Ada Program BBM Campur Etanol 10%, Pengusaha Bioetanol Curhat ke DPR

Ferry Sandi, CNBC Indonesia
Rabu, 12/11/2025 12:15 WIB
Foto: Rapat Dengar Pendapat Komisi VII dengan Kemenperin dan asosiasi pengusaha di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (12/11/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri bioetanol di Indonesia tengah bersiap mengambil peran lebih besar dalam mendukung program energi bersih pemerintah, termasuk lewat BBM campur etanol 10% (E10). Namun di tengah potensi besar yang dimiliki, sektor ini masih menghadapi sejumlah kendala yang membuat langkah pengembangan bioetanol sebagai bahan bakar alternatif belum maksimal.

Sedikitnya ada enam tantangan utama yang saat ini dihadapi industri bioetanol nasional.

"Pemanfaatan hasil produksi pabrik bioetanol fuel grade yang ada saat ini masih rendah," ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (12/11/2025). 


Kapasitas produksi yang tersedia belum terserap secara optimal karena minimnya permintaan dan dukungan kebijakan yang kuat di hilir. Lebih jauh, Izmirta menyoroti regulasi yang masih menjadi batu sandungan. "Bioetanol untuk bahan bakar masih termasuk Barang Kena Cukai (BKC)," katanya.

Status ini membuat biaya produksi menjadi tidak kompetitif dibandingkan bahan bakar konvensional. Selain itu, program pemerintah yang sebenarnya sudah diatur juga belum berjalan sepenuhnya di lapangan.

"Progam mandatori bioetanol belum berjalan maksimal sesuai peraturan yang berlaku," ujarnya.

Persoalan lain muncul dari sisi harga. Formula harga yang ditetapkan pemerintah belum mampu mencerminkan keekonomian industri.

"Formula harga bioetanol untuk energi, yang ditetapkan pemerintah belum mencapai keekonomisan, tidak ada insentif baik fiskal maupun non fiskal. Dilepas dengan mekanisme pasar (bisnis to bisnis)," jelasnya.

Dari sisi bahan baku, industri juga belum sepenuhnya efisien. Kondisi ini menyebabkan distribusi bahan baku dari luar Jawa menjadi tidak efisien dan menambah biaya logistik.

"Penyerapan bahan baku molases belum maksimal karena semua pabrik pengguna molases berada di Pulau Jawa," katanya.

Di sisi lain, pasar domestik juga masih dibanjiri produk impor. Ia menilai kebijakan tarif yang lebih adil bisa membantu melindungi produsen dalam negeri agar mampu bersaing secara sehat.

"Masih banyak impor bioetanol ke Indonesia, karena kebijakan tarif yang tidak berimbang seperti dengan Pakistan," tutur Izmirta.

Izmirta menyebut, kapasitas industri bioetanol nasional saat ini mencapai sekitar 300 ribu kiloliter per tahun, dengan lima perusahaan yang sudah siap mendukung produksi bioetanol fuel grade untuk bahan bakar.

"Empat perusahaan berada di Pulau Jawa dan satu di luar Jawa," ujarnya.

Beberapa di antaranya adalah PT Energi Agro Nusantara dengan kapasitas 30.000 KL per tahun, PT Molindo Raya Industrial 10.000 KL per tahun, PT Indo Acidatama 3.000 KL per tahun, dan PT Madu Baru 7.500 KL per tahun. Sementara di luar Jawa, PT Indonesia Etanol Industry memiliki kapasitas 20.000 KL per tahun.

Foto: Paparan Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (12/11/2025). (Tangkapan Layar Youtube/Komisi VII DPR RI Channel)
Paparan Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) Izmirta Rachman dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Jakarta, Rabu (12/11/2025). (Tangkapan Layar Youtube/Komisi VII DPR RI Channel)

(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Prabowo Tugaskan Kementan Dukung Pencampuran 10% Etanol ke BBM