataan di platform X pada Kamis, Duta Besar Amerika Serikat untuk Jepang, George Glass, menyebut Washington siap membela Tokyo.
"Paksaan adalah kebiasaan yang sulit dihilangkan bagi Beijing. Namun, seperti Amerika Serikat yang mendukung Jepang selama larangan China terakhir yang tidak beralasan terhadap makanan laut Jepang, kali ini kami akan mendukung sekutu kami lagi," tulisnya.
Hubungan Sempat Membaik, Kini Kembali Suram
Hubungan kedua negara sebelumnya menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Presiden China Xi Jinping dan Takaichi pada pertemuan di sela KTT APEC bulan lalu di Korea Selatan sepakat untuk "membangun hubungan China-Jepang yang konstruktif dan stabil yang sesuai dengan era baru".
Namun pernyataan Takaichi baru-baru ini langsung mengubah arah tersebut, membuat industri Jepang kembali cemas akan pembatasan baru.
Di Hokkaido, perusahaan Sanwa Fisheries termasuk di antara hampir 700 perusahaan yang mengajukan izin ekspor setelah China setuju memulai kembali impor produk laut Jepang. Presiden perusahaan, Kazuya Yamazaki, menyampaikan kekecewaannya atas ketegangan terbaru.
"Yang membuat frustrasi adalah hal-hal yang sebelumnya mulai maju, tiba-tiba kembali mundur. Dan melihat sifat masalahnya, ini bisa saja terjadi lagi," ujarnya.
Tidak Ada Jalan Keluar Cepat
Pejabat Jepang maupun analis sepakat menilai krisis ini tidak akan mudah diatasi.
"Tidak ada jalan keluar cepat, kecuali Takaichi menarik komentarnya, yang tidak akan ia lakukan karena itu akan menjadi bunuh diri politik. China telah menaikkan level isu ini ke titik di mana mereka juga tidak bisa dengan mudah mundur," kata Joseph Kraft, analis keuangan dan politik di Rorschach Advisory, Tokyo.
Menurutnya, satu-satunya jalan adalah menjalankan strategi jangka panjang dan "menunggu hingga China mulai merasakan dampaknya pula".
Kerumitan situasi makin terlihat jelas ketika juru bicara Kementerian Luar Negeri China pada Kamis menyatakan bahwa tidak ada rencana bagi Perdana Menteri Li Qiang untuk bertemu dengan Takaichi di sela KTT G20 akhir pekan ini di Afrika Selatan.
(luc/luc)