Mau Bahas RUU Ubah Rp1.000 Jadi Rp1, DPR Ingatkan Purbaya Soal Ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana strategis Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menuntaskan penyusunan kerangka regulasi redenominasi rupiah melalui RUU tentang Perubahan Harga Rupiah belum sampai ke tahap pembahasan dengan DPR.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Mohamad Hekal mengungkapkan hal ini. Ia mengatakan, meski sudah masuk ke dalam daftar panjang atau long list program legislasi nasional (prolegnas) usulan pemerintah, rencana penyusunan RUU Redenominasi belum melibatkan DPR.
"Pemerintah belum mengajukan ke kami, karena itu belum ada dibahas. Silakan konfirmasi juga ke pimpinan Baleg (Badan Legislasi)," kata Hekal kepada CNBC Indonesia, Selasa (11/11/2025).
Meski begitu, para anggota dewan di DPR kata dia tidak mempermasalahkan bila pemerintah ingin melakukan kebijakan redenominasi alias memangkas tiga digit nol pada rupiah, seperti Rp 1.000 menjadi Rp 1.
"Dan memang ada di long list nya usulan pemerintah. Prinsipnya selama dilaksanakan dengan perencanaan yang matang sebetulnya ga ada masalah," ucapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI Amin AK juga menekankan pembahasan RUU tentu akan memakan waktu lama bila pemerintah sendiri belum memasukkan pembahasan detailnya dengan DPR.
Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Renstra Kemenkeu 2025-2029 yang Purbaya tetapkan sejak 10 Oktober 2025, target penyelesaian penyusunan RUU itu memang baru pada 2026-2027.
"Jadi kayaknya memang masih jauh," ucap Amin AK seraya menambahkan langkah ini perlu ditempatkan sebagai agenda teknis-strategis jangka menengah.
Namun demikian, Ia menegaskan redenominasi bukan sekadar penghapusan digit nol, melainkan kebijakan struktural yang menuntut kesiapan prasyarat makroekonomi, tata kelola transisi, dan mitigasi dampak sosial-ekonomi secara komprehensif.
"Kemenkeu harus berkoordinasi intens dengan Bank Indonesia agar kebijakan ini terukur dan mampu meminimalisir risiko sosial ekonomi di masyarakat," ungkapnya.
Karena itu, Amin menekankan beberapa hal pokok untuk menjalankan kebijakan itu. Pertama, Pemerintah dan Bank Indonesia harus memastikan inflasi terkendali, stabilitas moneter terjaga, serta kondisi fiskal sehat sebelum kebijakan ini diimplementasikan.
Kedua, wajib ada kajian dampak yang bersifat menyeluruh dan transparan. Dampak terhadap sektor perbankan, UMKM, pasar tradisional, sistem pembayaran digital, kontrak utang-piutang, upah, pensiun, hingga penyesuaian sistem perpajakan.
Ketiga, diperlukan masa transisi bertahap dan edukasi publik secara masif.
Masyarakat tidak boleh menjadi korban kebingungan harga, pembulatan nilai, atau praktik manipulasi akibat literasi yang tidak merata.
"Pemerintah wajib memimpin edukasi publik secara intensif hingga ke daerah bahkan hingga ke desa dan kelurahan," tegasnya.
Keempat, harus disadari bahwa redenominasi tidak otomatis menghapus nilai ekonomi aset ilegal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi tetap harus dilakukan melalui penegakan hukum, penguatan rezim anti-pencucian uang (AML), pemeriksaan aset, dan transparansi keuangan.
"Saya mendorong agar rencana implementasinya berbasis data. Harus dipastikan bahwa kebijakan ini tidak menciptakan beban baru bagi rakyat, terutama UMKM dan kelompok rentan, serta tidak memicu ekspektasi inflasi atau spekulasi harga di lapangan," tutur Amin.
Ia pun mendorong dilakukannya kajian dengan prinsip kehati-hatian atau prudential approach dalam implementasinya. Kebijakan ini harus dipastikan menjadi instrumen efisiensi dan modernisasi ekonomi, bukan menimbulkan kerentanan baru.
"Penting untuk dikaji dampak, skema transisi, serta mitigasi risikonya untuk dibahas lebih lanjut bersama Bank Indonesia sesuai mekanisme konstitusional," tutur Amin.
(arj/haa)