Jepang Waspada, China Makin Ganas-Bisa Kuasai Pasar Mobil Listrik RI

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
Kamis, 20/11/2025 18:00 WIB
Foto: Kolase Pengisian Daya Mobil Listrik Hyundai Ioniq 5 dengan Wuling EV. (CNBC Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi mobil hybrid (HEV) asal Jepang di pasar otomotif Indonesia kini menghadapi tantangan serius. Kehadiran mobil listrik baterai (BEV) murah asal China yang agresif menekan pasar, membuat produsen HEV harus cepat beradaptasi agar tidak kehilangan daya tarik konsumen, terutama generasi muda yang tech-savvy.

Seperti diketahui, mayoritas brand asal Jepang lebih berfokus pada pengembangan kendaraan hybrid, sebaliknya brand asal China langsung 'loncat' ke BEV murni.

Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, menilai HEV sejatinya masih menjanjikan sebagai solusi transisi menuju elektrifikasi penuh. Keunggulan utamanya ada pada fleksibilitas: pemilik HEV tidak terlalu tergantung pada infrastruktur charging yang belum merata.


"Selain itu, merek-merek Jepang seperti Toyota dan Honda, yang sudah dikenal sejak lama, masih punya jaringan servis luas yang memudahkan perawatan kendaraan sehari-hari," kata Yannes kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (20/11/2025).

Meski demikian, HEV kini tengah menghadapi perubahan paradigma pasar yang cukup anomali. Walaupun masih kuat dari sisi kepercayaan merek dan kesiapan infrastruktur, produsen HEV harus waspada terhadap dinamika pasar yang cepat berubah. Jika HEV tidak cepat beradaptasi, baik dari sisi teknologi, harga, maupun strategi pemasaran, posisinya bisa tergeser lebih cepat dari perkiraan.

"Sekarang saatnya produsen HEV bertransformasi, bukan cuma jadi alternatif, tapi benar-benar kompetitif di tengah gempuran BEV China dan perubahan selera pasar Indonesia," tambahnya.

Tekanan ini juga datang dari perilaku konsumen muda yang semakin menentukan tren. Konsumen generasi baru lebih tertarik pada pengalaman berkendara yang modern: desain kendaraan yang menarik, fitur digital canggih, dan konektivitas yang memadai. Yannes menyoroti faktor perilaku konsumen muda yang kini makin menentukan tren.

"Mereka lebih tertarik sama pengalaman baru yang ditawarkan BEV: desain keren, fitur digital yang modern, dan konektivitas canggih. Sementara HEV masih identik dengan desain konservatif dan fitur yang biasa aja. Di saat pangsa pasar EV tumbuh sampai belasan persen, posisi HEV makin rawan kalau nggak segera berubah arah," sebut Yannes.

Dukungan kebijakan pemerintah untuk HEV sebenarnya sudah ada, seperti insentif PPnBM 3% melalui program Low Carbon Emission Vehicle dan syarat TKDN minimal 40% untuk mendorong produksi lokal serta hilirisasi baterai. Namun, efektivitasnya masih terbatas. HEV kalah kompetitif dibanding BEV yang mendapat insentif lebih besar-PPN 10% dan PPnBM 0%.

"Serta didorong strategi bakar uang produsen China, Harga BEV kini mendekati atau bahkan lebih murah dari HEV dan mobil ICE LCGC, yang membuatnya lebih menarik di segmen harga sensitif," sebut Yannes.

Dengan kombinasi tekanan harga, insentif pemerintah, dan preferensi konsumen muda, HEV Jepang harus segera berinovasi dan menyesuaikan strategi agar tetap relevan di pasar yang semakin didominasi BEV China.

Selain faktor harga dan insentif, perubahan perilaku konsumen di perkotaan juga menambah tekanan. Di Jabodetabek, misalnya, generasi muda yang lebih melek teknologi cenderung memilih BEV yang menawarkan fitur digital lebih lengkap, sementara aturan ganjil-genap membuat fleksibilitas HEV kurang terlihat sebagai keunggulan.

"Lalu, perubahan perilaku konsumen, khususnya generasi muda yang melek teknologi dan lebih suka fitur digital BEV, semakin memperlemah posisi HEV untuk pasar di area perkotaan khususnya pada wilayah Jabodetabek yang mostly penggunaan kendaraannya akan sering sekali memasuki kawan ganjil-genap di Jakarta," sebut Yannes.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ekosistem EV Nasional Tumbuh, Tambang Jadi Pasar Potensial Baru