Petaka Baru di China, Muncul Fenomena "Anak dengan Ekor Busuk"
Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan ekonomi dan ketatnya persaingan kerja membuat banyak lulusan baru di China terjebak dalam kondisi sulit. Tak sedikit yang akhirnya bekerja di luar bidang kuliah atau menerima gaji jauh di bawah harapan.
Fenomena ini kini melahirkan istilah baru yang ramai dibahas yaitu "anak dengan ekor busuk", gambaran generasi muda yang menganggur lama dan bergantung pada orang tua. Istilah "anak dengan ekor busuk" diambil dari "gedung ekor busuk", proyek perumahan yang mangkrak dan menjadi beban ekonomi China sejak 2021.
Isu ini mencuat setelah sejumlah laporan media, termasuk Channel News Asia (CNA) menggambarkan betapa suramnya peluang kerja bagi lulusan perguruan tinggi di negara tersebut. Banyak mahasiswa telah menghabiskan waktu dan biaya untuk menempuh pendidikan spesifik, namun tetap kesulitan mendapatkan posisi yang relevan.
Kondisi pasar kerja yang melemah dan persaingan yang semakin tajam membuat banyak anak muda kehilangan arah. Bahkan, sebagian mulai meragukan janji lama bahwa pendidikan tinggi otomatis memberi masa depan yang lebih stabil.
"Saya melihat peluangnya cukup suram, pasar tenaga kerja sepi, akhirnya saya mengurungkan niat mengejar posisi tertentu," kata Hu Die, pencari kerja berusia 22 tahun yang merupakan sarjana desain dari Harbin University of Science and Technology kepada CNA.
Li Mengqi, sarjana teknik kimia dari Institut Teknologi Shanghai yang telah berusia 26 tahun, sudah delapan bulan menganggur setelah lulus kuliah. Gara-garanya sama, ia tak menemukan pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya saat menempuh pendidikan di universitas.
Chen Yuyan, 26 tahun, lulusan Guangdong Food and Drug Vocational College pada 2022, bahkan akhirnya harus bekerja sebagai petugas sortir paket di sebuah cabang agen kurir.
"Banyak perusahaan mencari kandidat yang sudah berpengalaman-orang-orang yang bisa langsung bekerja. Sebagai lulusan baru, kami tidak punya cukup pengalaman. Mereka sering mengatakan tidak memiliki sumber daya untuk melatih karyawan baru, dan gaji yang ditawarkan sangat rendah," ucap Chen.
Krisis Pasar Tenaga Kerja di China
Pendiri Young China Group, lembaga think tank atau pemikir yang berbasis di Shanghai, Zak Dychtwald mengatakan, apa yang terjadi dengan Li, Hu, dan Chen merupakan gambaran krisis pasar kerja di China bagi para pemudanya, yang berharap bisa berkarir sesuai bidang keahliannya.
"Salah satu masalah terbesar saat ini adalah ketimpangan antara kerja keras yang mereka lakukan saat kuliah dan pekerjaan yang menanti ketika lulus," kata Zak Dychtwald.
Ancam Kepastian Ekonomi
Berbeda dengan generasi orangtua mereka, sarjana muda saat ini lebih enggan menerima pekerjaan berkualitas rendah atau tidak stabil, bahkan di tengah tekanan ekonomi. Bahkan, mereka juga enggan memulai usaha kecil untuk bisa mengembangkan bisnis.
"Saat ini jika Anda berusia 22 atau 23 tahun dan baru lulus universitas di China, saya rasa Anda tidak akan mau berjualan barang-barang kecil di jalanan, lalu menabung dan menggunakannya untuk memulai bisnis kecil-kecilan. Secara budaya, saya rasa itu bukan lagi jalan yang dipilih kebanyakan orang," kata profesor Global Labor and Work di Cornell University, Eli Friedman.
Pergeseran sikap ini telah melahirkan istilah "merunduk" atau tangping dalam bahasa Mandarin, ketika kaum muda memilih mundur dari persaingan kerja yang hiperkompetitif. Beberapa anak muda enggan menerima pekerjaan apa pun yang tersedia karena semakin kecewa dengan model tradisional pengembangan karir.
Zhou dari University of Michigan menyoroti dampak psikologis mendalam akibat pengangguran berkepanjangan, terutama di kalangan lulusan yang sebelumnya dijanjikan masa depan yang stabil.
"Ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan tidak hanya menciptakan ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menghilangkan martabat dan tujuan hidup. Bagi para lulusan, hal ini meruntuhkan narasi yang selama ini mereka yakini bahwa pendidikan akan memberikan kehidupan yang lebih baik," ujarnya.
Tahun ini jumlah lulusan universitas di China akan mencapai rekornya, 12,22 juta orang, naik dari 9 juta orang pada 2021. Pemerintah China telah mengakui solusi untuk mengatasi tantangan lapangan pekerjaan di negara itu sangat mendesak.
"Ketidakcocokan antara pasokan dan permintaan sumber daya manusia semakin mencolok," kata Menteri Sumber Daya Manusia dan Jaminan Sosial China, Wang Xiaoping.
Laporan Kerja Pemerintah China 2025 merinci rencana untuk mengatasi pengangguran kaum muda dengan menekankan perluasan peluang kerja, bantuan keuangan yang lebih terarah, dan dukungan baru bagi kewirausahaan. Langkah-langkah spesifik yang diusulkan meliputi pengembalian premi asuransi pengangguran, pemotongan pajak dan biaya, subsidi pekerjaan, serta dukungan langsung bagi industri padat karya.
China telah menetapkan target untuk menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan baru di daerah perkotaan tahun ini. Meskipun jumlah lulusan yang memasuki pasar kerja tahun ini mencapai rekor tertinggi, China masih menghadapi kekurangan tenaga kerja terampil, terutama di sektor manufaktur.
Menurut laporan China Daily pada Juli lalu, yang mengutip panduan pengembangan tenaga kerja manufaktur dari Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi serta departemen terkait, China diperkirakan akan mengalami kekurangan sekitar 30 juta pekerja terampil di 10 sektor manufaktur utama pada tahun 2025.
(fsd/fsd)