Harga Komoditas Bakal Ambruk, Bank Dunia: Hapus Subsidi Pakai APBN

Arrijal Rachman,  CNBC Indonesia
30 October 2025 07:25
Logo Bank Dunia. (Photo by Andrew CABALLERO-REYNOLDS / AFP/File Foto)
Foto: Logo Bank Dunia. (AFP/ANDREW CABALLERO-REYNOLDS/File Foto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank memperkirakan harga-harga komoditas global akan merosot tajam pada 2026, dipicu oleh produksi yang melimpah di tengah ketidakpastian ekonomi yang tinggi akibat kebijakan perang dagang dan konflik bersenjata di berbagai wilayah yang memperlemah pertumbuhan.

Berdasarkan laporan terbaru dalam Commodity Markets Outlook edisi Oktober 2025, Bank Dunia memperkirakan harga komoditas energi akan turun 10,2% pada 2026 melanjutkan kontraksi pada 2025 sebesar minus 12,4%. Sementara itu, komoditas non energi minus 1,6% jauh lebih dalam dari level 2025 yang masih tumbuh 1,8%.

Kepala Ekonom Grup Bank Dunia Indermit Gill menjelaskan, turunnya harga energi membantu meredakan inflasi global, sementara harga non energi, seperti untuk komoditas beras dan gandum yang lebih rendah telah membantu membuat pangan lebih terjangkau di beberapa negara berkembang.

"Pasar komoditas membantu menstabilkan ekonomi global," kata Indermit Gill dikutip dari siaran pers, Kamis (30/10/2025).

Meskipun terjadi penurunan, harga komoditas tetap berada di atas level sebelum pandemi, dengan harga pada tahun 2025 dan 2026 diproyeksikan masing-masing 23% dan 14% lebih tinggi dibandingkan tahun 2019.

Di sisi lain, Bank Dunia menegaskan penurunan harga-harga komoditas saat ini sudah sepatutnya menjadi waktu berbenah bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan kondisi fiskal, mempersiapkan perekonomian untuk mendorong bisnis, dan mempercepat aktivitas perdagangan serta investasi.

"Penurunan harga energi telah berkontribusi pada penurunan inflasi harga konsumen global. Namun, jeda ini tidak akan bertahan lama. Pemerintah harus memanfaatkannya untuk membenahi kondisi fiskal, mempersiapkan perekonomian untuk berbisnis, dan mempercepat perdagangan dan investasi," ucap Indermit.

Untuk komoditas energi yang berpotensi ambruk, misalnya terdiri dari harga minyak mentah dunia. Harga minyak mentah Brent acuan Bank Dunia perkirakan akan turun dari rata-rata US$$ 68 pada 2025 menjadi US$ 60 pada 2026, level terendah dalam lima tahun.

Batu bara juga mereka perkirakan akan mengalami kontraksi 6,5% pada 2026, dari harga US$ 107 rata-rata pada 2025, yang sebetulnya sudah turun 21,4% dibanding tahun sebelumnya, menjadi US$ 100.

Untuk komoditas non energi dari sisi makanan, seperti beras, harganya Bank Dunia ramal masih akan ambruk 1,2% pada 2026 dari US$ 406 menjadi US$ 401, melanjutkan kejatuhan dalam pada 2025 yang terkontraksi minus 31%.

Sedangkan harga kopi Arabika mengalami penurunan dalam hingga minus 12,7% dari US$ 8,30 per kilogram menjadi US$ 7,25 per kilogram, jatuh dalam setelah kenaikan harganya yang amat tinggi pada 2025 hingga 47,6%.

Bank Dunia pun memperkirakan harga pupuk akan turun 5% pada 2026 setelah sebelumnya pada 2025 melonjak 21% yang membuat biaya input yang lebih tinggi dan akibat pembatasan perdagangan.

Adapun untuk logam mulia, yang telah mencapai rekor tertinggi pada 2025, didorong oleh permintaan aset safe haven dan pembelian obligasi bank sentral yang berkelanjutan, diperkirakan harganya masih akan naik pada 2026.

Harga emas diperkirakan akan melanjutkan kenaikan dari posisi 2025 yang sudah meroket 42%, berlanjut naik 5% pada 2026, sehingga harga emas hampir dua kali lipat dari rata-rata 2015-2019. Harga perak juga diperkirakan akan mencapai rekor rata-rata tahunan pada 2025, naik sebesar 34% dan 8% lagi pada 2026.

Bank Dunia juga mewanti-wanti harga komoditas dapat turun lebih dari yang diperkirakan selama periode perkiraan jika pertumbuhan global tetap lesu di tengah ketegangan perdagangan yang berkepanjangan dan ketidakpastian kebijakan.

Produksi minyak OPEC+ yang lebih besar dari perkiraan dapat memperdalam kelebihan pasokan minyak dan memberikan tekanan tambahan pada harga energi. Penjualan kendaraan listrik, yang diperkirakan akan meningkat tajam pada tahun 2030, dapat semakin menekan permintaan minyak.

Di sisi lain, ketegangan dan konflik geopolitik dapat mendorong harga minyak lebih tinggi dan meningkatkan permintaan komoditas safe haven seperti emas dan perak. Dalam kasus minyak, dampak pasar dari sanksi tambahan juga dapat mendorong harga di atas perkiraan dasar.

Cuaca ekstrem akibat siklus La NiƱa yang lebih kuat dari perkiraan dapat mengganggu hasil pertanian dan meningkatkan permintaan listrik untuk pemanas dan pendingin, sehingga semakin menekan harga pangan dan energi.

Sementara itu, pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) dan meningkatnya permintaan listrik untuk pusat data dapat meningkatkan harga energi dan logam dasar seperti aluminium dan tembaga, yang penting bagi infrastruktur AI.

"Harga minyak yang lebih rendah memberikan peluang tepat waktu bagi negara-negara berkembang untuk memajukan reformasi fiskal yang mendorong pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Ayhan Kose, Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia dan Direktur Prospects Group.

Di tengah kondisi ambruknya harga-harga komoditas seperti minyak mentah, batu bara, hingga pupuk itu, Bank Dunia menyarankan supaya negara-negara menerapkan penghapusan subsidi bahan bakar yang mahal di APBN untuk dialihkan ke pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia.

"Serta ke bidang-bidang yang menciptakan lapangan kerja dan memperkuat produktivitas jangka panjang. Reformasi semacam itu akan membantu mengalihkan pengeluaran dari konsumsi ke investasi, membangun kembali ruang fiskal sekaligus mendukung penciptaan lapangan kerja yang lebih berkelanjutan." tutur Ayhan.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Angka Kemiskinan RI Terbaru Jauh Lebih Tinggi dari Filipina & Vietnam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular