
Rencana Purbaya Pangkas PPN Bagus Tapi Harus Hati-hati

Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan dinilai oleh para ekonom sebagai keputusan yang sangat berani di tengah berbagai tekanan fiskal.
Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai meskipun keseimbangan primer masih surplus, struktur APBN 2025 belum memiliki ruang yang luas untuk stimulus konsumsi tanpa kompensasi fiskal.
"Realitasnya, per September 2025 pendapatan negara turun sekitar 7,2% YoY, dengan tekanan terbesar berasal dari sektor pajak dan restitusi komoditas," ujar Rizal kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (15/10/2025).
Dari sisi ekonomi Rizal menilai penurunan PPN dapat meringankan tekanan harga dan memperkuat daya beli masyarakat kelas menengah bawah, terutama pada barang-barang kebutuhan pokok yang kontribusinya besar terhadap inflasi inti.
Namun dari sisi fiskal, langkah ini berpotensi menggerus penerimaan pajak dalam jangka pendek, sebab elastisitas konsumsi terhadap perubahan tarif PPN di Indonesia relatif rendah. Artinya, tambahan volume konsumsi tidak secara otomatis mampu menutup kehilangan penerimaan dari penurunan tarif.
"Jika tidak diimbangi dengan perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan efisiensi belanja K/L, kebijakan ini justru mendorong pelebaran defisit dan mempersempit ruang fiskal tahun depan," ujarnya.
Jika penurunan PPN diberlakukan, Rizal menilai dalam jangka pendek efeknya mungkin positif untuk menahan pelemahan konsumsi rumah tangga, yang kini menjadi satu-satunya penopang pertumbuhan PDB di atas 5%. Namun dalam jangka panjang, jika kebijakan dilakukan tanpa perbaikan struktur penerimaan, maka akan menimbulkan scarring effect fiscal yakni hilangnya potensi penerimaan struktural karena tarif yang lebih rendah menjadi baseline baru.
"Sementara kebutuhan belanja (terutama subsidi energi, gaji ASN, dan MBG) cenderung meningkat. Dengan kata lain, kebijakan ini berisiko menggeser struktur APBN menjadi semakin pro-konsumsi namun kurang berkelanjutan secara fiskal," ujarnya.
Maka dari itu, jika tujuan utama penurunan PPN untuk menjaga daya beli pemerintah bisa mempertimbangkan hanya dalam bentuk PPN-DTP terbatas pada sektor tertentu dengan multiplier tinggi dan sunset clause yang jelas, misalnya enam bulan pertama 2026.
Alternatif lain adalah mengurangi PPN untuk sektor pangan olahan, transportasi, dan energi rumah tangga, sambil menutup gap lewat optimalisasi PPN digital, penegakan e-faktur, dan penghapusan pengecualian pajak yang tidak tepat sasaran.
"Ini akan menciptakan keseimbangan antara stimulus konsumsi dan disiplin fiskal," ujarnya.
Peneliti Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai di satu sisi, kebijakan ini dapat menjadi stimulus fiskal yang efektif untuk memperkuat daya beli masyarakat serta mendorong konsumsi rumah tangga, terutama di tengah perlambatan ekonomi dan tekanan inflasi.
Penurunan PPN pun pernah dilakukan oleh negara lain. Seperti Vietnam yang menurunkan tarif PPN dari 10% menjadi 8% untuk menggerakkan kembali perekonomian pascapandemi.
"Namun di sisi lain, langkah ini tentu menimbulkan risiko penurunan penerimaan negara dalam jangka pendek, mengingat PPN merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap pendapatan pajak nasional," ujar Yusuf kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/10/2025).
Maka dari itu, Yusuf menilai dalam jangka pendek, kebijakan ini berpotensi meningkatkan konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, meskipun ada risiko penurunan penerimaan fiskal. Sementara dalam jangka panjang, keberlanjutan fiskal perlu dijaga agar stimulus yang diberikan tidak berbalik menjadi beban fiskal baru.
Untuk mencegah peningkatan beban fiskal dalam jangka panjang pemerintah juga dapat menyesuaikan pos belanja, terutama pada sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan daya beli masyarakat seperti subsidi pangan, bantuan sosial, dan dukungan bagi UMKM.
"Dengan pengelolaan belanja yang lebih efisien, dampak fiskal dari penurunan PPN dapat diminimalkan tanpa mengorbankan kualitas belanja publik. Dengan demikian, penurunan PPN bisa menjadi langkah strategis bila diiringi desain kebijakan yang terukur dan terintegrasi," ujarnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Setoran Negara Seret, Defisit APBN 2025 Diramal Tembus 2,7% PDB
