MK Lagi-Lagi Tolak Gugatan Pajak Pesangon dan Uang Pensiun

Arrijal Rachman , CNBC Indonesia
Jumat, 14/11/2025 09:10 WIB
Foto: Gedung Mahkamah Konstitusi. (Dok. Detikcom/Ari Saputra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan uji materiil terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pajak pesangon dan pensiun.

Gugatan yang kembali ditolak para hakim MK itu terkait Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).


Penolakan untuk kedua kalinya yang diputuskan para hakim MK itu untuk perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025. Para pemohon perkara yang semula berjumlah 9 orang, kemudian bertambah menjadi 12 orang. Mereka terdiri dari para pekerja bank swasta di bank yang berbeda, serta satu orang ketua umum serikat karyawan pada bank yang mengajukan gugatan pada 10 Oktober 2025.

Para pemohon itu di antaranya ualah Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, Aldha Reza Rizkiansyah.

Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (13/11/2025) mengatakan, permohonan pengujian materiil dalam Perkara Nomor Nomor 186/PUU-XXIII/2025 itu juga tidak dapat diterima, karena mahkamah menilai permohonan para pemohon masih tidak jelas atau kabur.

"Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut," ujar Ketua MK Suhartoyo, dikutip Jumat (14/11/2025).

Suhartoyo menjelaskan, setelah Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 ternyata tidak terdapat frasa "tunjangan dan uang pensiun" sebagaimana dimaksud para pemohon, melainkan kata "tunjangan" dan frasa "uang pensiun" yang masing-masing terpisah dan tidak dalam satu kesatuan frasa.

Selain itu, pada bagian petitum angka 1, para Pemohon menambahkan uraian kalimat alasan permohonan yang seharusnya diuraikan pada bagian posita sehingga hal tersebut menyebabkan ketidakjelasan petitum angka 1.

Kemudian, pada bagian petitum angka 2, para Pemohon meminta Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat sebagaimana yang diinginkannya. Namun, dalam alasan permohonan, para Pemohon hanya menyebutkan pertentangan Pasal 17 secara keseluruhan, sehingga Mahkamah menilai para Pemohon tidak konsisten.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima," kata Suhartoyo.

Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menjadi gugatan para pemohon menyebutkan "Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk di dalamnya: a. Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang dilakukan."

Sementara itu, Pasal 17 UU PPh mengatur tentang tarif progresif berdasarkan lapisan penghasilan. Tarif ini diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap pada masa pajak terakhir, pegawai tidak tetap dengan penghasilan tidak dibayar bulanan dengan jumlah lebih dari Rp 2,5 juta per hari, bukan pegawai, peserta kegiatan, pegawai yang melakukan penarikan dana pensiun, dan mantan pegawai.

Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut menimbulkan implikasi pesangon dan pensiun yang pada hakikatnya merupakan hak normatif pekerja setelah puluhan tahun bekerja diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang lahir dari aktivitas ekonomi.

Menurut para Pemohon, secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun sama sekali tidak dapat disamakan dengan keuntungan usaha atau laba modal, melainkan merupakan bentuk tabungan terakhir hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.

Pemerintah dan DPR menganggap pajak pesangon yang diterima sekaligus sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal ini adalah tabungan yang dipotong dari gaji tiap bulan dan penghargaan dari perusahaan untuk karyawan yang memasuki masa pensiun atas jasa-jasa serta pengabdiannya bagi perusahaan.

Para Pemohon berpendapat apabila dilihat dari perspektif konstitusi, kebijakan tersebut telah mengaburkan makna Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Uang pesangon, manfaat pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), termasuk Tabungan Hari Tua (THT) merupakan bagian integral dari penghidupan yang layak. Karena itu, pengenaan pajak terhadap hak-hak tersebut berarti mereduksi hak konstitusional pekerja untuk hidup secara layak setelah masa kerja berakhir.

Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU HPP sepanjang frasa "tunjangan dan uang pensiun" yang dimasukkan sebagai objek pajak penghasilan yang berakibat pada pengenaan pajak atas uang pensiun tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Pemohon menyebutkan syarat itu tidak berlaku dan tidak dapat diterapkan untuk menaungi objek pajak yang bersifat sebagai dana tabungan jaminan sosial yaitu uang pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tunjangan Hari Tua (THT) karena dana-dana tersebut bukan merupakan tambahan kemampuan ekonomis melainkan hak sosial pekerja yang dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan menafsirkan pasal tersebut hanya konstitusional bersyarat apabila ditafsirkan yang dimaksud dengan penghasilan kena pajak tidak mencakup dana kompensasi pascakerja (pesangon, pensiun, THT, dan JHT) yang bersifat sosial, kompensatif, dan nonproduktif.

Dengan demikian, pengecualian pajak atas dana pascakerja harus dianggap sebagai jaminan konstitusional bukan kebijakan fiskal yang dapat diubah sewaktu-waktu.

Namun, gugatan para pemohon kini sudah diputuskan tidak dapat diterima oleh para hakim MK, setelah sebelumnya juga ada gugatan serupa yang ditolak pada 30 Oktober 2025 oleh para hakim MK dengan nomor perkara 170/PUU-XXIII/2025. Gugatan yang ditolak untuk nomor perkara itu diajukan oleh dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap.


(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: MK Resmi Larang Wakil Menteri Rangkap Jabatan Komisaris